Salah Sebut Memicu Ribut. (Bagian 2)
Setelah menelpon Lukman Baabduh dan buat janji untuk ketemu, aku dan Raphael kembali ke hotel. Nanang sengaja kami minta agar tetap di kantor Telkom dengan alasan kalau sampai malam kami tidak pulang, Nanang harus segera lapor ke polisi.
Setiba di hotel aku telpon Sahlan Heluth, untuk mencari mobil sewaan lain maksudnya agar mobil yang kami gunakan nanti tidak dikenali oleh pengikut Laskar Jihad. Dalam kondisi konflik, perkara mencari mobil sewaan bukanlah hal mudah. Akhirnya Sahlan dapat pinjaman mobil dari Usman Sangadji, salah seorang muslim yang cukup disegani di kawasan itu. Raphael alias Pepet, aku tinggal di lobby hotel karena aku dan Sahlan akan naik becak dan ojek untuk mengambil mobil pinjaman. Setelah mobil pinjaman didapat aku bergegas kembali ke hotel Amans untuk menjemput Pepet.
Begitu melihat kami di lobby Raphael segera menghambur ke arah kami. ”Lam, gawat... si Dicky sama Akmal dibawa orang Laskar Jihad”. ”kemana?” balasku, ”Nggak tau... yang pasti tadi mereka nyari SCTV, tapi mereka liat Dicki dan Akmal di Lobby bawa kamera. Waktu mereka tanya...Dicky bilang dari RCTI, tapi tetap mereka bawa”. Dicki Martiaz adalah produser di RCTI sedangkan Akmal adalah kamerawannya. Mereka sebetulnya akan membuat liputan dokumenter tentang Ambon, tidak khusus meliput konflik Ambon.
”Ya, udah Pet... kita ke Laskar Jihad aja sekarang” pintaku. Segera Raphael yang aku panggil dengan Pepet naik mobil. Jadi kami pergi berempat, Aku, Sahlan Heluth, Juhri dan Raphael. Aku yang menyetir dan Sahlan sebagai penunjuk jalan. Hanya sekitar 20 menit naik mobil, kami tiba di lokasi. Rupanya Lukman Baabduh tinggal di sebuah rumah di kawasan putih, kawasan Batu Merah. Tiba di rumah itu, kami tidak langsung ketemu Lukman Baabduh, melainkan harus isi buku tamu dan ditanya alasan berkunjung.
Selanjutnya kami diminta menunggu di ruang tamu, sekitar lima menit kemudian, Lukman Baabduh keluar dengan dikawal dua orang berpakaian koko. Perawakan Lukman tidak terlalu besar, tingginya mungkin sekitar 165-an centimeter dengan berat tubuh sedang. Segera aku mengenalkan diri dan teman-temanku. Selanjutnya Lukman bertanya apakah kami semua muslim. Dengan cepat Sahlan menjawab ”Iya pak muslim semua”, rona mukanya menunjukkan kekhawatiran. Pepet tampak celingak-celinguk karena sebenarnya Pepet bukan muslim.
Tanpa banyak basa-basi, toh sudah terlanjur basah, aku tanya sama Lukman Baabduh yang tampak tenang dan dingin, ”Pak, saya mau tahu apakah kita TO dari laskar Jihad?”, tidak ada jawaban dari Lukman dan juga tidak ada perubahan air muka. Menyadari situasi yang ”garing” seperti ini, Sahlan tiba-tiba menyahut, ”Bukan, pak... Maksudnya Alam itu, TO bukan Target Operasi.... tapi TO itu adalah cara mengirim gambar dengan satelit”, sahut Sahlan berusaha berbohong untuk meredakan ketegangan dengan muka lugu. Masih belum ada sahutan, aku cepat menukas, ”Maksud saya atas TO, benar Target Operasi”, aku lihat Pepet yang duduk di dekat pintu menggeser posisi duduknya, dia nampak agak gerah dengan perkembangan percakapan. Akhirnya Lukman menjelaskan kekecewaan Laskar Jihad atas perkataan saya atas kata Masjid Immanuel. Saya menjelaskan tidak ada niat saya secuilpun untuk memanaskan situasi atau menghasut apalagi menghina umat muslim Ambon.
Percakapan akhirnya berjalan cair dan saling mengklarifikasi pun terjadi. Akhirnya masalah kesalahpahaman di tingkat ”elite” Laskar Jihad selesai. Tapi di kepalaku masalah belum sepenuhnya aman karena pihak pengikut belum mendengar penjelasan kami. Aku meminta Lukman untuk menyampaikan hasil percakapan kami tadi ke anak buahnya agar ketegangan dapat selesai sepenuhnya. Ustadz Lukman setuju untuk menyampaikan permintaan kami.
Selanjutnya, aku meminta agar dapat dipertemukan dengan rekan kami dari RCTI, Dicky dan Akmal. Karena situasi belum aman karena hasil percakapan kami belum sepenuhnya tersampaikan ke level bawah Laskar Jihad, Lukman bersedia mengantar kami ke lokasi tempat Dicky dan Akmal berada.
Dengan dua mobil berbeda kami beriringan menuju sebuah masjid yang lokasinya agak terpencil. Setelah melalui jalan yang menanjak dan berkelok kami tiba di sebuah masjid yang tidak ada plang namanya, sekitar pukul 5 sore waktu setempat. Aku lihat disana, Dicki dan Akmal sedang duduk di dalam Masjid, posisi kamera terpasang diatas tripod. Di dalam Masjid tampak pula puluhan warga laki-laki dan perempuan.
Kami mendekati Dicki dan Akmal, saat aku menyalami Dicki, dengan bercanda Dicki berbisik ”Tai, lu Lam,...gara-gara lu nich, gue ditahan disini empat jam”. Dengan becanda pula aku membalas, ”Makanya kalo bergerak yang lincah, jadi gak ketangkep!!!”. Kami lalu saling tersenyum.
Untuk sementara situasi bisa diatasi, kami lalu diminta untuk merekam pernyataan pimpinan-pimpinan kelompok yang sudah berada di Masjid itu. Pepet langsung menyiapkan kamera untuk merekam, saat penyataan pimpinan akan dimulai, salah satu pimpinan kelompok berbicara lantang, ”Hei, itu RCTI kenapa tidak rekam???”. Tiba-tiba Akmal menjawab, ”Sudah tadi...”. Tidak terima dengan jawaban Akmal, dia berkata lagi dan berbau perintah, ”Sudah... rekam lagi sekarang!!!”. Akmal dengan ogah-ogahan mengikuti permintaan itu. Lukman Baabduh dan beberapa orang lain keluar Masjid menuju suatu ruangan di samping Masjid.
Akhirnya penyataan pimpinan kelompok berlangsung, hampir semua isinya menyatakan kesiapan mereka menumpahkan darah dan berperang. Tak hanya laki-laki yang berbicara, utusan perempuan ikut pula berbicara menyatakan keinginan mereka untuk berperang. Setelah hampir setengah jam mereka menyampaikan perasaannya, akhirnya pimpinan kelompok berkata kepada kami, ”Ada pertanyaan?”. Kami saling melihat kiri dan kanan, semua menggelengkan kepala tanda tidak ada pertanyaan. Aku kemudian membalas, ”Cukup, pak”.
”Kalau begitu, kalian siarkan semua apa yang kami sampaikan!!!”, wah gelagat tidak baik ini. Pernyataan yang mereka sampaikan tidak ada satupun yang menyejukkan, sisinya sebagian besar kecaman dan kesiapan melanjutkan perang.
Aku dan Dicki kemudian berdiskusi singkat, intinya kami tidak bisa menyiarkan pernyataan mereka yang sangat provokatif. Apabila kami siarkan materi tersebut, akan sangat mungkin pecah konflik dan pertikaian baru. Tinggal bagaimana kami menyampaikan sikap kami kepada mereka.
Berlanjut lagi ya...
Almost everything we call "higher culture" is based on the spiritualization and intensification of cruelty- this is my proposition; the "wild beast" has not been laid to rest, it lives, it flourishes, it has merely become-deified.(Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, 1885).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
TEROR DI MANHATTAN, 31 OKTOBER 2017
TEROR DI MANHATTAN, 31 OKTOBER 2017 Oleh: Alam Burhanan Virginia, USA Mendengar kabar ada serangan yang mematikan, mende...
-
17 Agustus 2009, hari ini, aku bebas merdeka,… seharusnya ada acara wajib, upacara 17-an pukul 6.30 pagi di kantor, tapi aku dengan kemerdek...
-
1 of 3 2 of 3 3 of 3 Ini adalah Episode program Telisik di ANTV dengan judul Bisnis Narkoba di Dalam Penjara. Episode ini diputar pada Agust...
-
HANTU FENOMENAL DI KBRI WASHINGTON DC Oleh: Alam Burhanan Di Virginia, AS “Mas, tadi malam saya denger main pianonya bagus sekali”...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar