Minggu, 30 November 2008

Cheese Stick Imam Samudra

Satu minggu sebelum lebaran tahun 2008 atau 1429 Hijriah ini, aku bersama dengan teman-temanku Firman dan Tengku Fiola, bertandang ke rumah orang tua Imam Samudra di Lopang Gede, Serang, Banten. Kedatangan kami kali ini, benar-benar ingin bertemu dengan Umi Embay Badriah yang sedang sakit.

Setelah menyelesaikan urusan dengan Tim Pengacara Muslim Banten, kami bergegas berangkat, hari sudah semakin sore. Kami berempat dengan sopir, mampir dulu ke mini market untuk belanja sedikit kue kue dan minuman. Saat akan meluncur ke Lopang Gede, TPM Banten, melalui Agus Setiawan menyatakan akan menemani kami kesana. Mobil segera berbelok arah menjemput mereka. Lalu mobil dinaiki tiga orang tambahan menjadi tujuh orang bersama kami, dan terasa sesak karena kami membawa peralatan rekam audio visual.

Ok, berangkaaaat…

Karena kota kecil, hanya sekitar 15 menit kami tiba di Lopang Gede. Hari sudah semakin sore. “Assalamualaikuum…” ucap kami, “Alaikumsalaam…” terdengar balasan dari adik ipar Imam Samudra yang saat itu hendak menutup warung kecil di depan rumah. “Mau ketemu Umi”, tukas Agus. “Masuk, masuk aja mas…”.

Sambil buka sepatu, aku lihat di pintu tertempel tulisan “No Press, Please…” dengan foto Imam Samudra yang sedang menunjuk. “ Ah…, pikirku ini pasti kerjaan Lulu”. Lulu Jamaluddin adalah adik kandung Imam Samudra. Segera aku masuk rumah sederhana berukuran sekitar 6 kali 12 meter. Perabot sederhana bersahaja yang kutemui di ruang tamu sekaligus ruang keluarga, satu set kursi tamu, sebuah lemari pajang alumunium kecil tempat menyimpan buku, sebuah foto Imam Samudra sedang bersujud dengan Umi dan sebuah TV ukuran 20 inchi. Umi ada di ruang tidurnya.

Agus Setiawan masuk ke kamar Umi, mengucap salam dan mencium tangan Umi. Kami pun ke kamar Umi bergantian. Karena cukup sempit, kami lalu keluar. Umi dengan tertatih lalu keluar kamar dan duduk di kursi sebelah lemari pajang alumunium. Belum lama bercerita, adzan magrib bergema, kami lalu berbuka puasa dengan korma dan air putih.

Usai sholat magrib di Masjid Al Mannar, tempat yang kemudian menjadi tempat Imam Samudra disemayamkan, kami melanjutkan reriungan bersama Umi. Kesan tegas dan tegar terpancar dari ucapan Umi. Dari cerita diketahui Umi Embay semasa muda termasuk perempuan aktif. Berbagai perkumpulan diikuti Umi, termasuk tim bola volli kampung. Saat Imam Samudra atau Abdul Aziz remaja, Aziz mulai memberi masukan kepada Umi tentang bermacam aktifitas.

Embay Badriah berasal dari keluarga yang aktif di organisasi Persatuan Islam, PERSIS. Sebagian besar anak-anaknya sekolah atau mengaji di yayasan PERSIS, termasuk Abdul Aziz.

Di mata Umi, Abdul Aziz, adalah anak yang menonjol. Mengenang ketaatan dan kepatuhannya, membuat mata Umi berkaca-kaca. “Aziz itu, waktu SMP, kalau mau sekolah nanyain ke Umi, tentang apa yang bisa Aziz bantu…”. Umi lalu menirukan ucapan Aziz, “ Umi, Aziz mau sekolah… apa yang mau Aziz bawa untuk Aziz jual, cheese sticknya gimana?”. Rupanya, Aziz, sebelum sekolah membantu Umi membuat makanan cheese stick untuk dijual. Uang hasil berjualan menjadi uang bayaran sekolah Abdul Aziz. “Apapun yang bisa meringankan beban Umi, Aziz mencoba bantu…” ucap Umi sambil menyeka air mata. “ Aziz itu…, tak pernah lepas dari Al Quran, kalau ada waktu senggang selalu baca Al Quran yang terus dikantonginya…”.

“Umi tau nggak, Aziz ke Afghanistan?” tanyaku, “ Yang Umi tau, Aziz setamat Madrasah Aliyah, berangkat ke Malaysia jadi guru ngaji katanya…”. Imam Samudra memang usai MAN berangkat ke Malaysia, untuk menjadi guru mengaji di Pondok Pesantren Lukmanul Hakim, Johor Baru, Malaysia.

Lukmanul Hakim adalah Pondok Pesantren yang didirikan oleh Abdullah Sungkar dan Abubakar Baasyir, keduanya Warga Negara Indonesia yang kabur dari Indonesia karena ancaman rezim Orde Baru. Lahan Pondok Pesantren adalah tanah hibah milik orang tua Nasir Abbas, lokasinya berada di sekitar kebun kelapa sawit.

Rupanya dari Pondok Pesantren inilah, rencana berangkat ke Afghanistan dimatangkan Abdul Aziz, bersama dengan Ali Ghufron yang menjadi pimpinan pondok pesantren Lukmanul Hakim saat itu. Jadi wajar saja Umi tidak mengetahui keberangkatan Aziz ke Afghanistan, karena alasan agar Umi tidak mengkhawatirkan keselamatannya.

Saat bercerita, telepon berdering dari Lulu, menanyakan “ Lagi dimana?”, “ Ngapain?”, “Umi jangan difoto ya…”.

Karena Umi mulai kelihatan lelah, Fiola kemudian menggamit Umi untuk diantar ke kamarnya. Sambil duduk bersandar di tempat tidur kami melanjutkan cerita dengan Umi. Bermacam hal kami bincangkan, termasuk Umi yang menurut kami, pastilah waktu mudanya menjadi kembang desa karena kecantikkannya. “ Umi waktu muda, memang aktif di berbagai kegiatan…” balas Umi menghindar dari pertanyaan tentang kecantikkanya waktu muda.

Hari semakin malam, Umi sepertinya perlu istirahat, kami pun pamit. Tapi sebelum pamit kami sempat berfoto foto dengan Umi di kamarnya. “Untuk kenang-kenangan ya….Umi”, kata kami, Umi mengangguk.

Saat kami mengantar tim TPM kembali ke kantor, di sana sudah ada Lulu dengan seorang temannya. Lulu langsung menatap kami dan berucap “Tadi memfoto Umi, ya?... nggak boleh tuh”, tanya Lulu sekaligus menjawab sendiri. “ Kenapa nggak boleh Lu?,… aku ke toilet ya…” tanyaku sekaligus tidak meminta jawaban Lulu.

Usai pamit dengan orang-orang di TPM, kami kemudian mengajak Lulu makan sate bebek…. Yuups, kami berangkat bersama menuju warung sate bebek yang membuka tendanya di depan hotel Taman Sari, Serang.

Tidak ada komentar:

TEROR DI MANHATTAN, 31 OKTOBER 2017

TEROR DI MANHATTAN, 31 OKTOBER 2017 Oleh: Alam Burhanan Virginia, USA Mendengar kabar ada serangan yang mematikan, mende...