Kamis, 23 April 2009

Kenangan dengan Muchdi Purwopranjono

Jum’at 17 April 2009, ada konferensi pers di LBH oleh tim eksaminasi putusan hakim kasus Munir dengan terdakwa Muchdi Purwopranjono, aku teringat peristiwa sebelum putusan Hakim PN Jakarta Selatan yang memvonis bebas Muchdi Pr.

***

“Masuk aja”. Begitu jawaban singkat Muchdi saat aku telepon menyatakan bahwa aku sudah ada di penjara Brimob Kelapa Dua Depok, Jawa Barat. Hari itu Rabu, 10 Desember 2008 tepat pukul 14.00 WIB, waktu yang telah Muchdi setujui untuk menerima aku di penjara.

Sejurus kemudian tidak lebih dari 5 menit, setelah melewati pintu pemeriksaan dan mengisi buku tamu, aku sudah berada di ruang tamu blok B Rutan Kelapa Dua. Di Blok inilah Muchdi Purwopranjono (MPr), ditahan hingga empat bulan, satu blok dengan tersangka kasus aliran dana BI, Aulia Pohan dan terdakwa kasus yang sama Rusli Simanjuntak.

Rupanya MPr sedang membicarakan pledoi bersama dengan dua orang Tim Advokat MPr, Oktryan Makta dan Rony Hartawan. Satu orang lagi adalah Jaksa Urip Tri Gunawan terpidana 20 tahun untuk kasus penyuapan yang melibatkan Arthalita dalam kasus BLBI dengan obligor konglomerat Syamsul Nursalim.

Ruang tamu itu ukurannya sekitar 3×6 meter persegi, dinding bercat berwarna peach dan terdapat satu buah pendingin ruangan yang sudah tidak dingin, sehingga jendela dan pintu samping dibiarkan terbuka agar udara lebih segar. Didalam ruang tamu terdapat satu set kursi tamu berbentuk sofa dengan lapis kulit sintetis berwarna coklat. Set sofa terdiri dari sebuah sofa panjang dengan tiga tempat duduk, dan satu sofa tunggal. Terdapat pula tiga kursi tambahan, berupa kursi makan. Di sebelah kanan pintu masuk yang terbuat dari besi berdiri meja batu beralas keramik.

Hari itu MPr meminta aku untuk menunjukkan naskah yang akan aku buat untuk tayangan Indepth Reporting dengan durasi 30 menit. Nah, karena sebagai wartawan tidak ada kewajiban untuk menunjukkan naskah yang akan aku buat, maka pertemuan itu aku jadikan sebagai upaya untuk melakukan konfirmasi. 5 hari sebelumnya aku bersama dengan kolegaku, seorang wartawan senior, telah mewawancarai MPr terkait kasus pembunuhan terhadap aktivis HAM Munir.

Karena independensi wartawan dilindungi Undang-Undang, aku mengirimkan sebuah naskah yang sudah pernah ditayangkan empat bulan sebelumnya (tidak mengikuti keinginan MPr untuk melihat naskah yang akan aku tayangkan keesokan harinya), pada saat MPr menjadi tersangka dan ditahan di Rutan Kelapa Dua.

Aku langsung menyalami Muchdi sesaat aku masuk ke ruang tamu, “Apa kabar pak?”. “Baik…” kata pak Muchdi. “Mas Urip, apa kabar”, kataku pada Urip Tri Gunawan. “Saya, Alam Burhanan, mas…” kataku sambil menyalami Oktryan dan Rony (aku belum kenal sebelumnya).
“Mana naskah kamu, kamu kemarin kok ngasih saya naskah yang dulu…” langsung MPr berbicara menyongsong aku yang duduk persis di sebelah kanannya. “ Iya pak, memang naskah yang dulu, itulah yang perlu saya konfirmasi dari bapak” balasku. “Mana naskah yang baru?”. “Belum ada pak, saya masih harus melengkapi, apalagi besok bapak akan membacakan pledoi bapak, jadi harus saya lengkapi.” Elakku, sambil menyodorkan naskah yang lama dengan beberapa catatan yang aku mintakan konfirmasinya ke MPr.

Langsung MPr membaca sekilas naskah lama itu, dan baru pada halaman pertama MPr membaca langsung dia teriak dengan geram “Apa iniii?… darimana kamu tahu saya punya rumah dua, rumah saya itu satu, tendensius kamu!!!”. “Semua orang juga tahu rumah saya cuma satu!”. Aku sedang memikirkan jawaban yang tepat dalam kondisi MPr yang kalut.

Sebenarnya pada halaman pertama naskahku yang lama, mengenalkan siapa MPr?, posisi apa yang diduduki MPr sebelumnya dan dimana rumah tinggalnya. Bahan itu saya dapat dari Berita Acara Pemeriksaan MPr di depan penyidik Polri. Pada BAP dijelaskan siapa yang diperiksa dan alamat tinggalnya dan di BAP tercatat alamat MPr memang dua, yaitu satu di jalan Dharmawangsa dan Brawijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Belum sempat aku jawab, MPr masih dengan suara berteriak menanyakan dasar naskahku yang menyebut MPr terlibat sebagai penggerak kasus pembunuhan terhadap Munir. Dengan cepat aku mengeluarkan satu bundel berkas tuntutan Jaksa Penuntut Umum dari tumpukan dokumen yang sengaja kubawa. Karena posisiku bersampingan dengan MPr, dia langsung menyambut bundel tuntutan. Dengan mengetuk-ngetukkan tangannya ke bundel tuntutan, MPr bertanya kepada Oktryan dan Rony dengan suara keras bergetar menahan emosi, “Memangnya wartawan boleh pegang ini???!!!”, tidak ada jawaban dari Oktryan dan Rony. “Dapat darimana kamu?, kamu ngopi punya saya tanpa ijin saya?!!” kata Muchdi sambil menunjuk muka saya.

Belum lagi aku menjawab, MPr membanting naskah dan bundel tuntutan.
Aku terkejut dengan tindakan MPr, lalu aku membalas “Saya tidak mengopi dari bapak… punya bapak saya kembalikan ke mas Urip”kataku ke MPr. Aku berpaling ke Jaksa Urip Tri Gunawan/UTG dan meminta konfirmasi “Benarkan, mas Urip?”, tapi tidak ada balasan dari UTG. (Sial batinku dalam hati, … kok nggak ngejawab, kayaknya Urip ketakutan juga).

Sebelumnya, tanggal 2 Desember 2008 aku sudah berkunjung ke Rutan Kelapa Dua dengan seorang kolega. Hari itu adalah hari saat pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum atas MPr. Keesokan harinya kami bertandang lagi ke rutan, dan pada saat itu Muchdi menunjukkan kepada kami satu bundel tuntutan untuk kami pelajari. Setelah memberikan bundel tuntutan, MPr kembali ke selnya. Aku membaca selintas saja tuntutan itu. Pada saat kami akan pulang, aku berniat mengembalikannya ke MPr namun tidak ada, aku lalu datangi selnya dan memanggil MPr tapi tidak ada sahutan dari dalam. Akhirnya bundel tuntutan itu aku titipkan ke Jaksa Urip yang saat itu sedang berada di ruang tamu blok C, bersebelahan blok dengan MPr.

Selanjutnya, karena merasa perlu mempelajari tuntutan dengan lebih teliti, maka aku mencarinya dan memfotocopynya.

Belum puas atas jawabanku tadi, MPr dengan muka yang bergetar kembali berteriak, “Jadi kamu dapat darimana???” (Tuntutan JPU). Karena teriakannya yang keras dan sangat dekat dengan mukaku, langsung aku menjawab “Kontras!”. Muchdi bertambah marah, “Oohh, jadi kamu orang Kontras!!!, saya kira kamu orang saya!!!” teriak Muchdi keras.

Belum puas membentak dan berteriak MPr dengan wajah geram dan muka bergetar bicara dengan lantang, “Saya masih punya satu juta orang di luar, saya masih punya uang, jangan kamu pikir saya tidak bisa apa-apa dari dalam penjara!!!”. Seolah belum lengkap, MPr menambahkan masih dengan geram “Jangan pernah kamu tayangkan Kontras, atau saya tidak mau berteman dengan anda” kata Muchdi masih dengan nada tinggi. Sekelabat kemudian Muchdi menunjuk mukaku dan berkata “Sekali kamu tayangkan Kontras, saya catat kamu”. Entah apa maksudnya dengan menyatakan “saya catat kamu”. Pikiranku kemudian melayang pada langkah antisipasi bila MPr memukul ku. Saya berpikir untuk langsung pulang dan meminta visum dokter atas kekerasan yang mungkin terjadi padaku secara fisik. Secara Psikologis yang membangun kepercayaan diriku dengan keyakinan, bahwa apa yang kulakukan adalah bagian dari tugas jurnalistik pada kasus yang memancing perhatian dunia internasional.

Masih belum bisa menguasai emosinya, MPr kemudian menghubungi atasanku “Xyz (MPr menyebut nama atasan saya, saya sengaja tidak menyebut namanya), sudah… jangan pernah kamu tayangkan tentang saya, naskah apa ini…!!!” kata MPr dengan nada tinggi. Aku tidak mendengar jawaban dari seberang, sepertinya mempertanyakan kira-kira masalah apa ini, karena pasti bingung tiba-tiba menerima telepon MPr yang marah-marah. “Sudah begitu aja, kalau masih mau berteman dengan saya” kata MPr memotong omongan dan mematikan telepon dengan tidak hormat.

Nampaknya atasanku juga tidak terima MPr marah seenaknya, karena selanjutnya aku menerima tembusan sms yang dikirimkan oleh atasan saya itu kepada MPr, yang intinya menjelaskan apa yang kulakukan saat itu, adalah tugas wartawan. MPr kemudian masuk ke dalam selnya dengan sebelumnya memelototiku.

Setelah Muchdi masuk ke selnya, aku sempat berpikir untuk pulang, tapi akhirnya aku berpikir masalah ini harus aku hadapi.

Aku lalu bicara dengan UTG, Oktryan dan Ronny. Suasana masih tegang. Aku membuka pembicaraan dengan menjelaskan bahwa tugasku ini adalah bagian dari kerja wartawan yakni verifikasi, terlepas suka atau tidak suka. Diskusi berlangsung makin lama makin mencair, lalu aku minta nama lengkap mereka dan no HPnya karena aku pikir suatu saat aku perlukan.
MPr sekitar 15 menit kemudian kembali ke ruang tamu, raut wajahnya sudah lebih bersahabat, dia kembali ke posisi tempat duduk awalnya sedang aku sudah bergeser ke kursi lain dekat dengan UTG. Aku menggenggam dokumen yang aku ambil setelah dilempar oleh MPr.
“Ini punya kamu…” MPr membuka percakapan sambil menyorongkan map berisi naskah dan DVD dokumen tayangan yang aku kirim satu hari sebelumnya melalui teman.

Pembicaraan masih berlanjut, dan UTG memberi beberapa saran demikian halnya dengan Oktryan dan Ronny. Aku mencoba tenang dan menahan emosi, karena saran yang disodorkan menurutku lucu-lucu. Misalnya saja UTG memberi usul agar tayangan berjudul , “Muchdi, Mantan Danjen Kopassus yang Teraniaya”, Ronny dan Oktryan pun bergantian memberi masukan bagaimana seharusnya kerja wartawan. Aku membalas sekenanya karena aku anggap mereka tidak mengerti maksud kedatanganku kesini.

MPr, tiba-tiba bicara dengan tegas “Saya nggak tau kamu ya, apa latar belakang kamu…, mungkin kamu pernah dipukuli polisi atau tentara, … jadi kamu keliatan nggak suka sama tentara”. Belum sempat aku menjawab, MPr menambahkan “ atau mungkin kamu anak PKI?!!”.

Aku tidak menjawab dan hanya berusaha mengembalikan pembicaraan bahwa aku datang kesini untuk konfirmasi dan verifikasi, tidak ada lain. Sejurus kemudian, Ronny nyelonong dengan ucapan “kamu seharusnya malu mas, seharusnya wartawan itu datang dengan informasi lengkap dari dua belah pihak, bukan seperti ini hanya satu pihak”.

Mendadak aku emosi karena tersinggung, telunjukku reflek mengarah ke Ronny, dengan nada tinggi aku bicara, “Jangan ajari saya soal media, … justru seharusnya kamu tau bahwa saya datang kesini sebagai salah satu tugas saya sebagai wartawan”. Keberanianku semakin muncul dengan bicara, “sekarang begini… saya mau konfirmasi,… mau dijawab atau tidak, itu terserah”.
MPr membalas cepat, “Tapi, apa untungnya kamu belain Kontras?”. Aku jawab, “ Pak… tidak ada untungnya saya bela Kontras…. tidak ada untungnya saya bela Munir”, lalu beberapa detik aku diam dan kemudian melanjutkan “ apa untungnya pula saya membela Muchdi”.

Pembicaraan masih berlanjut dan entah mengapa, pembicaraan semakin lama semakin mencair. Akhirnya Oktryan dan Ronny pamit pulang, aku juga kemudian pamit pulang ke MPr dengan menyalaminya.

Saat aku keluar ruang tamu Blok, kaget aku melihat ada empat orang penjaga berdiri rapat di depan pintu Blok B. Biasanya mereka berjaga agak jauh dari pintu, mungkin mereka mendengar pembicaraan yang berlangsung panas tadi.

Di parkiran aku lambaikan tangan ke Oktryan dan Ronny, sambil menempelkan tangan kiriku ke arah telinga, memberi kode bahwa aku akan menelpon mereka.
Huuuh… aku menghela nafas.

Esok harinya, aku datangi sidang pledoi MPr. Usai sidang MPr langsung masuk ke mobil pengadilan dan kembali ke Kelapa Dua.

Lutfie Hakim, Pengacara MPr, sedang dikerubuti wartawan, aku lambaikan tanganku ke arahnya. Aku kemudian menuju ke pintu keluar ruang pengadilan menunggu Lutfie Hakim. Beberapa saat kemudian kami bertemu dan Lutfie Hakim menyampaikan permohonan maaf MPr atas insiden kemarin, “ MPr kadang mudah terpancing emosi, tapi… mudah memaafkan kok, mas” tambah Lutfie sambil merangkul pundakku.

Seks Kilat di Penjara

Ada pengalaman seru kalau kita mengunjungi tempat yang jarang didatangi orang lain. Apalagi kalau tempat itu identik dengan sesuatu yang menakutkan dan harus dihindari.

Penjara misalnya, tempat ini terlanjur dianggap seram dan tidak patut dikunjungi. Tapi cobalah sekali-sekali mampir ke sana, banyak hal luar biasa yang terlintas di pikiran pun tidak pernah.

Aku ingin berbagi trik bagaimana melihat kehidupan penjara, memang tidak sampai masuk sel, tapi atmosfer penjara akan anda rasakan secara kental:

1. Siapkan uang pecahan lima ribu dan sepuluh ribuan rupiah
2. Siapkan kartu identitas anda, palsu pun tak apa.
3. Kalau anda ingin membawa HP berkamera siapkan uang tambahan, sekitar sepuluh ribu rupiah.
4. Nyali anda harus mampu mengatasi rasa khawatir bahwa anda akan ketahuan petugas penjara, yakinkan hati anda bahwa anda akan lolos, pengawasan tidak ketat.
5. Siapkan nama dan blok sel orang yang akan anda kunjungi. Khusus hal ini, anda perlu trik tambahan bila anda tidak mempunyai orang yang anda kunjungi di penjara.

a. Anda cukup bergaul di parkiran kendaraan penjara, atau sok akrab ngobrol dengan pengunjung lain.
Contohnya : anda dekati orang yang akan berkunjung, tanya siapa dan di blok mana si napi ditempatkan serta kasus apa. Selanjutnya ngobrol aja seperti biasa.
b. Ingat kalau perlu catat nama napi tadi dan bloknya, hal ini akan diperlukan saat anda mengisi buku tamu dan saat ditanya petugas di pintu masuk.

Setelah siap inilah prosesinya, contoh ini saya kulakukan di Rutan Salemba, Jakarta Pusat, setahun lebih silam.

1. Saat jam berkunjung akan ada petugas jaga di pintu besi paling depan, disini anda tidak perlu memberi uang, kalau ada cukup demawan anda bisa saja memberi uang kepada petugas.
2. Selanjutnya anda ke pos kedua, disini anda diminta mengisi buku tamu dan mendapat stempel di tangan anda seperti masuk ke Dufan. Kartu identitas anda akan ditukar dengan kartu tanda masuk. Agar proses pemeriksaan cepat anda selipkan uang lima ribuan saat anda memberikan kartu identitas anda.
3. Anda akan diarahkan ke ruang tunggu untuk menunggu giliran masuk. Jadi di ruang tamu ada batasan lama berkunjung, jadi sistemnya buka tutup. Di ruang tunggu ada kios yang berjualan minuman, makanan kecil dan rokok. Disini kalau masih deg-degan bisa menenangkan diri sejenak sambil membaca situasi.
4. Dari ruang tunggu anda akan masuk ke ruang tamu.
5. Sebelum masuk ruang tamu, ada penjaga di depan ruang tamu, selipkan uang lima ribuan.
6. Setelah itu anda akan diminta ke meja pemeriksaan, meja ini bertugas memeriksa bawaan anda. Sebenarnya tidak boleh membawa HP ke dalam ruang tamu, tapi itu semua bisa jinak dengan uang lima ribuan. Kalau HP anda berkamera, pasti petugas akan meminta anda menitipkannnya di meja itu, tapi jangan panik, cukup bilang “keluarga saya perlu nelpon pak,…” lalu angsurkan uang sepuluh ribuan lagi ke petugas sambil anda memasukkan HP berkamera ke saku anda.
7. Langkah selanjutya, adalah pos terakhir menuju ruang tamu. Disini ada meja panjang dengan petugas yang duduk disana. Petugas akan menanyakan akan berkunjung pada siapa. Anda cukup menjawab dengan nama orang yang anda akan kunjungi beserta bloknya, setelah itu anda angsurkan uang lima ribuan.
8. Setelah anda dapat masuk ke ruang tunggu, anda harus tenang. Duduk dan amati suasana.
9. Kalau anda terlihat tidak ngobrol dengan napi atau tahanan, biasanya petugas “tamping” akan mendatangi anda. Tamping adalah napi yang dikaryakan sebagai petugas kebersihan sekaligus calo bagi pengunjung untuk memanggilkan napi atau tahanan yang akan anda kunjungi.
10. Kalau anda tidak ada yang ditemui, saat tamping datang ajak saja dia ngobrol sembari siapkan uang lima ribu atau sepuluh ribu. Biasanya tamping akan mengawali obrolan dengan, “mau ketemu siapa pak,… sudah dipanggilkan?”, jawab saja dengan tenang, “ itu, dia sedang ngobrol pribadi dengan keluarga dulu” sambil anda menunjuk salah seorang napi yang sedang bertemu keluarga. Selanjuntya ajak si tamping ngobrol. Tamping umumnya akan minta uang kepada anda, alasannya tentu saja tidak punya uang, nah ini kesempatan anda untuk mengorek banyak cerita, tapi sebelumnya janjikan anda akan memberi dia uang.

Banyak hal yang bisa anda lihat di ruang tamu penjara, sebagian napi dan tahanan muda tampak bernafsu bila ketemu pasangannya, umumnya mereka memilih tempat di pojok ruangan. Peluk, cium dan saling gesek anggota badan menjadi pemandangan lazim tanpa sungkan, bener-bener… bebas… euy.

Anda juga dapat dengan leluasa melihat bagaimana bawaan dari pengunjung berpindah tangan ke tahanan atau napi, isinya bermacam-macam, bisa makanan, bacaan, voucher telepon atau apapun, kabarnya barang terlarang pun tak jarang bisa masuk melalui jalur ini.

Anda juga akan menyaksikan ada beberapa orang wanita muda berpakaian seronok akan mondar-mandir di dalam ruang tamu. Tanyakan saja ke tamping siapa mereka, akan dijawab dengan enteng bahwa wanita itu bisa dipakai, maksudnya untuk jualan seks kilat.

Saat aku berkunjung ke sana, aku menanyakan ke tamping, “berapa?” dijawab cepat “ seratus lima puluh (ribu), …ah.. negolah bang”. “ Terus mainnya dimana”, tanyaku,… “disana bang, di toilet”, “Haahhh, di toilet?”, “Iya bang, bisa disewa lima puluh ribu”, “berapa lama?”, “lima belas menit, bang”. “oooh, begitu…”.

“Bang, kalo kelas mahalan juga ada, biasanya malam, yang panggil bos-bos,… nanti ada ruangan yang disewa per-malam”.“Dimana itu?” balasku, “ah, di dalam lah…” kata si tamping dengan raut muka tanpa ekspresi.

Kuselipkan uang lima ribu, si tamping malah nanya, “ada rokok bang?”,” nggak ada…” lalu aku nanya dimana toiletnya sambil kuselipkan lagi uang lima ribuan. Tamping lalu mengantar aku ke toilet di dekat ruang tamu.

Di toilet, aku yang memang penasaran sekaligus ingin kencing, mendengar suara yang dimahfumi oleh orang dewasa, ada suara desahan, ada rintihan dan ada suara seperti orang seperti bertepuk tangan berulang-ulang… aku batal kencing.

Penjara… penjara… masih ada peluang untuk uang……..

Minggu, 12 April 2009

9 April 2009, 23.30 WIB

Aku sedang menuju rumah malam itu saat, aku merasa perut tiba-tiba lapar. Aku lirik jam di sebelah kiri tanganku, sudah lewat jam sebelas malam.

Sudah malas untuk makan besar (dengan nasi maksudnya), akhirnya aku memilih mampir ke warung martabak telor di dekat rumah. Segera aku pesan martabak telor, dan melihat prosesi pembuatannya.

Beberapa saat setelah martabak masuk ke panggangan, aku menuju bangku kayu di kios rokok sebelah warung martabak. Di tempat ini ada dua orang yang sedang ngopi, satu pakai kemeja dan celana pendek, satunya lagi memakai seragam pizza hut. Aku mendengar mereka seru membicarakan hasil quickcount, sore hingga malam itu.

Nampaknya bapak yang memakai kemeja dan celana pendek memegang kendali pembicaraan, aku mendengarkan saja obrolan mereka. Pegawai pizza hut yang berseragam, bicara, "Tadi sore Demokrat (partai politik), sudah 19 persen". Dengan cepat bapak yang berkemeja mengoreksi "Tadi baru aja liat, sudah 20 persen, PDI (PDIP) 14 persen, hampir sama dengan Golkar". "Oh, sudah ya, mas?" pria berseragam bertanya dan dijawab dengan cepat oleh pria berkemeja, "sudah final mas!".

Pria berseragam tadi melanjutkan obrolan, "Hebat ya, mas Demokrat?!", "Ah, itu artinya pendidikan politik kita gagal mas, Esbeye gagal, masih banyak pengangguran..." tukas pria berkemeja semangat. Pria berseragam nyambung dengan santun, " Tapi lumayanlah mas". Pria berkemeja sedikit setuju "Iya juga, eh... tapi banyak yang nggak terdaftar jadi pemilih, PDIP akan nuntut pemerintah... tadi saya liat pengacaranya diwawancara TV dan bilang akan nuntut...".

Pria berseragam dengan senyum-senyum melanjutkan, "Wah... nggak kayak Obama ya mas,... dulu waktu Obama menang, yang kalah malahan mendukung Obama. Disini jadi rame...". Nggak ada jawaban dari pria berkemeja, kecuali kepulan asap Gudang Garam yang disemburkannya ke udara.

Aku senyum dalam hati, setuju juga dengan komentar pria berseragam pizza hut itu, walaupun dalam hati aku juga mikir bahwa orang Amrik memang pintar basa-basi.

23.30 WIB martabakku jadi, segera aku pamit hendak pulang, "Mas duluan, ya...".

Kamis, 09 April 2009

Melototi Quickcount

Tiba-tiba angka bergerak, grafis ikut pula mengambil komposisi barunya… begitu seterusnya. Awalnya ada ketegangan terselip diantara jejeran angka-angka itu, semakin lama ketegangan itu semakin mereda.

Sekarang yang terbaca hanya jejeran angka saja,… Huuuhh… pikiranku melayang-layang……….

Pastilah dalam dua-tiga hari selanjutnya para caleg dan partai politik saling lempar argumentasi terhadap hasil quickcount.

Parpol yang unggul pastilah langsung percaya hasil quickcount, sementara yang perolehannya minim dalam penghitungan quickcount akan meragukan kesahihan metodologi, metode dan teknik penelitiannya.

Semua lembaga survey yang melakukan quickcount menggunakan metode yang sama, yaitu multistage random sampling, hasilnya secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.

Nah… inilah lucunya para “bakal” pemimpin politik kita. Hal-hal yang bisa terukurpun akan dirancukan dengan argumentasi politik yang tidak jelas, dan cenderung memanas-manasi simpatisan partai agar tidak menerima hasil quickcount yang menyatakan mereka kalah.

Inti dari pernyataan mereka yang protes terhadap hasil quickcount adalah mencoba mengulur waktu sambil mencari-cari masalah yang akan mereka angkat ke permukaan sebagai isu politik, seperti kecurangan pemilu, administrasi yang tidak rapih dan lain lain.

Masih ingat kan, saat pemilihan presiden Amerika Serikat bulan November 2008 silam. Pada malam setelah “pencontrengan”, John Mc Cain langsung mengucapkan selamat kepada Barrack Obama. Mc Cain melakukan itu dengan dasar quickcount.

Sekarang setelah pencontrengan 4 April ini, perhatikanlah siapa yang secara politik dewasa dan mempercayai logika ilmiah. Dan siapa pula yang masih mencoba mengelabui simpatisan mereka.

Aku mencontreng asa.... dimana dia ya?

TEROR DI MANHATTAN, 31 OKTOBER 2017

TEROR DI MANHATTAN, 31 OKTOBER 2017 Oleh: Alam Burhanan Virginia, USA Mendengar kabar ada serangan yang mematikan, mende...