Tanggal 2 September 2009, sekitar pukul 3 sore kurang dikit, Jakarta digoyang gempa. Gempanya berpusat di Tasikmalaya, Jawa Barat, tapi getarannya lumayan menciutkan nyali.
Aku sedang menghadap komputer saat gempa terjadi, semula terasa gelombang tranversal gempa mengguncang kiri-kanan tubuh. Lalu aku berdiri dan ternyata hantamannya tidak berhenti malah lebih besar. Spontan banyak teriakan muncul, takbir juga berkumandang dimana-mana. Semua berebutan mencari pintu keluar. Tangga darurat dituju beramai-ramai, berhimpitan, sementara getaran masih terasa.
Sebelum menuju tangga darurat aku sempat berpikir apakah aku bertahan saja di ruangan, toh... bila gempa semakin kuat tangga darurat pintu tidak bisa menjadi penyelamat. Pasrah, beberapa detik, namun dorongan dan arus orang yang menuju pintu darurat mengantarkan aku ke pintu darurat juga akhirnya. Tapi kepasrahan beberapa detik membuat, lebih tenang…
Suasana dekat dengan ketidakpastian pernah juga aku alami pada tahun 2004, saat ikut rombongan pasangan calon presiden Wiranto dan wakil presiden Solehuddin Wahid.
Saat itu pasangan capres-cawapres baru saja menyelesaikan kampanye putaran terakhir di Medan, Sumatra Utara. Kami bertolak dari Bandar udara Polonia, Medan, sore hari. Pesawat yang digunakan adalah pesawat carter, jenisnya kalau tidak salah foker 28. Aku sebenarnya berangkat berdua dengan kamerawan Andi Azril, tapi Azril memilih tinggal semalam dulu di Medan, aku memutuskan ikut rombongan pulang ke Jakarta.
Cuaca di bandara Polonia cerah. Pesawat take off dengan mulus. Di dalam pesawat ada pasangan capres-cawapres, Wiranto dan Solehuddin Wahid. Banyak petinggi Partai Golkar juga ikut dalam pesawat carter ini, sebut saja, Akbar Tandung, Fahmi Idris dan lain-lain. Kursi pesawat tidak terisi semuanya, aku mengambil posisi di tengah, samping kananku kursi kosong.
Sepuluh menit terbang, udara gelap menghadang. Pesawat terguncang hebat, di luar yang terlihat hanya gelap, pekat. Dua orang pramugari saat pesawat masuk ke dalam turbulensi udara, sedang membagikan makanan kecil dan permen. Tiba-tiba pesawat seperti tersedot ke bawah, terasa dalam dan membuat tubuh terlonjak ke atas.
Salah seorang pramugari yang sedang membagikan makanan, langsung duduk di sebelahku. Tatapannya penuh ketakutan, dipakainya safety belt dengan cepat. Tidak ada suara di dalam kabin, hanya guncangan hebat yang terasa. Beberapa barang di kabin terhambur.
Tiba-tiba sedotan udara kembali menurunkan ketinggian pesawat, jantung seperti terlonjak keluar, aku berdoa dalam hati, bila aku memang harus mati di sini. Pramugari yang duduk di sampingku melafadzkan “astaghfirullah”, berkali-kali, semakin berguncang suaranya semakin keras.
Jantungku seperti berhenti memompa darah. Cuaca jelek belum terlampaui, tapi aku beranikan bertanya ke pramugari, apakah kejadian seperti ini pernah dialami sebelumnya. Dia menjawab dengan terengah bahwa pengalaman udara buruk seperti ini baru kali ini dialaminya. Aku jadi takut mendengarnya. Pramugari yang setiap hari terbang pun ketakutan.
Pesawat masih juga berguncang keras, tarikan pesawat ke bawah berkali-kali menghentikan denyut jantung, keringat dingin mengalir. Rasa takut mencekam. Tidak ada yang bisa dilakukan, selain pasrah. Terbayang di depanku bahwa aku akan menjadi bagian dari berita besar jatuhnya pesawat yang membawa petinggi parti Golkar. Turbulensi udara masih kuat.
Sekitar 5 menit, terdengar suara mesin mengeras.Semakin lama semakin keras dan akhirnya terdengar suara seperti hentakan, tiba-tiba guncangan berhenti, ada sinar dari balik jendela. Ternyata pesawat berhasil melampaui cuaca buruk. Pramugari di sampingku masih tertunduk.
“Bravo, selamat….”, suara Ruhut Sitompul menggelegar memecah kesunyian, tepuk tangan menggema di dalam pesawat. Ruhut pengacara dengan kuncir rambut dan pernah menjadi “si raja minyak” dalam sebuah sinetron, tertawa lepas, sambil berdiri dari tempat duduknya. Saat itu Ruhut masih menjadi asisten Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung.
Hampir seluruh penumpang kemudian berdiri, bertepuk tangan, pujian kepada sang pilot terlontar dimana-mana… suasana persis seperti baru saja meraih kemenangan besar.
Almost everything we call "higher culture" is based on the spiritualization and intensification of cruelty- this is my proposition; the "wild beast" has not been laid to rest, it lives, it flourishes, it has merely become-deified.(Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, 1885).
Kamis, 03 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
TEROR DI MANHATTAN, 31 OKTOBER 2017
TEROR DI MANHATTAN, 31 OKTOBER 2017 Oleh: Alam Burhanan Virginia, USA Mendengar kabar ada serangan yang mematikan, mende...
-
17 Agustus 2009, hari ini, aku bebas merdeka,… seharusnya ada acara wajib, upacara 17-an pukul 6.30 pagi di kantor, tapi aku dengan kemerdek...
-
1 of 3 2 of 3 3 of 3 Ini adalah Episode program Telisik di ANTV dengan judul Bisnis Narkoba di Dalam Penjara. Episode ini diputar pada Agust...
-
HANTU FENOMENAL DI KBRI WASHINGTON DC Oleh: Alam Burhanan Di Virginia, AS “Mas, tadi malam saya denger main pianonya bagus sekali”...
8 komentar:
gajah mati meninggalkan gading
harimau mati meninggalkan belang
AB (kalo)mati meninggalkan proyek sangkuriang...
amittttt amitttt.....
hiii, serem amat... tapi sedih nggak?
yaiyalah....
Hffffhhh...karena umur ga bisa ditebak, katanya kejujuran harus diungkapkan. Tapi gempa kmrn jd bikin dilema. Antara milih jujur tapi nggak sesuai norma, atau nggak jujur tapi (konon) masuk surga. Mas pilih yang mana? :)
Hffffhhh...karena umur ga bisa ditebak, katanya kejujuran harus diungkapkan. Tapi gempa kmrn jd bikin dilema. Antara milih jujur tapi nggak sesuai norma, atau nggak jujur tapi (konon) masuk surga. Mas pilih yang mana? :)
***
hehehe... agak aneh ya, masak memilih jujur adalah nggak sesuai norma? menurutku kayaknya kejujuran berada diatas norma. Norma menurutku hanya kesepakatan-kesepakatan manusia agar terjadi keteraturan sosial, semacam konsensus. Sedangkan kejujuran berasal dari hati.
Masalah kejujuran diatur secara syar'i, norma adalah berdasar ijtihad yang disepakati secara bersama. (xixixi... sorry lagi sok tau ya...).
Kalo surga menerima orang yang tidak melanggar norma walaupun tidak jujur,... ntar di surga banyak orang yang nggak jujur dong... gawat, hehehe
Hmmm... Mungkin itu gunanya surga dibikin berlapis2, biar fasilitasnya beda2. Pengikut norma yang nggak jujur masuk surga yang berbatasan sama neraka. Pengikut kejujuran hati yang nggak sesuai norma masuk...
Masuk ke mana ya?? Secara udah usaha, gitu loh...
**garuk-garuk kepala**
bahas beginian mpe dini hari, masuk angin nggak?
Gus Dur dulu pernah berkelakar, kalau surga dan neraka itu belum tentu ada kok...
Terus untuk apa berbuat baik di dunia? yaahh,... untuk jaga-jaga aja, siapa tahu surga-neraka itu ada beneran...
jadi norma itu untuk jaga-jaga aja dong? hehehe
Gus Dur bacaannya Conversation With God juga yaa
Wuihhh... Berarti ada atau nggak ada, nggak jujur itu rugi dua kali dong ya. Nelangsa di dunia, setelah mati belum tentu dapet surga juga.. Hehehe
Posting Komentar