Senin, 02 Maret 2009

Kisah Tercecer dari Perjanjian Malino

Salah Sebut Memicu Ribut. (Bag 1)

Bulan Februari 2002, perjanjian Malino untuk perdamaian di Maluku sebentar lagi akan berakhir. Aku ditugaskan berangkat ke Ambon bersama dua kamerawan, Raphael Setyo dan Nanang untuk meliput kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pasca perjanjian damai Malino di Ambon.

Sebelum berangkat, terdapat dua kemungkinan atas perjanjian Malino, satu, disambut suka cita, kedua, konflik masih belum berakhir. Misi utama adalah jurnalisme damai, ”peace, man!!!”, opo maksud’e.

Sesampainya di Bandara Pattimura, aku dijemput Sahlan Heluth, saat itu menjadi kontributor berita.”Kita naik Speed saja, bang...”. ”Kenapa?” tanyaku. ”Lebih aman bang daripada lewat jalur darat,... kalau darat kita harus melintasi kawasan merah dan kawasan putih sekaligus”. Kawasan Merah adalah kawasan yang dikuasai warga penganut agama Kristen dan Kawasan Putih adalah daerah yang dikuasai warga Muslim Ambon.

Wah..., aroma konflik masih tercium kental dari saran Sahlan. Kami akhirnya menyewa speed boat, rupanya Sahlan telah meminta bantuan dua orang personel polisi yang membawa senjata AK 47 untuk mengawal dan bersama kami selama perjalanan di teluk Ambon.

Setelah berjalan selama 15 menit perjalanan dengan speed boat, kami melanjutkan perjalanan dengan naik becak ke hotel Amans, singkatan dari Ambon Manise. Letaknya di daerah jalan Pantai Mardika, dekat dengan pusat kota Ambon. Hotel ini beruntung karena terletak di lokasi Baku Bae, yaitu lokasi yang dihindari untuk berperang. Hotel dekat dengan pasar Mardika, warga Ambon yang terlibat konflik masih dapat mengandalkan pasar ini untuk membeli kebutuhan sehari-hari.

Selama perjalanan dengan becak, masih terlihat reruntuhan bekas terbakar dan puing-puing bangunan. Mata warga Ambon pun terlihat penuh selidik, senyum nyaris sulit ditemui. Selama perjalanan rasanya sudah cukup untuk menyakini bahwa Ambon masih bergejolak.

Singkat cerita, liputan demi liputan kami lakukan. Semua berita harus berimbang, kalau ada pernyataan dari pihak Merah maka harus ada pernyataan pihak Putih, begitu sebaliknya. Kalau tidak dilakukan maka salah satu pihak dapat dipastikan akan mencari kita.

Pemandangan warga membawa senjata tajam seperti golok, panah dan tak jarang senjata api rakitan dan organik ikut pula menyeruak diantara kerumunan warga. Nada tinggi ancaman dan saling tuding menjadi pemandangan yang biasa dalam situasi konflik.

Beberapa kali kami berada di lokasi yang sedang bertikai dengan senjata tajam, sering pula mendengar suara tembakan dari jarak yang jauh. Kebiasaaan warga Ambon yang sedang trend waktu konflik adalah membawa parang atau pedang panjang dengan ujung parang bergesekan dengan aspal atau tanah. Kalau warga yang membawa pedang atau parang panjang itu dibonceng sepeda motor, maka ujung parang meimbulkan bunyi hasil gesekan dengan aspal, tak jarang gesekan itu memercikan bunga api.

Pertikaian yang akhirnya berujung dengan rentetan letusan senjata api pernah pula aku alami. Aku berapa kali terkagum kagum dengan kamerawan Sahlan Heluth, Juhri, yang meliput bersamaku. Aku melihat langsung bagaimana ketenangan Juhri mengambil gambar, bahkan pernah sambil berjalan mundur dia terus mengambil gambar warga yang digotong oleh warga lain, entah terkena apa, apakah lemparan batu atau terkena peluru, yang pasti sang korban terdiam saat digotong. Saat mengambil gambar dengan mundur itulah, Juhri terjatuh tersandung batu, tapi dengan tenang Juhri tetap memegang kameranya dan terus mengambil gambar sambil terlentang sedangkan suara letusan peluru masih juga terdengar.

Secara redaksional prinsip kehati-hatian menjadi panutan utama, tak jarang aku harus berdebat dengan ”redaktur” atas tayangan berita dari Ambon, sampai akhirnya aku meminta agar berita yang masuk dari kami di Ambon tidak diedit oleh redaktur, karena menghindari kesalahan persepsi dan kesalahan konteks dari News-Room Jakarta. Permintaan ini didasari, apabila terjadi kesalahan maka kami yang ada di Ambon akan terancam. Aatupun kalau ada perubahan minimal kami diberitahu terlebih dahulu.

Nah... akhirnya suatu saat luput juga. Pagi itu aku melakukan laporan langsung telepon dengan Ira Koesno, Anchor SCTV. Ira menanyakan kepadaku situasi terakhir kota Ambon, dan aku melakukan satu kesalahan pada satu kalimat, ” Ya, Ira.. saat ini warga masih berkerumun dan berjaga jaga di kawasan Masjid Immanuel... maaf maksud saya Masjid Al Fatah”. Selanjutnya laporan lancar lancar saja. Jadi pada saat itu terdapat dua tempat yang menjadi lokasi akumulasi warga dalam jumlah besar yaitu Masjid Al Fatah untuk warga Muslim dan Gereja Immanuel untuk warga Kristiani.

Aku tidak pernah berpikir bahwa slip of the tounge-ku berujung panjang. Siang hari aku bertemu dengan wartawan Republika di Ambon dan dia berkata, ”Bang, hati-hati... abang sedang dicari Laskar Jihad”. ”Ada apa?” balasku cepat. ”Mereka menyebut abang adalah bagian dari kelompok Merah, abang telah berpihak ke Merah. Tadi di Radio Muslim Maluku Ja’far Umar Thalib telah menyebut SCTV berpihak ke kubu Merah. Abang disebut telah mengetahui rencana bahwa Masjid Al Fatah akan dijadikan Gereja Immanuel”. Dengan bingung aku menyahut ” Astaghfirullah... aku hanya salah sebut dan sudah aku koreksi”. ”Tapi bang, isu gampang digoreng dan dibolak-balik....”. Memang benar isu dan informasi sangat mudah berbolak-balik dan memancing kemarahan pada daerah dan situasi konflik.

Setelah mengucapkan terimakasih, aku berpisah dan menuju ke Polda Maluku untuk mengetahui pergerakan pasukan personel polisi dan info keamanan terakhir. Di salah satu lorong gedung aku bertemu dengan Wakil Kepala Polda Maluku, Tommy Jacob, waktu itu pangkatnya Komisaris Besar Polisi. ”Hei bung, kamu ngomong apa pagi ini?... ada masalah nih”. Kata pak Tommy. ”Serius ini?” tanyaku. ”Eh, kau jangan maen-maen... ini serius. Sudahlah hari ini jangan pergi jauh-jauh dulu, tinggal di hotel aja, biar aman dulu” saran pak Tommy. Masih dengan heran aku menatap pak Tommy yang tersenyum dan mengucap ”Ok-lah, terimakasih”.

”Wah, beneran situasi gak jelas, kita ke Telkom dulu” kataku kepada Raphael dan Nanang. Setelah kirim gambar hasil liputan ke kantor via satelit di Telkom, aku menelpon Ja’far Umar Thalib sebagai panglima tertinggi Laskar Jihad. Ja’far Umar Thalib membenarkan adanya tuduhan bahwa aku dan SCTV telah berpihak ke kelompok Merah. Lama aku mendengar Ja’far Umar marah-marah. Kami pun lalu berdebat lama, hampir sekitar satu jam. Akhirnya aku minta Ja’far Umar untuk memberikan kontak panglima tertinggi di Ambon. Aku ingin menemui panglima tertinggi mereka di Ambon dan melakukan klarifikasi. Lebih baik aku yang mencari mereka daripada aku yang dicari mereka pikirku. Sebelum telepon kututup aku meminta agar Ja’far Umar menelpon panglima tertinggi Laskar Jihad di Ambon, Lukman Baabduh. ”Ustadz, telepon dulu pak Lukman nanti aku akan telepon dan temui pak Lukman” pintaku pada Ja’far Umar. Permintaanku akhirnya disetujui.

Berlanjut yaa....

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Aseeekk...aku selalu nunggu2 postingan seru khas AB kaya gini. Jangan buat pembaca mati penasaran numggu lanjutannya ya, Bro..hehe.

TEROR DI MANHATTAN, 31 OKTOBER 2017

TEROR DI MANHATTAN, 31 OKTOBER 2017 Oleh: Alam Burhanan Virginia, USA Mendengar kabar ada serangan yang mematikan, mende...