Rabu, 10 September 2008

Wartawan sok Perang 2

Wartawan sok Perang 2
Jatah Komandan Diembat

Beberapa wartawan termasuk aku ikut pada sebuah operasi TNI di kawasan Blang Rheum, Bireun, Nangroe Aceh Darussalam. Operasi ternyata bocor, hasilnya terjadi terjadi Friendly Fire, antara BRIMOB dengan Pasukan Pendarat Marinir. Wartawan yang ikut dengan Pasukan Marinir ikut ditembaki oleh BRIMOB, Marinir tidak melakukan tembakan balasan.

Tahu bahwa kita tadi ditembaki oleh BRIMOB, mangkel hati rasanya, beruntung tidak ada satupun yang terluka, kalau istilah slengean di Aceh istilahnya adalah “ Ngeri- ngeri Sedap”.

Sore itu rasa capek, laper dan sebagainya muncul kembali sesaat tiba di pos. Air minum langsung diserbu. Tidak berapa lama, tiga orang personil pasukan TNI datang membawa setandan pisang yang sudah matang, satu orang lagi membawa sangkat burung lengkap dengan isinya, seekor burung berwarna kuning sebesar separuh burung dara. Segera pisang setandan diserbu wartawan dan personil tentara yang pastinya kelaparan juga.

Sambil makan pisang aku tanya pada personil yang membawa burung, “Ngambil dimana burungnya, bang?”. “Ada di rumah kosong, jadi kita ambil aja daripada mati” balasnya. “Dibayar nggak?” sambarku. “Sudah tadi, kita taruh uang sepuluh ribu dan rokok Dji Sam Soe setengah bungkus, kalau di daerah konflik kita tidak boleh ngambil mas, kalau ngambil kita harus ganti ntah tinggalin duit atau rokok, biar nggak ada celaka dalam operasi” jawabnya. “Gundulmu!” kataku bercanda.

Tiba tiba Letkol Joko datang terburu buru, “Mana teman temannya?” tanyanya, “ada di dalam, pak”, balasku, “ayo ikut, ada Pangkoops ke lokasi”. Maksud Letkol Joko, panglima Komando Operasi Darurat Militer Brigjen Bambang Dharmono akan meninjau lokasi.

Kuikuti langkah Pak Joko ke dalam rumah. Tiba tiba langkah pak Joko terhenti,...astaga di ruang keluarga tadi, ada tiga wartawan termasuk kamerawanku sedang makan reriungan sisa makan siang Sang Komandan dan pasukan. Mereka makan sambil jongkok, mengerubungi sebuah baskom berwarna putih kekuningan yang isinya nasi dicampur dengan ayam bumbu sisa makan siang. Makannya berebutan kayak tawanan perang. Ketiganya tercekat saat ketemu Pak Joko, salah seorang kreatif menegur “makan, Dan! (Komandan)”. “Hahahahahahahahahahahahahahahahaha.......” Aku spontan tertawa terpingkal pingkal. Pak Joko terdiam, raut mukanya campur baur, antara geli, kasian dan jengkel karena tidak segera siap bergerak. Usut punya usut, makan siang yang disamber teman teman tadi adalah sisa makan siang pasukan dan Sang Komandan. Karena siang itu kita tiba di pos, waktu makan siang sudah lewat, jadi tidak ada jatah makan siang. Entah siapa yang menemukan dan memulai, ada sisa makanan langsung diserbu tanpa ba-bi-bu oleh teman temanku.

Pak Joko balik kanan, aku masih dalam kondisi tertawa, memberitahu mereka untuk segera bersiap karena Bambang Dharmono yang biasanya disebut BD segera datang ke lokasi. Mereka cuek melanjutkan makan, aku sakit perut menahan geli. Terbayang kalau seterusnya jadi tentara pasti menderita dalam operasi operasi di medan perang.

(To be continued)

Selasa, 09 September 2008

Wartawan sok Perang

Wartawan sok Perang
By.AB

Pada era darurat militer di Aceh, aku pernah merasakan desingan peluru beberapa inchi saja dari kepala. Kejadiannya sekitar bulan Juni 2003, di kawasan Blang Rheum, wilayah Gerakan Aceh Merdeka Batee Iliek dengan Panglima Wilayah GAM Darwis Jeunib.

Darwis Jeunib, konon adalah salah satu combatan GAM yang piawai dalam menembak. Tembakan Darwis jitu, karenanya menjadi salah seorang sniper handal di GAM. Kepiawaiannya itulah yang menjadikan Darwis Jeunib menjadi Panglima Wilayah. Secara organisasi pasukan perang GAM, panglima wilayah andaikan dipadankan dengan organisasi TNI, bisa dianggap sebagai Panglima Kodam, cukup prestisius.

Kira kira satu bulan operasi darurat militer di Aceh berlangsung, Satuan Marinir dari Batalyon Tim Pendarat pimpinan Letkol. Marinir. Joko Suprianto menangkap informasi keberadaan Darwis Jeunib. Bagi wartawan, info ini menjanjikan berita menarik sehingga dengan semangat “wartawan perang” meluncurlah ke markas TNI di Bireun yang letaknya di lingkungan kantor Bupati Bireun. Aku waktu itu bersama dengan kamerawan SCTV, Taufik Maru, ikut bergabung. Tak lama kemudian di sebuah warung kopi di dekat markas, kami bertemu dengan beberapa wartawan lain yang memang ngepos di kawasan Bireun.

Makan siang di warung, sambil menunggu keberangkatan tim ke pos terakhir di dekat lokasi dugaan tempat persembunyian Darwis Jeunib dan pasukannya. Sore hari, tak lama lepas magrib, pasukan bergerak. Dua tank baja dan satu truk dipakai untuk membawa wartawan dan pasukan ke lokasi yaitu kawasan hutan di Blang Rheum.

Kami wartawan memilih naik tank baja, mengingat tidak mau konyol kalau tiba tiba disergap pasukan GAM. Setelah duduk manis di dalam tank, lima menit kemudian pasukan bergerak. Lima kemudian pengab dan panas di dalam tank, segera membuat peluh berlarian membasahi tubuh.

Di bagian atas tank, ada tempat terbuka yang dijadikan ruang gerak personil yang siap memuntahkan peluru dari senapan mesin. Tak tahan panas, akhirnya kami bergantian menongolkan kepala dan separuh badan, sekedar mendapat angin, lumayaaan.

Setelah semakin masuk ke dalam hutan dengan kondisi jalan yang tidak keruan, karena jalan apa saja dihantam oleh tank baja itu, kami tidak lagi berani menongolkan kepala. Kira kira satu dua jam berjalan, kami tiba disebuah rumah kosong yang sudah ditinggalkan penduduk, rupanya disini sudah ada pasukan TNI dan dijadikan pos pantau terakhir.

Wuiih, begitu sampai suasana gelap, tidak ada lampu penerangan sama sekali. Setelah sampai segera wartawan dan pimpinan pasukan masuk ke dalam rumah kayu. Dua orang personil TNI menyiapkan lampu senter kecil, yang bisa diubah bentuknya menjadi lampu gantung lalu digantung di ruang tengah. Rumah kayu itu tidak besar, sekitar 70 meter persegi dengan dua kamar tidur. Ada pula ruang tamu yang digabung tanpa sekat dengan ruang keluarga. Kamar mandi berada di luar rumah, bagian belakang. Air tentu saja pakai timba.

Makan malam rupanya sudah disiapkan, sebetulnya buat komandan, yaitu Letnan Kolonel Joko dan beberapa anak buahnya yang baru tiba. Menunya mantap, untuk ukuran “perang” yaitu ayam kampung yang direbus dengan bumbu rempah rempah. Nasi yang masih mengebul ditaruh di dalam baskom besar warna putih kekuningan , sedangkan ayam diletakkan di baskom plastic berwarna biru yang lebih kecil.

Perut yang sudah protes nggak keruan, tidak bisa langsung menyantap hidangan, masih menunggu komandan, katanya personil jurusan masaak memasak. Sang Kolonel masih membriefing anak buahnya, sedangkan kami, ogah banget melihat briefing dan lebih baik mengambil posisi yang strategis untuk makan malam. Sekitar 20 menit, akhirnya briefing selesai, tapi nasi sudah terlanjur tidak lagi mengebul, hangat hangat saja.

Setelah basi basi sedikit, karena memang kami tidak mau lama lama takutnya protes perut semakin menjadi dan menimbulkan anarki. Lima menit sang komandan mengajak makan, horeeee….. Untungnya sebagai orang sipil ya… seperti ini, nggak perlu nunggu komando lagi untuk mulai merebut ayam dan nasi. Lima menit sunyi, yang terdengar suara kunyahan mulut mulut yang berisi ayam kampung dan nasi. Enak rasanya walaupun nasi agak pera’ dan ayam sepertinya tidak terlalu ikhlas untuk direbus terasa dari dagingnya yang masih alot.

Setelah 15 menit makan usai, ngerokok menjadi ritual selanjutnya. Basi basi dan omongan omongan ringan dilakukan dengan suara yang cenderung berbisik dan tanpa lampu.

Semakin malam mulai mengantuk, segera ambil posisi. Komandan dan pasukan intinya menempati dua kamar tidur dengan dipan kayu dan kasur kapuk tipis. Kami di ruang keluarga, tidur dengan dilapis tikar plastik. Sebelum tidur ke kamar kecil dulu di belakang, mengendap endap tanpa lampu. Kakusnya terbuka dan hanya ditutupi dengan anyaman bamboo pada dua sisi. Tidak ada air di ember jadi harus nimba dulu. Di dekat sumur ada tentara mandi, tentu saja bugil.

Rupanya ditinggal sebentar saja ke belakang membuat posisi tempat tidur sudah tergeser, edan nggak sampe lima menit. Semua berebutan tempat yang agak di tengah mengingat dindingnya hanya papan yang kalau ada berondongan peluru pasti tembus. Aku akhirnya dapat tempat di pinggir, sialan…. Kalau ada tembakan ke arah dalam yang berada di pinggir pasti tertembhus duluan. “Wah… nggak beres nih caranya kalau begini” tapi mau dikata apa, cuek tidur aja di pinggir belakang berbatasan dengan dapur. Tidak berani terlalu mepet ke pinggir, aku merangsek agak ke tengah. Karena sedikit ada ruang, aku tawari tentara yang sedang masuk ke ruangan untuk tidur di pinggir disamping aku. Sang tentara ini mau… hehehe, lumayan pikirku dalam hati, minimal kalau ada tembakan masih ada pelapis. Tidurlah akhirnya dengan nyenyak sekitar pukul 12 malam.

Pagi pagi sekitar pukul setengah enam terbangun hampir berbarengan aekitar 8 orang wartawan lain. Di luar ribut, rupanya pasukan sudah bersiap. Mereka membakar TB (makanan kaya kalori, tapi sumpah!!!nggak ueeenaaak). Kami ditawari, karena tidak ada menu lain, disantap aja, dua sendok cukup. Wartawan lain pun begitu, tidak ada yang lahap. Karena terlihat tidak bernafsu, seorang personil yang menjadi juru masak menawari membuat mie instant rebus, spontan pagi itu ada koor “setujuuuuuu”.

Hanya lima menit usai koor setuju, pasukan disiapkan untuk briefing. Briefing kurang lebih selama 20 menit, tapi imbasnya yang sangat fatal,... seluruh personil disiapkan dan wartawan dikumpulkan dan diberi informasi bahwa pasukan dibagi dua. Satu pasukan akan menyisir dan merazia di jalan desa dan satu pasukan lain akan menggerebeg tempat persembunyian Darwis Jeunib. Seluruh wartawan spontan tanpa komando menyatakan ikut pasukan yang akan menggerebeg kediaman Darwis Jeunib. Saat itu pasukan dan wartawan harus bersiap berangkat, artinya mie instant yang diharap-harapkan, gagal mengisi perut. Hanya membawa air mineral, kami berangkat, bego banget... ikut ”perang” modal air tok!

Satu jam perjalanan, air persediaan sudah tandas, padahal belum juga satu bukit terlampaui dari target tiga bukit, waah... kalau sudah begini harus kreatif. Kalau haus mendera, dekati satu personil marinir minta air minum persediaannya, haus lagi dekati personil lainnya, begitu seterusnya.

Memasuki bukit kedua di kepala sudah beterbangan kunang kunang. Tersadar bahwa fisik tentara kita memang ampuh. Kubunuhi satu persatu kunang kunang yang ada dengan beberapa kali bersandar di pohon dan minum berteguk teguk air punya pak tentara yang baik hati... (eit ini rahasia! yakinlah bahwa semua tentara itu baik hati, hanya saja terkadang sepatunya suka bandel dan mampir di kepala... cihuuuy!!!).

Di bukit kedua, pasukan istirahat sebentar, lumayan kunang kunang mulai hilang. Saatnya mendaki bukit terakhir dan dibalik bukit ketiga persembunyian Darwis Jeunib akan digrebeg. Segera semangat bangkit, dengan sisa tenaga yang tinggal sedikit. Teman kamerawanku jalan duluan dengan 2 kamerawan TV lain, sisanya tersebar di tengah dan di belakang.

Saat aku berada di puncak bukit, tiba tiba terdengar tembakan tek tek tek... tek tek tek... yang susul menyusul.... suara rentetan AK 47 menghiasi bukit. Posisiku terpisah dengan dengan kamerawanku yang saat itu berada di posisi tengah bukit. Personil pasukan marinir segera meminta kami tiarap, baru kali itu, aku bener bener mengikuti perintah tentara.

Rentetan suara terus berdesingan, tiba tiba seorang personil marinir berteriak ke temannya ”Diatas ada berapa?”. ” Dua!!!” jawab personil lainnya, entah siapa. ”Waduuuuh” teriak personil yang bertanya tadi, khawatir nampaknya. Nyaliku yang tadinya satu, menjadi setengah. Posisi tiarap dengan disiplin kujalani, sambil tangan kanan mengangkat kamera handycam yang aku bawa, ambil gambar sambil ngintip, sambil sembunyi, sambil berdoa.

Tidak lama dari rentetan suara AK 47, tiba tiba ada suara tembakan dari senapan lain, suaranya ssst,sst, sst!!!, spertinya suara senapan SS2. ”Bukan GAM!!!” teriak personil marinir. ”Tahan tembakan!!!!”. Akhirnya, sekitar 5-7 menitan kami dihujani ratusan peluru, tanpa pasukan marinir membalas. Nyaliku bertambah seperempat lagi, dan didalam hati aku bilang ”Bego banget!!! Ditembaki tidak membalas”. Tiba tiba suara tembakan mereda.

”Anjing!!!!” ”Anjing!!!” umpat komandan pasukan. ” Kita ditembaki Brimob!!!”. Seluruh pasukan dan wartawan satu persatu muncul dengan ekspresi yang berbeda beda. ”Tadi itu kita ditembaki Brimob, mereka sangka kita GAM. Nggak liat apa, kita pake topi baja. GAM nggak pernah pake topi baja!!!”.

Akhirnya pasukan berkumpul kembali di kaki bukit, anggota pasukan yang mencari persembunyian Darwis Jeunib menyatakan negatif alias tidak ada. Pasukan kemudian bersiap kembali untuk pulang ke pos.

Perjalanan ke pos nyaris tanpa suara. Capek, laper, haus, kesel bercampur aduk. Personil juga tampak kecewa. Hanya ada celetukan celetukan yan mempertanyakan siapa yang membuat operasi ini bocor.

Hampir 3 jam perjalanan pulang ke pos. Sampai ke pos sekitar pukul 3 sore. Saat sampai di pos kami disambut senyuman Letkol. Joko, dia bilang ”Kalian hampir jadi perkedel!!!”. ”Kenapa, pak?” sahutku. ”Tadi masuk permintaan dari Brimob untuk melemparkan mortir ke posisi kalian, katanya ada sekitar seratus GAM ada di posisi itu. Kemudian saya tanya dimana ordinatnya, ternyata ordinatnya adalah ordinat pasukan kita”, jawab Letkol Joko. ”Andai saja saya tidak dapat ordinat kalian, mortir dilepas, jadi perkedel kalian semua!”.

”Haah, persetanlah”, rasa capekku protes. Setelah itu berlangsung pembicaraan serius antara komandan dengan anggota personil. Nampaknya seru, dan dapat bocoran, bahwa yang mereka bicarakan adalah mengapa operasi bocor, apa kemungkinan yang ada, dan bagaimana tindak lanjutnya.

(To be Continued)

Senin, 08 September 2008

Roti Cane Keluarga Azahari


Roti Cane Keluarga Azahari

Saat Azahari tertembak di Malang dulu, aku besoknya langsung terbang ke KL untuk liputan "SIGI 30 Menit".Dari hari pertama, kedua, ketiga seluruh keluarga Azahari menutup diri.

Seluruh salam tidak ditanggapi, surat yang diletakkan di depan pintu tidak ada balasan dan kalaupun harus keluar rumah istri dan keluarga Azahari langsung menaiki dari garasi dan pergi.

Setelah tiga hari, dan kebetulan hari Jumat, anak Azahari bareng sama aku sholat di Masjid depan rumahnya. Wudhu bareng dan akhirnya duduk berdampingan di dalam masjid. Usai sholat jumat, kami bersalaman dan saling melempar senyum dan dia langsung kabur kembali ke rumah.

Sore harinya, istri Azahari dan anaknya pergi, ntah kemana. Aku mendekati mobil mereka, wajahnya tidak lagi ketakutan... Saat melintas aku lambaikan tangan, tidak ada balasan hanya nampak muka yang keheranan seperti bertanya mengapa wartawan ini tidak mencegat mereka, seperti yang mereka takutkan.

Hari keempat di KL, akhirnya kakak istri Azahari membukakan pintu. Terlihat wajah istri Azahari di meja makan. Dia mengenakan cadar warna hitam, melihat orang asing dia langsung meninggalkan ruang makan dan masuk kamar.Tidak ada wawancara dengan sang istri kata kakaknya, mereka hanya tersentuh melihat kami sudah berhari hari dari pagi sampai malam menunggu mereka buka suara, tapi herannya mengapa tidak pernah mencegat mereka. Targetku cuma satu, wawancara istri Azahari, sebelum mendapat itu kami tidak akan mengambil gambar secara paksa.

Atas keheranannya, pada hari keempat, sudah masuk di bulan puasa, kami diajak berbuka puasa bersama oleh kakanya, tidak didalam rumah tapi di teras belakang. Petang itu, menu berbuka puasanya roti cane dengan gule kambing. Itu adalah roti cane terenak yang pernah aku makan.

Memang tidak ada wawancara dengan istri Azahari, karena dia terlanjur kecewa dengan wartawan jawa post yang mengaku mewawancarai istri via telpon, padahal istri azahari tidak bisa bicara karena terkena kanker pita suara. Selebihnya mereka hanya percaya Trans TV karena enam bulan sebelum Azahari tertangkap, Trans TV membuat profil keluarga Azahari.Sebagai gantinya keluarga Azahari menjadi sangat membantu. Keluarganya bersedia diwawancarai, dan cerita cerita tentang Azahari.

Selain itu di Malaka, rumah kediaman keluarga Azahari bersedia menunjukkan kuburan yang telah dipersiapkan keluarga, bersedia menunjukkan foto foto Azahari waktu muda dan kami diajak ke kebun mangga keluarga mereka. Kebun keluarga itu berada di halaman belakang rumah, luasnya sekitar 2 hektar. Di kebun ini bekerja empat orang WNI sebagai tukang kebun dan penjaga.

Saat akan pulang ke Indonesia, setelah seluruh liputan selesai kami diminta mampir ke rumah keluarganya di Malaka. Rupanya mereka menyiapkan mangga untuk kami bawa ke Indonesia. Kami berterimakasih dan tidak mengambil banyak banyak seperti yang telah mereka siapkan, kami bawa mungkin tidak sampai 2 kilo.

Di hotel, mangga itu kami makan. Aku khusus membawa 3 mangga sebagai oleh oleh "Mangga Azahari", karena "Roti Cane Azahari" tidak bisa aku bawa ke Jakarta.

Azahari yang membuat KL lebih berkesan bagi aku.

Ketukan Dahan Pohon Cemara


Ketukan Dahan Pohon Cemara

Hatiku adalah seekor tupai dewasa, warnanya abu abu kecoklatan. Kebiasaannya di pagi dan sore hari, berlompatan di cabang dan ranting ranting pohon.

Pada suatu rabu pagi, hatiku seperti biasa berlompatan di ranting ranting pohon cemara di pinggir sungai berair jernih. Tak seperti biasanya, kali ini terdengar nyanyian burung kenari. Hatiku bukan pertama kali mendengar suara indah burung kenari, tapi pagi itu suara seekor kenari benar benar berbeda. Suara sang kenari menarik narik hati hatiku, mengetuk ngetuk jantungnya, mengisi seluruh saluran dengar hatiku, tiba tiba hatiku pun terjatuh, terkesiap dan segera melompat kembali ke ranting pohon cemara yang menjulur ke pinggir sungai. “Huuh, hampir saja” teriak hatiku. Memang hampir saja hatiku jatuh terguling kedalam sungai, beruntung kali ini hatiku sigap menerjang ranting pohon terdekat.

Suara kenari itu masih terdengar. Dicarinya asal suara, tertangkap mata hatiku, seekor kenari bertengger di pohon cherry. Warna bulunya kuning bersih, mengkilap. Raut wajahnya lucu dengan kelembutan kulit terbaik putih merona merah, paruhnya berwarna kemerahan. Didekatinya sang kenari kuning dengan dua kali lompatan, nyanyian sang kenari kontan terhenti. Sang kenari mengibaskan sayapnya, menoleh ke arah hatiku dengan raut kesal dan heran. “Tak tahu diri ini tupai…”.

Sepekan berlalu, tanpa pertemuan. Masih di rabu pagi pekan berikutnya, hatiku kembali bertemu dengan Kenari Kuning. Hatiku menyapa kenari kuning, dibalas sapanya oleh kenari kuning, hatiku mendekat. Sejak rabu pekan kedua itu, hatiku merasa dekat dengan sang kenari kuning.

Kamis, Jum’at, Sabtu, Minggu, Senin dan Selasa, hatiku selalu bertemu dengan kenari kuning.

Rabu pagi minggu ketiga, hatiku mengetuk ngetukkan jemarinya ke dahan pohon cemara, kenari kuning menimpali dengan suara nan indah. Hatiku tidak pandai bernyanyi, kenari kuninglah yang membuatnya indah. Hatiku hanya bisa menjaga ketukan dengan irama yang sama, kenari bernyanyi dengan leluasa, semakin lepas semakin indah.

Rabu pagi minggu ketiga, hatiku dan kenari kuning menjaga harmoni ensamble sederhana, ketukan dahan cemara. Berhari hari hatiku semakin menuai hari hari indah. Hatiku semakin terlena. Dicintainya sang kenari kuning, melambung angan dan jiwanya. Raganya seolah terlepas dari jiwa saat bersama kenari kuning. Hatiku lupa menjaga irama, ketukan dahan tak lagi terjaga berirama, hatiku dipenuhi rasa bahagia, ketukan dahan cemara terlupa, hatiku merasa bahagia, ketukan dahan cemara terlupa.

Hatiku bermimpi di dahan cemara, akan terlahir putra nan Tangguh, pandai bernyanyi, pandai menjaga irama ketukan dahan pohon cemara, pandai terbang dan pandai melompati ranting ranting. Mimpi hatiku melambung, ketukan dahan cemara tak terjaga, kicauan masih indah, ketukan dahan cemara tak terjaga, kicauan kenari masih indah.

Rabu, dua tahun tiga bulan, setelah rabu pagi pekan ketiga. Ketukan dahan cemara tak terjaga, harmoni tak terjaga. Hatiku terkesiap saat rabu dua tahun tiga bulan setelah rabu pagi minggu ketiga, kenari mengibaskan sayapnya meninggalkan harmoni yang tak terjaga.

Hatiku tersadar ketukan dahan dipohon cemara tak terjaga. Dikembalikannya irama ketukan dahan cemara dalam ensambel harmoni sederhana, sang kenari kuning sudah tak ada.

Hatiku berirama dalam ketukan dahan cemara, nyanyian kenari kuning sudah tak ada. Hatiku tak pandai bernyanyi,… bergumam, berdoa dan akhirnya bernyanyi juga dalam ketukan dahan cemara… kali ini hatiku bernyanyi sendiri…hatiku memintakan maaf…

I wish you bluebirds in the spring
To give your heart a song to sing
And then a kiss
But more than this
I wish you love

And in July a lemonade
To cool you in some leafy glade
I wish you health
And more than wealth
I wish you love

My breaking heart and I agree
That you and I could never be
So with my best
My very best
I set you free

I wish you shelter from the storm
And a cozy fire to keep you warm
And most of all
When snowflakes fall
I wish you love

TEROR DI MANHATTAN, 31 OKTOBER 2017

TEROR DI MANHATTAN, 31 OKTOBER 2017 Oleh: Alam Burhanan Virginia, USA Mendengar kabar ada serangan yang mematikan, mende...