Hari ini tepat tanggal 31 Desember 2008, terdakwa kasus pembunuhan Munir mantan Komanda Komando Pasukan Khusus periode tahun 1998-1999 divonis BEBAS!!!
Aku tersentak, padahal pada saat pembacaan tuntutan 15 tahun oleh Jaksa kepada Muchdi, aku sudah berkeyakinan bahwa tuntutan tidak cukup kuat untuk menjerat si Michael (psst… Michael itu nama panggilan Muchdi di kalangan intelejen, initial namanya adalah MPr dari nama sesuai passport hijaunya adalah Muchdi Purwopranjono tanpa huruf “d” jadi bukan Purwoprandjono, kode awal MPr adalah M. Huruf M biasa dieja dengan Mike, Mike sama dengan Michael, jadi keren juga).
Mungkin capek juga kalo mencoba mentrasir kasus, motif dan dokumen yang ada, toh Michael (tanpa Dudikoff!!!), sudah divonis bebas pada tingkat Pengadilan Negeri.
Satu hari sebelum vonis terhadap Michael, aku ketemu dengan Suciwati, istri almarhum Munir. Aku banyak bertanya tentang ancaman ancaman yang diterima oleh Munir dan keluarganya. Munir ini, menerima ancaman berkali-kali, rumahnya di Malang pernah diantari bom, pernah diancam akan dihilangkan oleh mantan KSAD R. Hartono, pernah diserempet motor, pernah dikuntit orang dan ancaman bahkan pernah menyasar ke anaknya Munir yang sekolahnya didatangi orang mengaku polisi dengan alasan akan melindungi anaknya Munir (ketika ditanya apa alasannya untuk melindungi, eehhh malah bingung menjawabnya).
Ancaman yang terkait dengan Michael adalah saat Munir, sedang seru-serunya mengadvokasi korban penculikan oleh Tim Mawar. Tim Mawar adalah tim di Kopassus yang dinyatakan oleh Dewan Kehormatan Perwira-TNI terlibat dalam serangkaian aksi penculikan aktivis pergerakan pada tahun 1998 silam. Pada tahun 1998, Munir dan keluarganya harus dievakuasi oleh teman-teman sesama aktivis karena diancam akan dihilangkan.
Aku Tanya ke Suci, “mbak, salah satu tuntutan terhadap MPr adalah motifnya menghilangkan Munir karena sakit hati?”. “Iya, mungkin saja ada hubungan…. Bla-bla-bla…””. Intinya Munir pernah cerita bahwa yang paling loro wetengi (sakit perutnya) karena kasus pencopotan posisi di Komandan Jendral Kopassus, iku ya Muchdi. Alasannya ada dua: satu, karena Michael gagal menghilangkan Munir, kedua, karena dicopot dari posisi sebagai Danjen Kopassus. Tapi Suci juga menambahkan, “Kalo memang tidak ada motif itu emangnya kenapa? Selama ada konspirasi dibalik pembunuhan Munir, hal itu tetaplah kejahatan walaupun tanpa motif sakit hati”.
Saat menjelaskan motif sakit hati Michael, Suci ngomongnya seperti orang tersengal-sengal, masih ada rasa sakit, masih ada rasa benci, masih ada rasa cinta kepada Munir, masih ada pencarian terhadap keadilan, masih ada harapan.
16 jam kemudian, harapan Suci terjawab dengan VONIS BEBAS. Setengah jam kemudian ada ancaman berikutnya bahwa Michael akan menuntut Empat Serangkai (istilah MPr atas Suciwati, Usman Hamid/Koordinator Kontras, Hendardi/ Aktivis, dan Pungki/Aktivis yang juga teman Munir sejak dari Malang) atas tuduhan mereka bahwa Michael terlibat pembunuhan Munir.
Sejurus kemudian Suciwati menjawab, bahwa itu adalah hak Muchdi untuk menuntut. "Saya sudah tidak takut, teror terbesar (pembunuhan Munir) sudah pernah saya alami".
Sakit betul, hidup atas ancaman demi ancaman. Tapi itulah pilihan…. Tabik.
Almost everything we call "higher culture" is based on the spiritualization and intensification of cruelty- this is my proposition; the "wild beast" has not been laid to rest, it lives, it flourishes, it has merely become-deified.(Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, 1885).
Rabu, 31 Desember 2008
BEBAS!!!
Rabu, 17 Desember 2008
Bulan Antarkan Cincinku
12 Desember 2008, hampir tengah malam...
Kucari bulan seperti setiap malam-malamku.
Bulan lebih indah malam itu, kabut seolah membuatkan cincin untuk sang Bulan.
Inginku berbagi...
Tapi kutakut kamu tak sudi...
Kulewati sendirian beberapa masa...
Berdoa... kau melihat indahnya bulan-ku membawakanmu cincin...
Kenari Kuning, dimana kamu saat masa meninggalkan 12 menjadi 13 Desember.
Bulan terlalu indah untuk kunikmati sendiri...
Kusampaikan pesan untuk adikku, yang juga saudaraku, yang juga bagian jejakku.
Kuingin adikku memberi arti atas indahnya...
Pesan ku, "Ada fenomena bulan bercincin".
Kucari bulan seperti setiap malam-malamku.
Bulan lebih indah malam itu, kabut seolah membuatkan cincin untuk sang Bulan.
Inginku berbagi...
Tapi kutakut kamu tak sudi...
Kulewati sendirian beberapa masa...
Berdoa... kau melihat indahnya bulan-ku membawakanmu cincin...
Kenari Kuning, dimana kamu saat masa meninggalkan 12 menjadi 13 Desember.
Bulan terlalu indah untuk kunikmati sendiri...
Kusampaikan pesan untuk adikku, yang juga saudaraku, yang juga bagian jejakku.
Kuingin adikku memberi arti atas indahnya...
Pesan ku, "Ada fenomena bulan bercincin".
Willy Obama
Selamat pagi?apa kabar bang? Ma2f mengganggu hari dinnas apa bang,
Wilhelmus obama, trimakasih GBU.
Pesan itu dikirim oleh temanku Wilhelmus, seorang Security di Gedung Sentra Mulia Kuningan. Hari itu, Selasa, 2 Desember 2008, Pukul 06.24 WIB.
Kabar baek Will, biasa aku masuk agak siang sekitar jam 10 atau 11 siang, balasku dengan sms. Tidak ada balasan setelah itu.
Sekitar jam sepuluh pagi, aku tiba di kantor dan kulihat Willy sedang berjaga di pintu masuk lantai 18, Gedung Sentra Mulia. “ Hei, Mr. Obama, What’s up?” tegurku, Willy senyum senyum sambil mendekat “ There is something special for you… from my father” bisik Willy pelan. “ Oh ya, … is it something from Flores?”. “ Yes,..” sahut Willy. “Hmm, What is it?” balasku pingin tau. “ You will see…”, Willy menghindar, kayaknya dia nggak terlalu nyaman ngobrol saat itu karena sedang dinas berjaga di depan pintu. Sebelum jadi petugas Security gedung kantorku, Willy pernah menjadi pemandu wisata di Bali.
Sekitar jam sebelas siang, aku keluar kantor untuk satu urusan. Willy datang menghampiri, “Abang pulang ke kantor lagi, kan?”. ” Iya Will,… sore” kataku. ”Ok, bang”, balas Willy.
Ternyata aku baru tiba kembali sekitar pukul tujuh malam. “Hei, Obama” sapaku, “ Iya bang, aku akan naik” balas Willy. Ruang kantorku berada di lantai 19, dan bisa dicapai hanya dengan tangga dari lantai 18. Sekitar sepuluh menit berada di mejaku, Willy datang dengan memegang sebuah bungkusan. “ Apa nih, Will?”, “ Special untuk abang” kata Willy sambil pamit. “Terimakasih, Obama…” sahutku, Willy melambaikan tangan.
Sepulang kantor, kubuka pemberian istimewa Willy. Terkesiap aku, ternyata isinya adalah sarung tenun Flores, berwarna coklat dan khas banget. Teringat aku pada tahun 2004, di Kupang, aku pernah mencari-cari sarung khas seperti pemberian Willy, tapi nggak dapet. Busyet… something special yang nggak pernah aku harap-harap tiba-tiba muncul setelah empat tahun setengah.
Segera, besok paginya aku sms Willy, mengucapkan terimakasih dan benar-benar terkaget-kaget dengan hadiah itu dan menanyakan mengapa memberi hadiah seindah itu.
Dan inilah jawaban Willy, sekitar pukul 12 siang:
Maaf baru balas bang, saya sangat brtrimakasih atas kebaikan dan suaranya, bahwasanya saya mirip obama, sukses selalu buat abang khususnya, dan buat kaka2 di Currant affair. GOD BLESS US ALL.tks.
Jadi Wilhelmus itu, sekitar bulan Desember tahun 2007, aku bilang bahwa dia mirip Barrack Obama. Waktu itu Obama belum terkenal banget di Indonesia. Saat Super Tuesday Pre-Election nama Obama makin mencorong. Saat itu, kalau aku sedang iseng aku panggil Willy dengan Obama. Terkadang saat Obama selesai kampanye di suatu tempat, aku tanya ke Willy “ Obama, Where have you been?”, jawabanya kadang kadang lucu-lucu, seperti dia bilang, Ohio, Alabama atau Chicago dll. Tampaknya Willy jadi mengikuti perkembangan kampanye Obama.
Kemudian saat Barrack Obama, menang dalam Popular-Vote Amerika Serikat mengalahkan Mc.Cain. Willy semakin getol kupanggil “Obama”. Sampai tiba saatnya teleponku berdering, produser Program Republik Mimpi bertanya, “ Lam, siapa nama si Obama?”. “Willy” balasku cepat. “Ok, trims, kayaknya kita akan memainkan Willy dalam Parodi Republik Mimpi…”. “Mantap!!!” jawabku. Tanpa sengaja Willy masuk ke News Room tak lama setelah aku memutus hubungan telepon. Kemudian aku tanya Willy nomor Hp-nya untuk berjaga-jaga kalau diperlukan.
Seminggu kemudian, aku secara tidak sengaja aku ketemu Effendi Ghazali, promotor Republik Mimpi. Setelah basa-basi nggak mutu, aku bilang ” Itu lo Bang, yang namanya Obama. Nama aslinya Willy”. Dan kebetulan Willy sedang berjaga di pintu hanya sekitar 5 meter dari Effendi Ghazali dan timnya tapi kehadiran Willy tidak disadari mereka. Aku segera memanggil Willy dan mengenalkannya. Ok,.. setelah perkenalan usai dan Effendi Ghazali minta nomor HP Willy secara langsung, aku beranjak ke ruang kerjaku. Sebelumnya Effendi Ghazali membisiki aku ” Mantap, kita poles dikit jadi!!!, ... orangnya juga keliatan baik”. ”Siip,...” kataku dan kemudian kami berpisah.
Akhirnya, sekitar dua minggu kemudian, Willy tampil di Republik Mimpi, berperan sebagai Barrack Obama. Walah... walah... walah... Mantap tenan.
Hidup terkadang penuh ketidaksengajaan.
Selasa, 02 Desember 2008
Gaya Standar di Capitol Hill
Angin sisa musim dingin masih terasa menusuk-nusuk kulit, tapi apalah arti udara dingin dibanding untuk mendapatkan foto wajib bagi para pendatang di Washington DC. Aku telpon temanku Raphael Setyo, yang panggilannya Pepet (nggak nyambung bangeet…), untuk mengajak foto foto di Capitol Hill.
“ Ntar lagi ya, Lam… Gue masih ada kerjaan”, kata Pepet menyambut ajakanku yang standar itu. “Ok, ntar kabarin aja…”, balasku. Bersama Anggi, temanku dari Jakarta, kita nyoba naik bis ke Smithsonian Museum. Smithsonian adalah tempat pameran tentang kemajuan kedirgantaraan dan persenjataan Amerika Serikat. Sengaja kami memilih Smithsonian untuk dikunjungi sore itu, karena letaknya yang tidak terlalu jauh dari kantor temanku di Virginia.
Sampai di Smithsonian, terkagum kagum dengan museum yang sekeren itu sama sekali tidak dipungut bayaran. Fasillitasnya keren, peralatan yang dipamerkan lengkap, dasar Amerika!!! kalau yang bersifat show kayak gitu, pasti keren. Nggak terasa dua jam kami berkeliling di Smithsonian, sampai akhirnya aku menghubungi Pepet dengan telepon umum. ” Hallo, Pet... ini Alam”, kataku. ” Woiii, dimana? Gue hubungi HP lu nggak nyambung” balas Pepet. ” Iya, gue lupa ngecharge, gue di Smithsonian...” sambungku lagi. ” Ok, lu tunggu di depan Smithsonian, ya.. gue jemput sekarang, nggak lama paling 5 menit” lanjut Pepet.
Nggak nyampe 10 menit, Pepet nyampe dengan mobil Volvo Hatchback silver-nya.. Bergegas aku dan Anggi naik mobil Pepet. ” Gue pikir lu dimana, nggak bisa-bisa gue hubungi”, cerocos Pepet begitu kami di dalam mobil. ”Pet, foto-foto di Capitol Hill...” ajakku. ”Oke, yuk... mumpung masih terang” sambut Pepet.
Gedung parlemen Amerika berada di Capitol Hill, hanya 10 menit berkendara kami tiba di Capitol Hill. Keluar dari mobil, langsung kurapatkan overcoatku, menolak angin dingin.
Selanjutnya gedung Capitol Hill menjadi latar belakang foto-foto kami. Gaya foto dengan gedung parlemen menjadi latar belakang adalah foto standar banget bagi pendatang. Beberapa orang yang pernah ke AS, rata rata punya foto dengan background Capitol Hill.
Orang-orang parlemen kita alias DPR RI, rata rata punya foto dengan gaya seperti ini, semula aku merasa foto kayak gini standar banget, bahkan menjadi seperti foto studio dengan retouch background gedung parlemen AS.Tapi mau apalagi, ternyata gaya itu memang keren bagi kami.
Saat aku membuka buka foto di Capitol Hill, temanku nyeletuk ”Heh, standar banget”. ”Iya sih..., tapi ntar kalo lu kesana pasti ngambil foto standar juga”.
“ Ntar lagi ya, Lam… Gue masih ada kerjaan”, kata Pepet menyambut ajakanku yang standar itu. “Ok, ntar kabarin aja…”, balasku. Bersama Anggi, temanku dari Jakarta, kita nyoba naik bis ke Smithsonian Museum. Smithsonian adalah tempat pameran tentang kemajuan kedirgantaraan dan persenjataan Amerika Serikat. Sengaja kami memilih Smithsonian untuk dikunjungi sore itu, karena letaknya yang tidak terlalu jauh dari kantor temanku di Virginia.
Sampai di Smithsonian, terkagum kagum dengan museum yang sekeren itu sama sekali tidak dipungut bayaran. Fasillitasnya keren, peralatan yang dipamerkan lengkap, dasar Amerika!!! kalau yang bersifat show kayak gitu, pasti keren. Nggak terasa dua jam kami berkeliling di Smithsonian, sampai akhirnya aku menghubungi Pepet dengan telepon umum. ” Hallo, Pet... ini Alam”, kataku. ” Woiii, dimana? Gue hubungi HP lu nggak nyambung” balas Pepet. ” Iya, gue lupa ngecharge, gue di Smithsonian...” sambungku lagi. ” Ok, lu tunggu di depan Smithsonian, ya.. gue jemput sekarang, nggak lama paling 5 menit” lanjut Pepet.
Nggak nyampe 10 menit, Pepet nyampe dengan mobil Volvo Hatchback silver-nya.. Bergegas aku dan Anggi naik mobil Pepet. ” Gue pikir lu dimana, nggak bisa-bisa gue hubungi”, cerocos Pepet begitu kami di dalam mobil. ”Pet, foto-foto di Capitol Hill...” ajakku. ”Oke, yuk... mumpung masih terang” sambut Pepet.
Gedung parlemen Amerika berada di Capitol Hill, hanya 10 menit berkendara kami tiba di Capitol Hill. Keluar dari mobil, langsung kurapatkan overcoatku, menolak angin dingin.
Selanjutnya gedung Capitol Hill menjadi latar belakang foto-foto kami. Gaya foto dengan gedung parlemen menjadi latar belakang adalah foto standar banget bagi pendatang. Beberapa orang yang pernah ke AS, rata rata punya foto dengan background Capitol Hill.
Orang-orang parlemen kita alias DPR RI, rata rata punya foto dengan gaya seperti ini, semula aku merasa foto kayak gini standar banget, bahkan menjadi seperti foto studio dengan retouch background gedung parlemen AS.Tapi mau apalagi, ternyata gaya itu memang keren bagi kami.
Saat aku membuka buka foto di Capitol Hill, temanku nyeletuk ”Heh, standar banget”. ”Iya sih..., tapi ntar kalo lu kesana pasti ngambil foto standar juga”.
Langganan:
Postingan (Atom)
TEROR DI MANHATTAN, 31 OKTOBER 2017
TEROR DI MANHATTAN, 31 OKTOBER 2017 Oleh: Alam Burhanan Virginia, USA Mendengar kabar ada serangan yang mematikan, mende...
-
17 Agustus 2009, hari ini, aku bebas merdeka,… seharusnya ada acara wajib, upacara 17-an pukul 6.30 pagi di kantor, tapi aku dengan kemerdek...
-
1 of 3 2 of 3 3 of 3 Ini adalah Episode program Telisik di ANTV dengan judul Bisnis Narkoba di Dalam Penjara. Episode ini diputar pada Agust...
-
HANTU FENOMENAL DI KBRI WASHINGTON DC Oleh: Alam Burhanan Di Virginia, AS “Mas, tadi malam saya denger main pianonya bagus sekali”...