ISLAM DI AMERIKA, MENCERNA
TAKUT MINORITAS
Oleh: Alam Burhanan
Hanya Abdullah yang berada di
masjid Martinsburg saat kami datang. Dengan sibuk dia menyilahkan kami masuk,
sembari sigap menggelar karpet dan sajadah untuk sholat jumat.
Islamic Society of
Martinsburg, nama masjid sekaligus lembaga masjid ini. Letaknya di kota
Martinsburg, Negara bagian West Virginia.
Tempat berukuran sekitar 8 kali 10 meter, disewa dan dijadikan masjid.
Hanya satu masjid di kota Martinsburg.
Negara bagian West Virginia
adalah negara bagian termiskin kedua di Amerika, wilayah basis partai
Republican. Pada pemilu lalu, Donald Trump menang tebal, selisih 42.2 persen
atas Hilllary Clinton.
Sekitar 15 menit kemudian,
berdatangan jamaah lain. 25 orang hadir pada sholat Jumat. Tak banyak, Hameed
salah seorang pengurus masjid memperkirakan sekitar 30 keluarga muslim.
Tersempil satu muslimah yang ikut sholat
Jumat.
Aku dan Ronan datang kesini,
dua hari setelah kemenangn Donald Trump yang dipastikan pada rabu dinihari.
Asmosfir takut menggantung.
Imam Ibraheem Yao, pendatang
Sudan, dia seorang mualaf. Ibraheem menyebut, mereka memilih kurang bergaul
dengan masyarakat. Pilihan sulit yang diambil. Alasannya, mereka tak ingin
bergesekan dengan warga lain yang punya tendensi curiga dengan muslim.
Setelah retorika Trump, rasa
takut semakin kuat. “Islam Hates us”, “Ban Muslim” “Islam terrorist” dan lain
lain kerap mengalir dari mulut Trump. Ucapan itu segera menular pada
pendukungnya.
Muslim sebagai minoritas terpukul,
sedih, takut mengaduk-aduk hati. Menjauh jadi pilihan, mungkin sementara. Tapi
tak pasti sampai kapan. Harapan bahwa ucapan Trump hanya umpan penarik simpati
belaka, tetap ada. Mereka punya keyakinan itu. Tapi apakah pendukung Trump
berpikir begitu, tak ada yang yakin.
Hameed Bouberhan, usai sholat
jumat mengajak keliling melihat kota Martinsburg. Profil kota kecil, tak banyak
orang atau mobil yang berseliweran. Sembari menyetir, Hameed bercerita bahwa
warga kota yang tak simpati pada muslim. Para perempuan yang berjilbab bisa
disasar tindak kekerasan. Yang paling mungkin jilbab mereka ditarik lepas.
“Makanya kami sangat
protektif pada perempuan dan anak anak kami… kami (laki-laki dewasa) selalu
mendampingi kalau mereka keluar rumah. “kami tak ingin mereka mendapat
masalah”. Lanjut Hameed.
Saat kembali ke masjid, aku
bertanya mengapa tak ada tanda atau plang masjid. Hameed bilang, kami tak ingin
komunitas kami dikenali, kami tak ingin masjid dicoret-coret, dilempar sampah,
atau ada yang menyerang jamaah kami.
Terpukul aku dengan jawaban
itu, pikiranku melayang ke tanah air. Terbayang saat ribuan umat muslim
berkumpul protes penistaan agama. Aku tak ingin berdebat soal benar dan salah,
menista atau tidak,. Tapi cara perkasa berteriak kafir, menghardik, mengancam,
membakar, melanggar aturan unjuk rasa tentulah menebar takut. Lalu bom meneror gereja, membunuh anak anak,
menyemai buah kebencian yang ditanam dengan kesumat.
Membesarkan ancaman, menebar
takut pada minoritas.
Di Amerika, muslim hanya sekitar
satu persen, mereka punya rasa takut sekarang. Sama halnya dengan takut yang terhirup
minoritas di Indonesia,…
Bukankah Mayoritas harus
menemukan cara menghormati minoritas?
Sekali sekali, cobalah
menjadi minoritas, agar tahu bagaimana seharusnya mayoritas.
Tabik dari,
Washington, DC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar