Jumat, 20 Maret 2009

“Kubikin Miring Rahang Kauuuu….!!!!”

“Berangkat ke Irian Lam, besok pagi!!!”, redakturku mengatakan dengan cepat. “Ok, kapan?”, “Besok pagi pesawat pertama”.

Saat itu aku baru setengah tahun bergabung dengan Liputan 6 SCTV. Mantap juga pikirku.

Pas hari pahlawan 10 November 2001, Theys tewas dan besoknya aku harus sudah berada di sana. Theys adalah ketua Presidium Dewan Papua dan dianggap berseberangan dengan pemerintah pusat karena sempat menyuarakan Dekrit Papua Merdeka yang menuntut kemerdekaan Irian Jaya. Theys tewas terbunuh usai menghadiri perayaan hari pahlawan di Jayapura.

Besok, dinihari aku sudah berangkat dari rumah menuju kantor. Matahari belum lagi menyembul, aku dan kamerawan Jopie Jacob sudah terbang menuju Sentani, Irian Jaya, provinsi itu masih belum berubah nama jadi Papua. Di atas pesawat tidur dilanjutkan. Sampai di Ujung Pandang untuk transit, kami sarapan dulu… menunya apalagi kalau bukan makanan terkenal, Coto Makassar. (Eh… apa beda Soto Makassar dengan Coto Makassar??????.......... jawabanya: Kalau soto Makassar pake daging sapi, kalau coto Makassar pake daging capi!!!!, hehehehehe).

Lepas tengah hari kami tiba di bandara Sentani, wuihh perjalanan belum selesai, karena jenazah Theys Hiyo Eluay disemayamkan di kantor DPRD Provinsi Irian Jaya di ibukota provinsi Jayapura.. Jarak antara Sentani ke Jayapura sekitar dua jam perjalanan dalam kondisi normal. Jalan yang menghubungkan antara Sentani dan Jayapura hanya ada jalan provinsi satu-satunya, lebarnya sekitar enam meter, tidak ada alternatif jalan lain.

Sesaat keluar dari bandara, suasana nampak tegang. Banyak sekali polisi dan tentara berjaga-jaga dengan senjata lengkap. Kami mencoba mencari mobil carteran yang biasanya dapat dengan mudah dijumpai di bandara, tapi begitu tahu kami minta antar ke Jayapura semua sopir dan pemilik mobil mundur teratur. Lama juga mencari akhirnya sekitar satu jam kemudian kami dapat orang yang mau mengantarkan kami ke Jayapura. Ongkosnya tentu saja dobel, tidak ada pilihan, jadi kita sepakati aja.

Kami kemudian naik mobil minibus, tapi tidak menuju ke Jayapura tapi ke sebuah bengkel. Bengkel itu dimiliki oleh seorang keturunan Belanda, orangnya kurus dan berumur sekitar 60 tahun. Setelah kita negosiasi, akhirnya disepakati kami akan diantar ke Jayapura dengan mobil kijang bak terbuka, keluaran tahun 80-an. Kami harus menunggu lagi sekitar setengah jam, karena mobil harus diganti dulu bannya.

Siang itu, ada long march, ribuan warga Sentani dan sekitarnya berangkat jalan kaki menuju Jayapura. Sentani adalah kota tempat tinggal Theys Eluay. Diman-mana suasana sedih dan kemarahan menyeruak dimana-mana. Selain tokoh masyarakat, Theys juga tokoh adat, tepatnya ketua adat alias Ondoafi.

Akhirnya kami berangkat ke Jayapura dengan lima orang 5 orang pengawal preman termasuk si sopir. Aku diminta duduk di samping sopir, sementara Jopie diminta untuk di bak terbuka di belakang bersama dengan empat orang lainnya. Kamera pun harus ditenteng Jopie dipundak, karena menjadi “senjata” yang harus ditunjukkan kepada massa yang sedang berjalan kaki.

Massa berjalan kaki seenaknya, mereka tidak berjalan di pinggir tetapi bergerombolan berjalan di tengah jalan. Sialnya hampir semua dan sepanjang perjalanan ditemui orang bergerombol. Mobil tidak bisa berjalan kencang, paling cepat sekitar 20-30 kilometer per jam. Setiap kali melewati rombongan sang pengawal berteriak-teriak terus menerus, “Heiii, minggir.. minggir…, ini ada wartawan!!!”.

Beberapa kali memang mereka mau langsung minggir, tapi sebagian rombongan tetap cuek menutupi jalan. Kalau sudah begini, sang pengawal biasanya turun dan mendorong warga yang membandel sambil mengeluarkan sumpah serapah dengan bahasa yang kami nggak ngerti.

Satu jam perjalanan, semakin mendekati Jayapura, massa bukannya semakin sedikit tetapi semakin banyak. Sebagian bernyanyi-nyanyi sebagian ada yang lari-lari kecil sebagian menganggu-ganggu kendaraan kami. Mobil semakin susah berjalan, dan kami terjebak di tengah ribuan warga.

Saat hampir memasuki kota Jayapura, ada rombongan warga yang sama sekali tidak bersedia minggir, pengawal preman kami berkali-kali teriak dan berkali-kali klakson yang suaranya parau ditekan tanpa putus… Jopie terus mengambil gambar dan sang pengawal teriak “ini wartawan, ini wartawan!!!”, namun tidak ada hasil malah keributan kami memancing warga untuk mengerubuti mobil kami.

Tiba-tiba, kap mesin mobil dipukul oleh seorang warga, dan sebagian lain mendorong dan mengguncang-guncang mobil. Melihat kejadian itu sebagian warga ikut-ikutan ngegebrak-gebrak kap mobil. Aku yang duduk di depan melihat dengan jelas rona kemarahan mereka. Pengawal berteriak-teriak membentak, tapi warga semakin bernyali. Aku tidak bisa menyampaikan apa-apa, karena mereka menggunakan bahasa daerah. Aku menunjukkan ID cardku, tapi mereka tidak mengerti juga.

Haaah, jantung berdetak kencang… aku berpikir akan sangat susah selamat bila kami dipukuli beramai ramai. Dengan keras aku mencoba menenangkan diri… dan sejurus kemudian jantungku seperti mencolot keluar… sang sopir yang ada di sampingku meloncat keluar dari dalam mobil… kondisi mesin mobil masih hidup.

Sang sopir dengan sangat cepat mendorong orang yang pertama menggebrak kap mobil yang sedang menghadang persis di depan mobil. Dorongan itu terlihat sangat kuat dan si penggebrak jatuh terpelanting ke belakang… Langsung sang sopir menunjuk muka si penggebrak dan berteriak keras, “Kubikin miring rahang kauuu!!!!”, hanya itu yang kumengerti selanjutnya dia menyumpah-nyumpah dengan bahasa daerah.

Empat rekan pengawal lainnya pun turun dari bak mobil ikut mendorong teman-teman si penggebrak… Aku melihat ke Jopie di belakang, dia tampak terdiam, tatapannya nanar. Si penggebrak berdiri lagi dan disambut dengan dorongan di dadanya dan terjungkal kembali ke rumput di pinggir jalan.

Perhatian warga berpindah dari mobil ke aksi dorong-mendorong, mesin mobil masih hidup, sempat terpikir kalau situasi tidak terkendali, aku akan melarikan mobil apapun yang terjadi. Tidak banyak yang sempat aku pikirkan dalam kondisi itu, aku hanya berharap sang pengawal dapat menguasai keadaan.

Situasi berubah cepat dan dengan sigap sang pengawal dan sebagian penghadang bergegas menuju mobil… uhhh, apa pikirku yang akan terjadi.

Mereka langsung menuju bak belakang dan berteriak, “Kamera, kamera… wartawan… wartawan!!!”, sambil menunjuk kamera yang dipegang Jopie, selanjutnya kami tidak mengerti bahasanya.

Akhirnya ketegangan mereda, warga langsung memberi kami jalan… terdengar teriakan “Kasih jalan… kasih jalan”. Huuuh, akhirnnya kami lolos dan tiba di Jayapura. Awal kerja kami penuh ketegangan.

Kami langsung melakukan peliputan dengan kendaraan kijang bak terbuka. Jam tiga dinihari kami akhirnya check-in di hotel. Begitu sampai di kamar, aku dan Jopie tidak berbicara sepatahpun, lebih dari 24 jam tidak tidur, membuat kasur sangat indah.

Selasa, 03 Maret 2009

Kisah Tercecer dari Perjanjian Malino

Salah Sebut Memicu Ribut (Bagian 3, habis)

Setelah diskusi dengan Dicky Martiaz, kami sepakat tidak dapat mengikuti permintaan mereka. Kami bisa saja mengiyakan permintaan mereka dan segera keluar dari tempat itu, tapi bila itu dilakukan sementara kami tidak menyiarkan pernyataan mereka, situasinya bisa lebih genting, kami bisa dituduh berbohong dan bakal dicari kembali.

Akhirnya kami semua mendekati pimpinan kelompok dan menyampaikan sikap kami. Aku mengawali dengan, ”Pak, kita tidak yakin bisa menyiarkan hal ini, karena nanti akan menambah panas situasi”.Segera sang pimpinan kelompok menukas, ”Tidak siarkan segera malam ini, kalau tidak artinya benar kalian adalah orang Merah”. Dicki kemudian angkat bicara, ”Kami akan kirim gambar ini ke Jakarta, tapi itu terserah Jakarta menyiarkan atau tidak.”.

Situasi masih saling kelit, aku menimpali, ”Kami juga akan mengirim gambar ini dan yang menentukan adalah Jakarta, kami tidak dalam posisi mengambil keputusan... yang pasti tidak akan kami siarkan malam ini, karena perlu waktu untuk mengirimkannya via satelit”. Mereka kemudian nampak tertarik dengan pola pengiriman via satelit, ”Emangnya caranya gimana?”. Langsung saja kami saling sambar-menyambar pernyataan dengan istilah-istilah teknis pengiriman gambar, muncul istilah kata feeding, looping, compressed file, editing, satelit, azymut, horizontal dan istilah istilah yang kami yakin mereka tidak mengerti. Intinya kami hanya buying time, dan pimpinan kelompok terlihat bingung dan tidak menyangka apa yang kami jawab tambah membuat dia bingung.

Dan akhirnya, terdengar suara adzan, dengan cepat aku menyambar, ”pak, sudah magrib... kami pamit”. Mereka secara serempak pula mengajak agar sholat magrib bersama-sama dulu. Wah.., aku pikir nanti mereka tahu bahwa Pepet adalah non muslim. ”Nggak pak, pakaian kami pasti kotor, kami pulang saja dan waktunya masih terkejar untuk sholat maghrib di hotel”. Tidak ada jawaban, dan kami langsung saja menyodorkan tangan untuk pamit.Sebelum pulang, aku datangi Lukman Baabduh untuk pamit dan mengucapkan terimakasih. Kamipun meninggalkan lokasi menuju Telkom.

Sesampainya di Telkom Nanang dan orang-orang Telkom tersenyum gembira melihat kami, ”Sebentar lagi kalian nggak ada kabar, aku mau lapor ke Polda” kata Nanang. ”Tenaang...” keluarnya juga akhirnya kata andalan dari mulut Pepet.

Kami diskusi lagi bahwa gambar tidak akan kami kirimkan malam ini, karena akan coolling down dulu, selain itu kami juga khawatir apabila gambar kami kirim dan tiba-tiba tanpa sepengetahuan kami nyelonong ke layar, maka situasinya akan bertambah sulit bagi kami. Akhirnya kami pulang ke hotel... Wuiiih.... lega.

Sekitar satu jam di hotel, tiba-tiba telpon dari Sahlan yang menyatakan bahwa Polda minta kaset rekaman yang ada pada kami. Segera aku telpon Dicki dan membuat kesepakatan bahwa kami tidak akan menyerahkan gambar kami kepada polisi.

Benar saja tak lama aku menutup percakapan dengan Dicki, ada utusan polisi dari Polda Maluku datang ke hotel untuk mengambil kaset entah atas perintah siapa, tentu saja permintaan itu kami tolak. Sebelumnya aku menelpon Kapolda Maluku Pak Narko (Sunarko, berpangkat Brigjend Polisi waktu itu) untuk menjelaskan bahwa kami tidak akan memberikan kaset rekaman dan berjanji akan datang ke Mapolda besok pagi. Pak Narko setuju dan sang utusan akhirnya pulang.

Besok pagi, kami datang ke Mapolda. Saat bertemu dengan serse-serse Polda Maluku mereka mengaku telah mengetahui kejadian malam sebelumnya. Ketemu dengan pak Narko suasananya dipenuhi guyon, kami tetap menyatakan tidak akan memberikan gambar karena nanti akan menyulitkan kami dan mempengaruhi netralitas kami. Toh... situasinya sudah reda. Akhirnya pembicaraan berakhir dengan posisi kami tidak menyerahkan kaset, dan polisi tidak meminta paksa kaset tersebut. Selanjutnya kami hanya bercanda tentang ”keluguan-keluguan” Sahlan Heluth dalam menyikapi situasi, semua terkekeh.

Ambon memang manise...

Senin, 02 Maret 2009

Kisah Tercecer dari Perjanjian Malino

Salah Sebut Memicu Ribut. (Bagian 2)

Setelah menelpon Lukman Baabduh dan buat janji untuk ketemu, aku dan Raphael kembali ke hotel. Nanang sengaja kami minta agar tetap di kantor Telkom dengan alasan kalau sampai malam kami tidak pulang, Nanang harus segera lapor ke polisi.

Setiba di hotel aku telpon Sahlan Heluth, untuk mencari mobil sewaan lain maksudnya agar mobil yang kami gunakan nanti tidak dikenali oleh pengikut Laskar Jihad. Dalam kondisi konflik, perkara mencari mobil sewaan bukanlah hal mudah. Akhirnya Sahlan dapat pinjaman mobil dari Usman Sangadji, salah seorang muslim yang cukup disegani di kawasan itu. Raphael alias Pepet, aku tinggal di lobby hotel karena aku dan Sahlan akan naik becak dan ojek untuk mengambil mobil pinjaman. Setelah mobil pinjaman didapat aku bergegas kembali ke hotel Amans untuk menjemput Pepet.

Begitu melihat kami di lobby Raphael segera menghambur ke arah kami. ”Lam, gawat... si Dicky sama Akmal dibawa orang Laskar Jihad”. ”kemana?” balasku, ”Nggak tau... yang pasti tadi mereka nyari SCTV, tapi mereka liat Dicki dan Akmal di Lobby bawa kamera. Waktu mereka tanya...Dicky bilang dari RCTI, tapi tetap mereka bawa”. Dicki Martiaz adalah produser di RCTI sedangkan Akmal adalah kamerawannya. Mereka sebetulnya akan membuat liputan dokumenter tentang Ambon, tidak khusus meliput konflik Ambon.

”Ya, udah Pet... kita ke Laskar Jihad aja sekarang” pintaku. Segera Raphael yang aku panggil dengan Pepet naik mobil. Jadi kami pergi berempat, Aku, Sahlan Heluth, Juhri dan Raphael. Aku yang menyetir dan Sahlan sebagai penunjuk jalan. Hanya sekitar 20 menit naik mobil, kami tiba di lokasi. Rupanya Lukman Baabduh tinggal di sebuah rumah di kawasan putih, kawasan Batu Merah. Tiba di rumah itu, kami tidak langsung ketemu Lukman Baabduh, melainkan harus isi buku tamu dan ditanya alasan berkunjung.
Selanjutnya kami diminta menunggu di ruang tamu, sekitar lima menit kemudian, Lukman Baabduh keluar dengan dikawal dua orang berpakaian koko. Perawakan Lukman tidak terlalu besar, tingginya mungkin sekitar 165-an centimeter dengan berat tubuh sedang. Segera aku mengenalkan diri dan teman-temanku. Selanjutnya Lukman bertanya apakah kami semua muslim. Dengan cepat Sahlan menjawab ”Iya pak muslim semua”, rona mukanya menunjukkan kekhawatiran. Pepet tampak celingak-celinguk karena sebenarnya Pepet bukan muslim.

Tanpa banyak basa-basi, toh sudah terlanjur basah, aku tanya sama Lukman Baabduh yang tampak tenang dan dingin, ”Pak, saya mau tahu apakah kita TO dari laskar Jihad?”, tidak ada jawaban dari Lukman dan juga tidak ada perubahan air muka. Menyadari situasi yang ”garing” seperti ini, Sahlan tiba-tiba menyahut, ”Bukan, pak... Maksudnya Alam itu, TO bukan Target Operasi.... tapi TO itu adalah cara mengirim gambar dengan satelit”, sahut Sahlan berusaha berbohong untuk meredakan ketegangan dengan muka lugu. Masih belum ada sahutan, aku cepat menukas, ”Maksud saya atas TO, benar Target Operasi”, aku lihat Pepet yang duduk di dekat pintu menggeser posisi duduknya, dia nampak agak gerah dengan perkembangan percakapan. Akhirnya Lukman menjelaskan kekecewaan Laskar Jihad atas perkataan saya atas kata Masjid Immanuel. Saya menjelaskan tidak ada niat saya secuilpun untuk memanaskan situasi atau menghasut apalagi menghina umat muslim Ambon.

Percakapan akhirnya berjalan cair dan saling mengklarifikasi pun terjadi. Akhirnya masalah kesalahpahaman di tingkat ”elite” Laskar Jihad selesai. Tapi di kepalaku masalah belum sepenuhnya aman karena pihak pengikut belum mendengar penjelasan kami. Aku meminta Lukman untuk menyampaikan hasil percakapan kami tadi ke anak buahnya agar ketegangan dapat selesai sepenuhnya. Ustadz Lukman setuju untuk menyampaikan permintaan kami.

Selanjutnya, aku meminta agar dapat dipertemukan dengan rekan kami dari RCTI, Dicky dan Akmal. Karena situasi belum aman karena hasil percakapan kami belum sepenuhnya tersampaikan ke level bawah Laskar Jihad, Lukman bersedia mengantar kami ke lokasi tempat Dicky dan Akmal berada.

Dengan dua mobil berbeda kami beriringan menuju sebuah masjid yang lokasinya agak terpencil. Setelah melalui jalan yang menanjak dan berkelok kami tiba di sebuah masjid yang tidak ada plang namanya, sekitar pukul 5 sore waktu setempat. Aku lihat disana, Dicki dan Akmal sedang duduk di dalam Masjid, posisi kamera terpasang diatas tripod. Di dalam Masjid tampak pula puluhan warga laki-laki dan perempuan.

Kami mendekati Dicki dan Akmal, saat aku menyalami Dicki, dengan bercanda Dicki berbisik ”Tai, lu Lam,...gara-gara lu nich, gue ditahan disini empat jam”. Dengan becanda pula aku membalas, ”Makanya kalo bergerak yang lincah, jadi gak ketangkep!!!”. Kami lalu saling tersenyum.

Untuk sementara situasi bisa diatasi, kami lalu diminta untuk merekam pernyataan pimpinan-pimpinan kelompok yang sudah berada di Masjid itu. Pepet langsung menyiapkan kamera untuk merekam, saat penyataan pimpinan akan dimulai, salah satu pimpinan kelompok berbicara lantang, ”Hei, itu RCTI kenapa tidak rekam???”. Tiba-tiba Akmal menjawab, ”Sudah tadi...”. Tidak terima dengan jawaban Akmal, dia berkata lagi dan berbau perintah, ”Sudah... rekam lagi sekarang!!!”. Akmal dengan ogah-ogahan mengikuti permintaan itu. Lukman Baabduh dan beberapa orang lain keluar Masjid menuju suatu ruangan di samping Masjid.

Akhirnya penyataan pimpinan kelompok berlangsung, hampir semua isinya menyatakan kesiapan mereka menumpahkan darah dan berperang. Tak hanya laki-laki yang berbicara, utusan perempuan ikut pula berbicara menyatakan keinginan mereka untuk berperang. Setelah hampir setengah jam mereka menyampaikan perasaannya, akhirnya pimpinan kelompok berkata kepada kami, ”Ada pertanyaan?”. Kami saling melihat kiri dan kanan, semua menggelengkan kepala tanda tidak ada pertanyaan. Aku kemudian membalas, ”Cukup, pak”.

”Kalau begitu, kalian siarkan semua apa yang kami sampaikan!!!”, wah gelagat tidak baik ini. Pernyataan yang mereka sampaikan tidak ada satupun yang menyejukkan, sisinya sebagian besar kecaman dan kesiapan melanjutkan perang.

Aku dan Dicki kemudian berdiskusi singkat, intinya kami tidak bisa menyiarkan pernyataan mereka yang sangat provokatif. Apabila kami siarkan materi tersebut, akan sangat mungkin pecah konflik dan pertikaian baru. Tinggal bagaimana kami menyampaikan sikap kami kepada mereka.

Berlanjut lagi ya...

Kisah Tercecer dari Perjanjian Malino

Salah Sebut Memicu Ribut. (Bag 1)

Bulan Februari 2002, perjanjian Malino untuk perdamaian di Maluku sebentar lagi akan berakhir. Aku ditugaskan berangkat ke Ambon bersama dua kamerawan, Raphael Setyo dan Nanang untuk meliput kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pasca perjanjian damai Malino di Ambon.

Sebelum berangkat, terdapat dua kemungkinan atas perjanjian Malino, satu, disambut suka cita, kedua, konflik masih belum berakhir. Misi utama adalah jurnalisme damai, ”peace, man!!!”, opo maksud’e.

Sesampainya di Bandara Pattimura, aku dijemput Sahlan Heluth, saat itu menjadi kontributor berita.”Kita naik Speed saja, bang...”. ”Kenapa?” tanyaku. ”Lebih aman bang daripada lewat jalur darat,... kalau darat kita harus melintasi kawasan merah dan kawasan putih sekaligus”. Kawasan Merah adalah kawasan yang dikuasai warga penganut agama Kristen dan Kawasan Putih adalah daerah yang dikuasai warga Muslim Ambon.

Wah..., aroma konflik masih tercium kental dari saran Sahlan. Kami akhirnya menyewa speed boat, rupanya Sahlan telah meminta bantuan dua orang personel polisi yang membawa senjata AK 47 untuk mengawal dan bersama kami selama perjalanan di teluk Ambon.

Setelah berjalan selama 15 menit perjalanan dengan speed boat, kami melanjutkan perjalanan dengan naik becak ke hotel Amans, singkatan dari Ambon Manise. Letaknya di daerah jalan Pantai Mardika, dekat dengan pusat kota Ambon. Hotel ini beruntung karena terletak di lokasi Baku Bae, yaitu lokasi yang dihindari untuk berperang. Hotel dekat dengan pasar Mardika, warga Ambon yang terlibat konflik masih dapat mengandalkan pasar ini untuk membeli kebutuhan sehari-hari.

Selama perjalanan dengan becak, masih terlihat reruntuhan bekas terbakar dan puing-puing bangunan. Mata warga Ambon pun terlihat penuh selidik, senyum nyaris sulit ditemui. Selama perjalanan rasanya sudah cukup untuk menyakini bahwa Ambon masih bergejolak.

Singkat cerita, liputan demi liputan kami lakukan. Semua berita harus berimbang, kalau ada pernyataan dari pihak Merah maka harus ada pernyataan pihak Putih, begitu sebaliknya. Kalau tidak dilakukan maka salah satu pihak dapat dipastikan akan mencari kita.

Pemandangan warga membawa senjata tajam seperti golok, panah dan tak jarang senjata api rakitan dan organik ikut pula menyeruak diantara kerumunan warga. Nada tinggi ancaman dan saling tuding menjadi pemandangan yang biasa dalam situasi konflik.

Beberapa kali kami berada di lokasi yang sedang bertikai dengan senjata tajam, sering pula mendengar suara tembakan dari jarak yang jauh. Kebiasaaan warga Ambon yang sedang trend waktu konflik adalah membawa parang atau pedang panjang dengan ujung parang bergesekan dengan aspal atau tanah. Kalau warga yang membawa pedang atau parang panjang itu dibonceng sepeda motor, maka ujung parang meimbulkan bunyi hasil gesekan dengan aspal, tak jarang gesekan itu memercikan bunga api.

Pertikaian yang akhirnya berujung dengan rentetan letusan senjata api pernah pula aku alami. Aku berapa kali terkagum kagum dengan kamerawan Sahlan Heluth, Juhri, yang meliput bersamaku. Aku melihat langsung bagaimana ketenangan Juhri mengambil gambar, bahkan pernah sambil berjalan mundur dia terus mengambil gambar warga yang digotong oleh warga lain, entah terkena apa, apakah lemparan batu atau terkena peluru, yang pasti sang korban terdiam saat digotong. Saat mengambil gambar dengan mundur itulah, Juhri terjatuh tersandung batu, tapi dengan tenang Juhri tetap memegang kameranya dan terus mengambil gambar sambil terlentang sedangkan suara letusan peluru masih juga terdengar.

Secara redaksional prinsip kehati-hatian menjadi panutan utama, tak jarang aku harus berdebat dengan ”redaktur” atas tayangan berita dari Ambon, sampai akhirnya aku meminta agar berita yang masuk dari kami di Ambon tidak diedit oleh redaktur, karena menghindari kesalahan persepsi dan kesalahan konteks dari News-Room Jakarta. Permintaan ini didasari, apabila terjadi kesalahan maka kami yang ada di Ambon akan terancam. Aatupun kalau ada perubahan minimal kami diberitahu terlebih dahulu.

Nah... akhirnya suatu saat luput juga. Pagi itu aku melakukan laporan langsung telepon dengan Ira Koesno, Anchor SCTV. Ira menanyakan kepadaku situasi terakhir kota Ambon, dan aku melakukan satu kesalahan pada satu kalimat, ” Ya, Ira.. saat ini warga masih berkerumun dan berjaga jaga di kawasan Masjid Immanuel... maaf maksud saya Masjid Al Fatah”. Selanjutnya laporan lancar lancar saja. Jadi pada saat itu terdapat dua tempat yang menjadi lokasi akumulasi warga dalam jumlah besar yaitu Masjid Al Fatah untuk warga Muslim dan Gereja Immanuel untuk warga Kristiani.

Aku tidak pernah berpikir bahwa slip of the tounge-ku berujung panjang. Siang hari aku bertemu dengan wartawan Republika di Ambon dan dia berkata, ”Bang, hati-hati... abang sedang dicari Laskar Jihad”. ”Ada apa?” balasku cepat. ”Mereka menyebut abang adalah bagian dari kelompok Merah, abang telah berpihak ke Merah. Tadi di Radio Muslim Maluku Ja’far Umar Thalib telah menyebut SCTV berpihak ke kubu Merah. Abang disebut telah mengetahui rencana bahwa Masjid Al Fatah akan dijadikan Gereja Immanuel”. Dengan bingung aku menyahut ” Astaghfirullah... aku hanya salah sebut dan sudah aku koreksi”. ”Tapi bang, isu gampang digoreng dan dibolak-balik....”. Memang benar isu dan informasi sangat mudah berbolak-balik dan memancing kemarahan pada daerah dan situasi konflik.

Setelah mengucapkan terimakasih, aku berpisah dan menuju ke Polda Maluku untuk mengetahui pergerakan pasukan personel polisi dan info keamanan terakhir. Di salah satu lorong gedung aku bertemu dengan Wakil Kepala Polda Maluku, Tommy Jacob, waktu itu pangkatnya Komisaris Besar Polisi. ”Hei bung, kamu ngomong apa pagi ini?... ada masalah nih”. Kata pak Tommy. ”Serius ini?” tanyaku. ”Eh, kau jangan maen-maen... ini serius. Sudahlah hari ini jangan pergi jauh-jauh dulu, tinggal di hotel aja, biar aman dulu” saran pak Tommy. Masih dengan heran aku menatap pak Tommy yang tersenyum dan mengucap ”Ok-lah, terimakasih”.

”Wah, beneran situasi gak jelas, kita ke Telkom dulu” kataku kepada Raphael dan Nanang. Setelah kirim gambar hasil liputan ke kantor via satelit di Telkom, aku menelpon Ja’far Umar Thalib sebagai panglima tertinggi Laskar Jihad. Ja’far Umar Thalib membenarkan adanya tuduhan bahwa aku dan SCTV telah berpihak ke kelompok Merah. Lama aku mendengar Ja’far Umar marah-marah. Kami pun lalu berdebat lama, hampir sekitar satu jam. Akhirnya aku minta Ja’far Umar untuk memberikan kontak panglima tertinggi di Ambon. Aku ingin menemui panglima tertinggi mereka di Ambon dan melakukan klarifikasi. Lebih baik aku yang mencari mereka daripada aku yang dicari mereka pikirku. Sebelum telepon kututup aku meminta agar Ja’far Umar menelpon panglima tertinggi Laskar Jihad di Ambon, Lukman Baabduh. ”Ustadz, telepon dulu pak Lukman nanti aku akan telepon dan temui pak Lukman” pintaku pada Ja’far Umar. Permintaanku akhirnya disetujui.

Berlanjut yaa....

TEROR DI MANHATTAN, 31 OKTOBER 2017

TEROR DI MANHATTAN, 31 OKTOBER 2017 Oleh: Alam Burhanan Virginia, USA Mendengar kabar ada serangan yang mematikan, mende...