Jumat, 20 Maret 2009

“Kubikin Miring Rahang Kauuuu….!!!!”

“Berangkat ke Irian Lam, besok pagi!!!”, redakturku mengatakan dengan cepat. “Ok, kapan?”, “Besok pagi pesawat pertama”.

Saat itu aku baru setengah tahun bergabung dengan Liputan 6 SCTV. Mantap juga pikirku.

Pas hari pahlawan 10 November 2001, Theys tewas dan besoknya aku harus sudah berada di sana. Theys adalah ketua Presidium Dewan Papua dan dianggap berseberangan dengan pemerintah pusat karena sempat menyuarakan Dekrit Papua Merdeka yang menuntut kemerdekaan Irian Jaya. Theys tewas terbunuh usai menghadiri perayaan hari pahlawan di Jayapura.

Besok, dinihari aku sudah berangkat dari rumah menuju kantor. Matahari belum lagi menyembul, aku dan kamerawan Jopie Jacob sudah terbang menuju Sentani, Irian Jaya, provinsi itu masih belum berubah nama jadi Papua. Di atas pesawat tidur dilanjutkan. Sampai di Ujung Pandang untuk transit, kami sarapan dulu… menunya apalagi kalau bukan makanan terkenal, Coto Makassar. (Eh… apa beda Soto Makassar dengan Coto Makassar??????.......... jawabanya: Kalau soto Makassar pake daging sapi, kalau coto Makassar pake daging capi!!!!, hehehehehe).

Lepas tengah hari kami tiba di bandara Sentani, wuihh perjalanan belum selesai, karena jenazah Theys Hiyo Eluay disemayamkan di kantor DPRD Provinsi Irian Jaya di ibukota provinsi Jayapura.. Jarak antara Sentani ke Jayapura sekitar dua jam perjalanan dalam kondisi normal. Jalan yang menghubungkan antara Sentani dan Jayapura hanya ada jalan provinsi satu-satunya, lebarnya sekitar enam meter, tidak ada alternatif jalan lain.

Sesaat keluar dari bandara, suasana nampak tegang. Banyak sekali polisi dan tentara berjaga-jaga dengan senjata lengkap. Kami mencoba mencari mobil carteran yang biasanya dapat dengan mudah dijumpai di bandara, tapi begitu tahu kami minta antar ke Jayapura semua sopir dan pemilik mobil mundur teratur. Lama juga mencari akhirnya sekitar satu jam kemudian kami dapat orang yang mau mengantarkan kami ke Jayapura. Ongkosnya tentu saja dobel, tidak ada pilihan, jadi kita sepakati aja.

Kami kemudian naik mobil minibus, tapi tidak menuju ke Jayapura tapi ke sebuah bengkel. Bengkel itu dimiliki oleh seorang keturunan Belanda, orangnya kurus dan berumur sekitar 60 tahun. Setelah kita negosiasi, akhirnya disepakati kami akan diantar ke Jayapura dengan mobil kijang bak terbuka, keluaran tahun 80-an. Kami harus menunggu lagi sekitar setengah jam, karena mobil harus diganti dulu bannya.

Siang itu, ada long march, ribuan warga Sentani dan sekitarnya berangkat jalan kaki menuju Jayapura. Sentani adalah kota tempat tinggal Theys Eluay. Diman-mana suasana sedih dan kemarahan menyeruak dimana-mana. Selain tokoh masyarakat, Theys juga tokoh adat, tepatnya ketua adat alias Ondoafi.

Akhirnya kami berangkat ke Jayapura dengan lima orang 5 orang pengawal preman termasuk si sopir. Aku diminta duduk di samping sopir, sementara Jopie diminta untuk di bak terbuka di belakang bersama dengan empat orang lainnya. Kamera pun harus ditenteng Jopie dipundak, karena menjadi “senjata” yang harus ditunjukkan kepada massa yang sedang berjalan kaki.

Massa berjalan kaki seenaknya, mereka tidak berjalan di pinggir tetapi bergerombolan berjalan di tengah jalan. Sialnya hampir semua dan sepanjang perjalanan ditemui orang bergerombol. Mobil tidak bisa berjalan kencang, paling cepat sekitar 20-30 kilometer per jam. Setiap kali melewati rombongan sang pengawal berteriak-teriak terus menerus, “Heiii, minggir.. minggir…, ini ada wartawan!!!”.

Beberapa kali memang mereka mau langsung minggir, tapi sebagian rombongan tetap cuek menutupi jalan. Kalau sudah begini, sang pengawal biasanya turun dan mendorong warga yang membandel sambil mengeluarkan sumpah serapah dengan bahasa yang kami nggak ngerti.

Satu jam perjalanan, semakin mendekati Jayapura, massa bukannya semakin sedikit tetapi semakin banyak. Sebagian bernyanyi-nyanyi sebagian ada yang lari-lari kecil sebagian menganggu-ganggu kendaraan kami. Mobil semakin susah berjalan, dan kami terjebak di tengah ribuan warga.

Saat hampir memasuki kota Jayapura, ada rombongan warga yang sama sekali tidak bersedia minggir, pengawal preman kami berkali-kali teriak dan berkali-kali klakson yang suaranya parau ditekan tanpa putus… Jopie terus mengambil gambar dan sang pengawal teriak “ini wartawan, ini wartawan!!!”, namun tidak ada hasil malah keributan kami memancing warga untuk mengerubuti mobil kami.

Tiba-tiba, kap mesin mobil dipukul oleh seorang warga, dan sebagian lain mendorong dan mengguncang-guncang mobil. Melihat kejadian itu sebagian warga ikut-ikutan ngegebrak-gebrak kap mobil. Aku yang duduk di depan melihat dengan jelas rona kemarahan mereka. Pengawal berteriak-teriak membentak, tapi warga semakin bernyali. Aku tidak bisa menyampaikan apa-apa, karena mereka menggunakan bahasa daerah. Aku menunjukkan ID cardku, tapi mereka tidak mengerti juga.

Haaah, jantung berdetak kencang… aku berpikir akan sangat susah selamat bila kami dipukuli beramai ramai. Dengan keras aku mencoba menenangkan diri… dan sejurus kemudian jantungku seperti mencolot keluar… sang sopir yang ada di sampingku meloncat keluar dari dalam mobil… kondisi mesin mobil masih hidup.

Sang sopir dengan sangat cepat mendorong orang yang pertama menggebrak kap mobil yang sedang menghadang persis di depan mobil. Dorongan itu terlihat sangat kuat dan si penggebrak jatuh terpelanting ke belakang… Langsung sang sopir menunjuk muka si penggebrak dan berteriak keras, “Kubikin miring rahang kauuu!!!!”, hanya itu yang kumengerti selanjutnya dia menyumpah-nyumpah dengan bahasa daerah.

Empat rekan pengawal lainnya pun turun dari bak mobil ikut mendorong teman-teman si penggebrak… Aku melihat ke Jopie di belakang, dia tampak terdiam, tatapannya nanar. Si penggebrak berdiri lagi dan disambut dengan dorongan di dadanya dan terjungkal kembali ke rumput di pinggir jalan.

Perhatian warga berpindah dari mobil ke aksi dorong-mendorong, mesin mobil masih hidup, sempat terpikir kalau situasi tidak terkendali, aku akan melarikan mobil apapun yang terjadi. Tidak banyak yang sempat aku pikirkan dalam kondisi itu, aku hanya berharap sang pengawal dapat menguasai keadaan.

Situasi berubah cepat dan dengan sigap sang pengawal dan sebagian penghadang bergegas menuju mobil… uhhh, apa pikirku yang akan terjadi.

Mereka langsung menuju bak belakang dan berteriak, “Kamera, kamera… wartawan… wartawan!!!”, sambil menunjuk kamera yang dipegang Jopie, selanjutnya kami tidak mengerti bahasanya.

Akhirnya ketegangan mereda, warga langsung memberi kami jalan… terdengar teriakan “Kasih jalan… kasih jalan”. Huuuh, akhirnnya kami lolos dan tiba di Jayapura. Awal kerja kami penuh ketegangan.

Kami langsung melakukan peliputan dengan kendaraan kijang bak terbuka. Jam tiga dinihari kami akhirnya check-in di hotel. Begitu sampai di kamar, aku dan Jopie tidak berbicara sepatahpun, lebih dari 24 jam tidak tidur, membuat kasur sangat indah.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Ini tulisan fokusnya dimana????? *diucapkan sambil ngelempar naskah, ala senior editor* hehehe, deadline syndrome.

TEROR DI MANHATTAN, 31 OKTOBER 2017

TEROR DI MANHATTAN, 31 OKTOBER 2017 Oleh: Alam Burhanan Virginia, USA Mendengar kabar ada serangan yang mematikan, mende...