Kamis, 23 April 2009

Kenangan dengan Muchdi Purwopranjono

Jum’at 17 April 2009, ada konferensi pers di LBH oleh tim eksaminasi putusan hakim kasus Munir dengan terdakwa Muchdi Purwopranjono, aku teringat peristiwa sebelum putusan Hakim PN Jakarta Selatan yang memvonis bebas Muchdi Pr.

***

“Masuk aja”. Begitu jawaban singkat Muchdi saat aku telepon menyatakan bahwa aku sudah ada di penjara Brimob Kelapa Dua Depok, Jawa Barat. Hari itu Rabu, 10 Desember 2008 tepat pukul 14.00 WIB, waktu yang telah Muchdi setujui untuk menerima aku di penjara.

Sejurus kemudian tidak lebih dari 5 menit, setelah melewati pintu pemeriksaan dan mengisi buku tamu, aku sudah berada di ruang tamu blok B Rutan Kelapa Dua. Di Blok inilah Muchdi Purwopranjono (MPr), ditahan hingga empat bulan, satu blok dengan tersangka kasus aliran dana BI, Aulia Pohan dan terdakwa kasus yang sama Rusli Simanjuntak.

Rupanya MPr sedang membicarakan pledoi bersama dengan dua orang Tim Advokat MPr, Oktryan Makta dan Rony Hartawan. Satu orang lagi adalah Jaksa Urip Tri Gunawan terpidana 20 tahun untuk kasus penyuapan yang melibatkan Arthalita dalam kasus BLBI dengan obligor konglomerat Syamsul Nursalim.

Ruang tamu itu ukurannya sekitar 3×6 meter persegi, dinding bercat berwarna peach dan terdapat satu buah pendingin ruangan yang sudah tidak dingin, sehingga jendela dan pintu samping dibiarkan terbuka agar udara lebih segar. Didalam ruang tamu terdapat satu set kursi tamu berbentuk sofa dengan lapis kulit sintetis berwarna coklat. Set sofa terdiri dari sebuah sofa panjang dengan tiga tempat duduk, dan satu sofa tunggal. Terdapat pula tiga kursi tambahan, berupa kursi makan. Di sebelah kanan pintu masuk yang terbuat dari besi berdiri meja batu beralas keramik.

Hari itu MPr meminta aku untuk menunjukkan naskah yang akan aku buat untuk tayangan Indepth Reporting dengan durasi 30 menit. Nah, karena sebagai wartawan tidak ada kewajiban untuk menunjukkan naskah yang akan aku buat, maka pertemuan itu aku jadikan sebagai upaya untuk melakukan konfirmasi. 5 hari sebelumnya aku bersama dengan kolegaku, seorang wartawan senior, telah mewawancarai MPr terkait kasus pembunuhan terhadap aktivis HAM Munir.

Karena independensi wartawan dilindungi Undang-Undang, aku mengirimkan sebuah naskah yang sudah pernah ditayangkan empat bulan sebelumnya (tidak mengikuti keinginan MPr untuk melihat naskah yang akan aku tayangkan keesokan harinya), pada saat MPr menjadi tersangka dan ditahan di Rutan Kelapa Dua.

Aku langsung menyalami Muchdi sesaat aku masuk ke ruang tamu, “Apa kabar pak?”. “Baik…” kata pak Muchdi. “Mas Urip, apa kabar”, kataku pada Urip Tri Gunawan. “Saya, Alam Burhanan, mas…” kataku sambil menyalami Oktryan dan Rony (aku belum kenal sebelumnya).
“Mana naskah kamu, kamu kemarin kok ngasih saya naskah yang dulu…” langsung MPr berbicara menyongsong aku yang duduk persis di sebelah kanannya. “ Iya pak, memang naskah yang dulu, itulah yang perlu saya konfirmasi dari bapak” balasku. “Mana naskah yang baru?”. “Belum ada pak, saya masih harus melengkapi, apalagi besok bapak akan membacakan pledoi bapak, jadi harus saya lengkapi.” Elakku, sambil menyodorkan naskah yang lama dengan beberapa catatan yang aku mintakan konfirmasinya ke MPr.

Langsung MPr membaca sekilas naskah lama itu, dan baru pada halaman pertama MPr membaca langsung dia teriak dengan geram “Apa iniii?… darimana kamu tahu saya punya rumah dua, rumah saya itu satu, tendensius kamu!!!”. “Semua orang juga tahu rumah saya cuma satu!”. Aku sedang memikirkan jawaban yang tepat dalam kondisi MPr yang kalut.

Sebenarnya pada halaman pertama naskahku yang lama, mengenalkan siapa MPr?, posisi apa yang diduduki MPr sebelumnya dan dimana rumah tinggalnya. Bahan itu saya dapat dari Berita Acara Pemeriksaan MPr di depan penyidik Polri. Pada BAP dijelaskan siapa yang diperiksa dan alamat tinggalnya dan di BAP tercatat alamat MPr memang dua, yaitu satu di jalan Dharmawangsa dan Brawijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Belum sempat aku jawab, MPr masih dengan suara berteriak menanyakan dasar naskahku yang menyebut MPr terlibat sebagai penggerak kasus pembunuhan terhadap Munir. Dengan cepat aku mengeluarkan satu bundel berkas tuntutan Jaksa Penuntut Umum dari tumpukan dokumen yang sengaja kubawa. Karena posisiku bersampingan dengan MPr, dia langsung menyambut bundel tuntutan. Dengan mengetuk-ngetukkan tangannya ke bundel tuntutan, MPr bertanya kepada Oktryan dan Rony dengan suara keras bergetar menahan emosi, “Memangnya wartawan boleh pegang ini???!!!”, tidak ada jawaban dari Oktryan dan Rony. “Dapat darimana kamu?, kamu ngopi punya saya tanpa ijin saya?!!” kata Muchdi sambil menunjuk muka saya.

Belum lagi aku menjawab, MPr membanting naskah dan bundel tuntutan.
Aku terkejut dengan tindakan MPr, lalu aku membalas “Saya tidak mengopi dari bapak… punya bapak saya kembalikan ke mas Urip”kataku ke MPr. Aku berpaling ke Jaksa Urip Tri Gunawan/UTG dan meminta konfirmasi “Benarkan, mas Urip?”, tapi tidak ada balasan dari UTG. (Sial batinku dalam hati, … kok nggak ngejawab, kayaknya Urip ketakutan juga).

Sebelumnya, tanggal 2 Desember 2008 aku sudah berkunjung ke Rutan Kelapa Dua dengan seorang kolega. Hari itu adalah hari saat pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum atas MPr. Keesokan harinya kami bertandang lagi ke rutan, dan pada saat itu Muchdi menunjukkan kepada kami satu bundel tuntutan untuk kami pelajari. Setelah memberikan bundel tuntutan, MPr kembali ke selnya. Aku membaca selintas saja tuntutan itu. Pada saat kami akan pulang, aku berniat mengembalikannya ke MPr namun tidak ada, aku lalu datangi selnya dan memanggil MPr tapi tidak ada sahutan dari dalam. Akhirnya bundel tuntutan itu aku titipkan ke Jaksa Urip yang saat itu sedang berada di ruang tamu blok C, bersebelahan blok dengan MPr.

Selanjutnya, karena merasa perlu mempelajari tuntutan dengan lebih teliti, maka aku mencarinya dan memfotocopynya.

Belum puas atas jawabanku tadi, MPr dengan muka yang bergetar kembali berteriak, “Jadi kamu dapat darimana???” (Tuntutan JPU). Karena teriakannya yang keras dan sangat dekat dengan mukaku, langsung aku menjawab “Kontras!”. Muchdi bertambah marah, “Oohh, jadi kamu orang Kontras!!!, saya kira kamu orang saya!!!” teriak Muchdi keras.

Belum puas membentak dan berteriak MPr dengan wajah geram dan muka bergetar bicara dengan lantang, “Saya masih punya satu juta orang di luar, saya masih punya uang, jangan kamu pikir saya tidak bisa apa-apa dari dalam penjara!!!”. Seolah belum lengkap, MPr menambahkan masih dengan geram “Jangan pernah kamu tayangkan Kontras, atau saya tidak mau berteman dengan anda” kata Muchdi masih dengan nada tinggi. Sekelabat kemudian Muchdi menunjuk mukaku dan berkata “Sekali kamu tayangkan Kontras, saya catat kamu”. Entah apa maksudnya dengan menyatakan “saya catat kamu”. Pikiranku kemudian melayang pada langkah antisipasi bila MPr memukul ku. Saya berpikir untuk langsung pulang dan meminta visum dokter atas kekerasan yang mungkin terjadi padaku secara fisik. Secara Psikologis yang membangun kepercayaan diriku dengan keyakinan, bahwa apa yang kulakukan adalah bagian dari tugas jurnalistik pada kasus yang memancing perhatian dunia internasional.

Masih belum bisa menguasai emosinya, MPr kemudian menghubungi atasanku “Xyz (MPr menyebut nama atasan saya, saya sengaja tidak menyebut namanya), sudah… jangan pernah kamu tayangkan tentang saya, naskah apa ini…!!!” kata MPr dengan nada tinggi. Aku tidak mendengar jawaban dari seberang, sepertinya mempertanyakan kira-kira masalah apa ini, karena pasti bingung tiba-tiba menerima telepon MPr yang marah-marah. “Sudah begitu aja, kalau masih mau berteman dengan saya” kata MPr memotong omongan dan mematikan telepon dengan tidak hormat.

Nampaknya atasanku juga tidak terima MPr marah seenaknya, karena selanjutnya aku menerima tembusan sms yang dikirimkan oleh atasan saya itu kepada MPr, yang intinya menjelaskan apa yang kulakukan saat itu, adalah tugas wartawan. MPr kemudian masuk ke dalam selnya dengan sebelumnya memelototiku.

Setelah Muchdi masuk ke selnya, aku sempat berpikir untuk pulang, tapi akhirnya aku berpikir masalah ini harus aku hadapi.

Aku lalu bicara dengan UTG, Oktryan dan Ronny. Suasana masih tegang. Aku membuka pembicaraan dengan menjelaskan bahwa tugasku ini adalah bagian dari kerja wartawan yakni verifikasi, terlepas suka atau tidak suka. Diskusi berlangsung makin lama makin mencair, lalu aku minta nama lengkap mereka dan no HPnya karena aku pikir suatu saat aku perlukan.
MPr sekitar 15 menit kemudian kembali ke ruang tamu, raut wajahnya sudah lebih bersahabat, dia kembali ke posisi tempat duduk awalnya sedang aku sudah bergeser ke kursi lain dekat dengan UTG. Aku menggenggam dokumen yang aku ambil setelah dilempar oleh MPr.
“Ini punya kamu…” MPr membuka percakapan sambil menyorongkan map berisi naskah dan DVD dokumen tayangan yang aku kirim satu hari sebelumnya melalui teman.

Pembicaraan masih berlanjut, dan UTG memberi beberapa saran demikian halnya dengan Oktryan dan Ronny. Aku mencoba tenang dan menahan emosi, karena saran yang disodorkan menurutku lucu-lucu. Misalnya saja UTG memberi usul agar tayangan berjudul , “Muchdi, Mantan Danjen Kopassus yang Teraniaya”, Ronny dan Oktryan pun bergantian memberi masukan bagaimana seharusnya kerja wartawan. Aku membalas sekenanya karena aku anggap mereka tidak mengerti maksud kedatanganku kesini.

MPr, tiba-tiba bicara dengan tegas “Saya nggak tau kamu ya, apa latar belakang kamu…, mungkin kamu pernah dipukuli polisi atau tentara, … jadi kamu keliatan nggak suka sama tentara”. Belum sempat aku menjawab, MPr menambahkan “ atau mungkin kamu anak PKI?!!”.

Aku tidak menjawab dan hanya berusaha mengembalikan pembicaraan bahwa aku datang kesini untuk konfirmasi dan verifikasi, tidak ada lain. Sejurus kemudian, Ronny nyelonong dengan ucapan “kamu seharusnya malu mas, seharusnya wartawan itu datang dengan informasi lengkap dari dua belah pihak, bukan seperti ini hanya satu pihak”.

Mendadak aku emosi karena tersinggung, telunjukku reflek mengarah ke Ronny, dengan nada tinggi aku bicara, “Jangan ajari saya soal media, … justru seharusnya kamu tau bahwa saya datang kesini sebagai salah satu tugas saya sebagai wartawan”. Keberanianku semakin muncul dengan bicara, “sekarang begini… saya mau konfirmasi,… mau dijawab atau tidak, itu terserah”.
MPr membalas cepat, “Tapi, apa untungnya kamu belain Kontras?”. Aku jawab, “ Pak… tidak ada untungnya saya bela Kontras…. tidak ada untungnya saya bela Munir”, lalu beberapa detik aku diam dan kemudian melanjutkan “ apa untungnya pula saya membela Muchdi”.

Pembicaraan masih berlanjut dan entah mengapa, pembicaraan semakin lama semakin mencair. Akhirnya Oktryan dan Ronny pamit pulang, aku juga kemudian pamit pulang ke MPr dengan menyalaminya.

Saat aku keluar ruang tamu Blok, kaget aku melihat ada empat orang penjaga berdiri rapat di depan pintu Blok B. Biasanya mereka berjaga agak jauh dari pintu, mungkin mereka mendengar pembicaraan yang berlangsung panas tadi.

Di parkiran aku lambaikan tangan ke Oktryan dan Ronny, sambil menempelkan tangan kiriku ke arah telinga, memberi kode bahwa aku akan menelpon mereka.
Huuuh… aku menghela nafas.

Esok harinya, aku datangi sidang pledoi MPr. Usai sidang MPr langsung masuk ke mobil pengadilan dan kembali ke Kelapa Dua.

Lutfie Hakim, Pengacara MPr, sedang dikerubuti wartawan, aku lambaikan tanganku ke arahnya. Aku kemudian menuju ke pintu keluar ruang pengadilan menunggu Lutfie Hakim. Beberapa saat kemudian kami bertemu dan Lutfie Hakim menyampaikan permohonan maaf MPr atas insiden kemarin, “ MPr kadang mudah terpancing emosi, tapi… mudah memaafkan kok, mas” tambah Lutfie sambil merangkul pundakku.

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Gak takut dicegat waktu pulang beli martabak deket rumah yang jadi andalanmu????:)hehehehe....

luv:aq

Anonim mengatakan...

selalu tertarik dunia politik.
selalu tertarik membaca tentang politik dan politikus.
sayang tugas wartawan terlalu berat buat saya.

yasmin

Alam Burhanan mengatakan...

Hidup hanya soal pilihan kok, You Like It, Choose It, hehehe

TEROR DI MANHATTAN, 31 OKTOBER 2017

TEROR DI MANHATTAN, 31 OKTOBER 2017 Oleh: Alam Burhanan Virginia, USA Mendengar kabar ada serangan yang mematikan, mende...