Kamis, 03 September 2009

Takut Mati

Tanggal 2 September 2009, sekitar pukul 3 sore kurang dikit, Jakarta digoyang gempa. Gempanya berpusat di Tasikmalaya, Jawa Barat, tapi getarannya lumayan menciutkan nyali.

Aku sedang menghadap komputer saat gempa terjadi, semula terasa gelombang tranversal gempa mengguncang kiri-kanan tubuh. Lalu aku berdiri dan ternyata hantamannya tidak berhenti malah lebih besar. Spontan banyak teriakan muncul, takbir juga berkumandang dimana-mana. Semua berebutan mencari pintu keluar. Tangga darurat dituju beramai-ramai, berhimpitan, sementara getaran masih terasa.

Sebelum menuju tangga darurat aku sempat berpikir apakah aku bertahan saja di ruangan, toh... bila gempa semakin kuat tangga darurat pintu tidak bisa menjadi penyelamat. Pasrah, beberapa detik, namun dorongan dan arus orang yang menuju pintu darurat mengantarkan aku ke pintu darurat juga akhirnya. Tapi kepasrahan beberapa detik membuat, lebih tenang…

Suasana dekat dengan ketidakpastian pernah juga aku alami pada tahun 2004, saat ikut rombongan pasangan calon presiden Wiranto dan wakil presiden Solehuddin Wahid.

Saat itu pasangan capres-cawapres baru saja menyelesaikan kampanye putaran terakhir di Medan, Sumatra Utara. Kami bertolak dari Bandar udara Polonia, Medan, sore hari. Pesawat yang digunakan adalah pesawat carter, jenisnya kalau tidak salah foker 28. Aku sebenarnya berangkat berdua dengan kamerawan Andi Azril, tapi Azril memilih tinggal semalam dulu di Medan, aku memutuskan ikut rombongan pulang ke Jakarta.

Cuaca di bandara Polonia cerah. Pesawat take off dengan mulus. Di dalam pesawat ada pasangan capres-cawapres, Wiranto dan Solehuddin Wahid. Banyak petinggi Partai Golkar juga ikut dalam pesawat carter ini, sebut saja, Akbar Tandung, Fahmi Idris dan lain-lain. Kursi pesawat tidak terisi semuanya, aku mengambil posisi di tengah, samping kananku kursi kosong.

Sepuluh menit terbang, udara gelap menghadang. Pesawat terguncang hebat, di luar yang terlihat hanya gelap, pekat. Dua orang pramugari saat pesawat masuk ke dalam turbulensi udara, sedang membagikan makanan kecil dan permen. Tiba-tiba pesawat seperti tersedot ke bawah, terasa dalam dan membuat tubuh terlonjak ke atas.

Salah seorang pramugari yang sedang membagikan makanan, langsung duduk di sebelahku. Tatapannya penuh ketakutan, dipakainya safety belt dengan cepat. Tidak ada suara di dalam kabin, hanya guncangan hebat yang terasa. Beberapa barang di kabin terhambur.

Tiba-tiba sedotan udara kembali menurunkan ketinggian pesawat, jantung seperti terlonjak keluar, aku berdoa dalam hati, bila aku memang harus mati di sini. Pramugari yang duduk di sampingku melafadzkan “astaghfirullah”, berkali-kali, semakin berguncang suaranya semakin keras.

Jantungku seperti berhenti memompa darah. Cuaca jelek belum terlampaui, tapi aku beranikan bertanya ke pramugari, apakah kejadian seperti ini pernah dialami sebelumnya. Dia menjawab dengan terengah bahwa pengalaman udara buruk seperti ini baru kali ini dialaminya. Aku jadi takut mendengarnya. Pramugari yang setiap hari terbang pun ketakutan.

Pesawat masih juga berguncang keras, tarikan pesawat ke bawah berkali-kali menghentikan denyut jantung, keringat dingin mengalir. Rasa takut mencekam. Tidak ada yang bisa dilakukan, selain pasrah. Terbayang di depanku bahwa aku akan menjadi bagian dari berita besar jatuhnya pesawat yang membawa petinggi parti Golkar. Turbulensi udara masih kuat.

Sekitar 5 menit, terdengar suara mesin mengeras.Semakin lama semakin keras dan akhirnya terdengar suara seperti hentakan, tiba-tiba guncangan berhenti, ada sinar dari balik jendela. Ternyata pesawat berhasil melampaui cuaca buruk. Pramugari di sampingku masih tertunduk.

“Bravo, selamat….”, suara Ruhut Sitompul menggelegar memecah kesunyian, tepuk tangan menggema di dalam pesawat. Ruhut pengacara dengan kuncir rambut dan pernah menjadi “si raja minyak” dalam sebuah sinetron, tertawa lepas, sambil berdiri dari tempat duduknya. Saat itu Ruhut masih menjadi asisten Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung.

Hampir seluruh penumpang kemudian berdiri, bertepuk tangan, pujian kepada sang pilot terlontar dimana-mana… suasana persis seperti baru saja meraih kemenangan besar.

Selasa, 01 September 2009

Sejati Cinta Drug-Dealers (Fiksi)

Bagian 3, by AB

Puluhan warga berkerumunan di depan pagar saat sinar matahari baru saja datang menyambar. Cahaya matahari hangat, dan mampu untuk menguapkan buliran lembut embun di atas dedaunan. Tapi puluhan warga nampak beringas, garang, seolah mereka datang dari dunia yang terberkati dengan berjuta kebencian.

Tak ada salam, yang terdengar adalah ketukan batu di pagar besi. Sebagian lagi berteriak melengking, “Ayo keluar, keluaaarrr!!!”. Tak ada jawaban dari dalam. Teriakan hanya dibalas dengan padamnya lampu teras depan karena saklarnya ditekan oleh sang pria.

“Kamu disini saja….” bisik sang pria tenang, sang perempuan pun tenang. Tak tahu mengapa sepasang kekasih itu sama-sekali tak ada takut, mungkin masih terpengaruh putau.

Sejurus kemudian sang pria keluar dari pintu depan dan berjalan ke arah pagar. Kepalanya diangkat, dagunya sedikit terdongak. Matanya menyipit, tersilau matahari. “Ada apa pak?” katanya tenang sambil membuka pagar. Ketenangannya menggetarkan warga yang sedari tadi tampak marah.

Lima detik berlalu tanpa ada jawaban, tiba-tiba hanya ada rengekan anak usia sekolah dasar yang meminta agar ayahnya pulang. “yah, ayo pulang… nanti aku terlambat ke sekolah”. Tidak ada jawaban yang menenangkan sang bocah.

Ada suara yang menyambar cepat, “Begini mas, tadi malam saya melihat ada semacam pesta narkoba di sini…, dan ada penghuni lain selain anda. Kami sebagai warga merasa terganggu”. “Oh, jadi mas ya, yang mengajak warga ke sini?”. Tak ada jawaban kemudian.

“Kami akan memeriksa rumah ini…!!!” desak yang lain. “iya, kami akan periksa saudara!!!”. “ayo kita masuk saja!!!”, suara desakan bertalu-talu.

“Bapak-bapak, saya menghormati bapak-bapak dengan norma-norma yang bapak anggap baik, saya menghormati keinginan bapak agar daerah ini bersih… tetapi mengapa bapak-bapak ingin masuk rumah saya padahal itu melanggar”. Sihir apa yang muncul sehingga warga terdiam, mungkin bingung dengan yang dinamakan norma.

“Begini saja bapak-bapak, saya akan mempersilahkan bapak masuk, tapi harus didampingi oleh polisi yang membawa surat tugas”. Suara kerumunanan warga kemudian bersahutan meninggi.

“Jadi kamu nantangi kita!!!, kamu sudah merasa paling jago!!!... awas kamu!!!”. Sekonyong-konyong sebuah pukulan mendarat keras di pipi kanan sang pria, dia bergeming. Tak dibalasnya pukulan itu, karena pasti warga lain akan marah. Sebuah jotosan lagi dilayangkan tapi kali ini ditangkis oleh warga lain yang sedari tadi tampak diam saja. “Sudah, jangan!!!, tidak ada gunanya memukuli dia”.

Sang pria mundur satu langkah ke belakang dengan menggeser kaki kanannya ke belakang. Warga yang menangkis pukulan tadi, sigap menggeser kaki kanannya pula. Kini posisi sang pria dan warga yang menangkis pukulan berhadap-hadapan dengan kesigapan masing-masing. Suasana menegang.

Lambaian tangan sang warga kemudian menghampiri pundak kiri sang pria, “Mas, kita warga sini tidak suka ada yang melanggar hukum dan mempengaruhi warga yang lain dengan pengaruh buruk. Sekarang kami akan membubarkan diri, tapi kalau anda terlihat berbuat jahat, ingat… anda akan berhadapan dengan saya”. Sang pria menundukm dijulurkannya tangannya menjabat tangan sang warga yang menangkis pukulan.

Akhirnya warga bubar. Sang pria menghela nafas, terpikir olehnya kata-kata sang warga bahwa kalau dia berbuat jahat maka dia akan berhadapan dengan warga itu. Huuh… betapa ucapan tadi mampu melokalisir kemarahan warga menjadi hanya di tangan sang warga penangkis pukulan.

Kepala perempuannya menyembul dari balik pintu kayu berwarna hijau pudar. Sang pria menghampirinya dengan tersenyum. Tidak ada pertanyaan dari sang perempuan, tidak ada percakapan setelahnya. Mereka lalu beringsut pergi ke kamar. Tidur dilanjutkan.

TEROR DI MANHATTAN, 31 OKTOBER 2017

TEROR DI MANHATTAN, 31 OKTOBER 2017 Oleh: Alam Burhanan Virginia, USA Mendengar kabar ada serangan yang mematikan, mende...