Senin, 26 Januari 2009

Hipotesis atas Sebuah Warung Martabak

Sudah dua malam sebelum aku nulis ini, aku perhatiin ada sebuah warung martabak yang rame, sampai pembelinya harus antri lumayan panjang hingga trotoar.

Pertama aku perhatiin, apa ini? Ohh… ternyata warung martabak yang baru buka, alamatnya sih, nggak usah aku sebutin karena “iklan”, yang pasti lokasinya kurang dari satu kilometer dari rumahku. Warung ini, tadinya hanya jual roti unyil, itu lho roti yang ukurannya kecil-kecil, makanan khas dari Bogor.

Malam berikutnya, pembelinya masih rame juga… aku sempatin cari tulisan yang mengiklankan makanan apa yang dijual, ooh... ternyata yang dijual adalah martabak dengan modifikasi. Warung itu jual, martabak isi strawberry, isi duren, isi pisang, isi kacang mete dan isi lain-lain yang diluar kelaziman “sebuah martabak”. Aneh pikirku martabak aja dimodifikasi, tanpa mencari tulisan-tulisan lain, khawatir bikin macet karena jalannya relatif rame kendaraan.

Pagi ini, aku lewat lagi jalan itu dan kebetulan jalan agak sepi karena libur tahun baru Imlek.Aku cari lagi apa yang membuatnya laris dan rame, oh la..la, ternyata nama warungnya adalah Warung Martabak ALIM.... ntah kenapa otakku menyuruh bibirku tersungging keatas, tersenyum-senyum sendiri.

Otakku berbisik untuk satu hipotesis bahwa tingkat religiusitas berkorelasi positif terhadap tingkat kelarisan warung martabak, jadi penjual martabak itu harus ahli ibadah dan alim biar laris.... , kutambah volume radio di mobilku agar hipotesis iseng itu tidak membuat aku tertawa-tawa sendiri.

Inspired by DP.

Kamis, 08 Januari 2009

Spirit carries on...

Apapun alasannya untuk berperang, kekerasan hanya menyisakan kesedihan!!!.
Kemarin, 7 januari 2009, aku buat 30 menit show on Palestine under attack!, secara naluri kok, pengen aja menempatkan lagu ini sebagai salah satu theme song.

Menurutku liriknya cerdas dan cenderung jenius, saat kematian bukan lagi hal yang harus dihindari.

Kalau melihat dalam konteks serangan Yahudi ke Palestina, lagu ini kok sangat menyentuh ya...

Music by Dream Theater
Lyrics by John Petrucci

Nicholas:
Where did we come from, Why all here?
Where do we go when we die?
What lies beyond
And what lay before?
Is anything certain in life?

They say, "Life is too short,"
"The here and the now"
And "You're only given one shot"
But could there be more,
Have I lived before,
Or could this be all that we've got?

If I die tomorrowI'd be all right
Because I believe
That after we're gone
The spirit carries on

I used to be frightened of dying
I used to think death was the end
But that was beforeI'm not scared anymore
I know that my soul will transcend

I may never find all the answers
I may never understand why
I may never prove
What I know to be true
But I know that I still have to try

If I die tomorrowI'd be all right
Because I believe
That after we're gone
The spirit carries on

Victoria:"Move on, be brave
Don't weep at my grave
Because I am no longer here
But please never let
Your memory of me disappear"

Nicholas:Safe in the light that s
Free of the fear and the pain
My questioning mind
Has helped me to find
The meaning in my life again

Surrounds me
Victoria's real
I finally feel
At peace with the girl in my dreams
And now that I'm here
It's perfectly clear
I found out what all of this means

If I die tomorrow
I'd be all right
Because I believe
That after we're gone
The spirit carries on

Minggu, 04 Januari 2009

Memakmurkan Masjid

Byur, byuur, hahaha.... byur, hahahaha... kedengaran suara anak-anak.
Begitu aku liat, ternyata ada enam anak-anak usia SD sedang berenang dan berloncatan di dua buah kolam di depan Masjid Agung Serang, Banten. Rata rata bertelanjang bulat, hanya ada satu-dua orang saja yang memakai celana pendek, itupun dipake, dilepas, dipake lagi dilepas lagi.

"Hei... Dul, emang boleh mandi disini?", tanyaku. "Hahaha, kok dipanggil Dul?, boleh kok" balas mereka. "Okey, lanjuut" kataku sambil njepret mereka.
Itulah yang menurut aku memakmurkan masjid. Meramaikan masjid dengan sebenar-benarnya. Aku paling nggak suka melihat masjid yang mempraktekkan aturan yang keras bagi anak-anak. Ada masjid yang melarang anak-anak bersuara keras, melarang mereka berkejaran di halaman masjid, melarang mereka pake celana pendek dan banyak lagi aturan-aturan lainnya. Kali ini benar-benar terbuka, mereka bertelanjang berenang di kolam yang sebenarnya pada jaman dahulu adalah tempat berwudhu. Air dalam jumlah tertentu, kalo nggak salah dua kullah, walaupun tidak mengalir, tetap suci dan mensucikan, begitu syariatnya.... cieee :-).

Karena sekarang sudah semakin maju, wudhu tinggal buka kran, maka tempat wudhu di depan masjid sudah tidak terpakai lagi. Jadilah tempat ini menjadi lahan belajar lompat indah dan berenang anak-anak di sekitar Masjid Agung Serang yang lokasinya berada di kawasan situs Banten Lama.

Aku teringat berapa tahun silam, saat aku SD. Aku tinggal di Plaju, Palembang, Sumatra Selatan. Rumah tinggal orang-tuaku di dekat masjid Darul Ridwan. Masjid ini memiliki halaman yang luas di sekelilingnya. Halaman depan ada lapangan yang dijadikan lapangan sepakbola, rumputnya relatif terawat dan selalu hijau. Disebelah kiri masjid ada lapangan lagi, yang juga dijadikan tempat bermain sepakbola, tapi bentuknya tidak selebar halaman depan masjid. Sebelah belakang ada halaman yang lebih luas dan memanjang, tapi tidak biasa dijadikan tempat bermain bola. Kalo di sebelah kanan masjid ada halaman juga tapi tidak dijadikan arena bermain. Hampir setiap sore aku main bola di sekitar masjid. Karena masih kecil (masih SD, coy...) aku biasanya main di halaman kiri masjid, karena halaman depan biasanya yang ikut main sudah serius dan tua, hahaha...., tapi suasananya benar-benar seru dan egaliter.

Melihat anak-anak Serang main di masjid, ingatanku adalah aku juga dulu main di masjid. Masjid benar-benar ramai dan makmur. Tidak perlu memakmurkan masjid diartikan sempit hanya mendatangi masjid untuk ritual keagamaan, hanya main-main pun okey juga.

Sudah lama aku berpikir, kenapa sih masjid menjadi "terlalu" disakralkan. Hanya tempat sholat, ngaji dan ritual keagamaan lain. Mengapa masjid tidak dijadikan tempat berdagang, mengapa tidak ada swalayan yang dikelola pengurus masjid. Mengapa tidak ada kegiatan produktif di kebanyakan masjid.

Benci rasanya melihat orang-orang menadahkan tangan di jalan dengan dalih ingin membangun masjid. Apa nggak malu...tuuhhh. Apa nggak risih, melihat orang menadahkan tangan di masjid karena akan ada perayaan keagamaan.

Masjid umumnya memilliki tempat parkir yang biasanya disesuaikan dengan daya tampung masjid. Itu point lebih, apalagi di Jakarta. Coba andaikan ada ruang tertentu di masjid yang dijadikan swalayan, mini market, tempat kursus, tempat pertemuan yang disewakan. Kelola-lah masjid dengan baik, buat hot-spot, tempat ngopi dan lain-lain. Kayaknya masjid benar-benar bisa "dimakmurkan" dalam artian sebenarnya. Jamaah yang datang bisa ramai, keuangan masjid pun lebih menjanjikan.

Coba bayangkan, andaikan masjid Sunda Kelapa atau Masjid Al Azhar, atau masjid Istiqlal memiliki fasilitas yang baik. Punya swalayan, jadi usai sholat bisa belanja atau sebaliknya. Punya tempat kongkow di halamannya dengan hot-spot dan kedai kopi kecil yang cantik. Punya ruang presentasi, punya ruang pertemuan, aku membayangkan masjid akan selalu ramai dari siang hingga malam. Sekarang tinggal dibuat aturan dan manajemen yang baik.

Kalau masjid punya tempat yang asyik, kita punya alternatif meninggalkan kedai-kedai kopi atau waralaba asing.

Yuuk, kita mengelola masjid dengan rapi. Ada urusan dunia, ada urusan akhirat, tapi dua-duanya bisa seimbang. Asyiiiikkkk...
Suatu saat ada ajakan, "Heiii, ketemuan yuuk sambil ngopi-ngopi di masjid Sunda Kelapa". Atau "Ketemuan yuuk, di Al Azhar". "Makan pecel lele yuuk di Istiqlal" Perlahan tidak lagi ajakan "Ngopi yuuk di St******", atau "Ketemuan yuuk di Ca** ****".

TEROR DI MANHATTAN, 31 OKTOBER 2017

TEROR DI MANHATTAN, 31 OKTOBER 2017 Oleh: Alam Burhanan Virginia, USA Mendengar kabar ada serangan yang mematikan, mende...