Selasa, 24 Oktober 2017

ISLAM DI AMERIKA, MENCERNA TAKUT MINORITAS

ISLAM DI AMERIKA, MENCERNA TAKUT MINORITAS
Oleh: Alam Burhanan

Hanya Abdullah yang berada di masjid Martinsburg saat kami datang. Dengan sibuk dia menyilahkan kami masuk, sembari sigap menggelar karpet dan sajadah untuk sholat jumat.

Islamic Society of Martinsburg, nama masjid sekaligus lembaga masjid ini. Letaknya di kota Martinsburg, Negara bagian West Virginia.  Tempat berukuran sekitar 8 kali 10 meter, disewa dan dijadikan masjid. Hanya satu masjid di kota Martinsburg.

Negara bagian West Virginia adalah negara bagian termiskin kedua di Amerika, wilayah basis partai Republican. Pada pemilu lalu, Donald Trump menang tebal, selisih 42.2 persen atas Hilllary Clinton. 

Sekitar 15 menit kemudian, berdatangan jamaah lain. 25 orang hadir pada sholat Jumat. Tak banyak, Hameed salah seorang pengurus masjid memperkirakan sekitar 30 keluarga muslim. Tersempil satu muslimah  yang ikut sholat Jumat.

Aku dan Ronan datang kesini, dua hari setelah kemenangn Donald Trump yang dipastikan pada rabu dinihari. Asmosfir takut menggantung.

Imam Ibraheem Yao, pendatang Sudan, dia seorang mualaf. Ibraheem menyebut, mereka memilih kurang bergaul dengan masyarakat. Pilihan sulit yang diambil. Alasannya, mereka tak ingin bergesekan dengan warga lain yang punya tendensi curiga dengan muslim.

Setelah retorika Trump, rasa takut semakin kuat. “Islam Hates us”, “Ban Muslim” “Islam terrorist” dan lain lain kerap mengalir dari mulut Trump. Ucapan itu segera menular pada pendukungnya.
Muslim sebagai minoritas terpukul, sedih, takut mengaduk-aduk hati. Menjauh jadi pilihan, mungkin sementara. Tapi tak pasti sampai kapan. Harapan bahwa ucapan Trump hanya umpan penarik simpati belaka, tetap ada. Mereka punya keyakinan itu. Tapi apakah pendukung Trump berpikir begitu, tak ada yang yakin.

Hameed Bouberhan, usai sholat jumat mengajak keliling melihat kota Martinsburg. Profil kota kecil, tak banyak orang atau mobil yang berseliweran. Sembari menyetir, Hameed bercerita bahwa warga kota yang tak simpati pada muslim. Para perempuan yang berjilbab bisa disasar tindak kekerasan. Yang paling mungkin jilbab mereka ditarik lepas.

“Makanya kami sangat protektif pada perempuan dan anak anak kami… kami (laki-laki dewasa) selalu mendampingi kalau mereka keluar rumah. “kami tak ingin mereka mendapat masalah”. Lanjut Hameed.

Saat kembali ke masjid, aku bertanya mengapa tak ada tanda atau plang masjid. Hameed bilang, kami tak ingin komunitas kami dikenali, kami tak ingin masjid dicoret-coret, dilempar sampah, atau ada yang menyerang jamaah kami.

Terpukul aku dengan jawaban itu, pikiranku melayang ke tanah air. Terbayang saat ribuan umat muslim berkumpul protes penistaan agama. Aku tak ingin berdebat soal benar dan salah, menista atau tidak,. Tapi cara perkasa berteriak kafir, menghardik, mengancam, membakar, melanggar aturan unjuk rasa tentulah menebar takut.  Lalu bom meneror gereja, membunuh anak anak, menyemai buah kebencian yang ditanam dengan kesumat.
Membesarkan ancaman, menebar takut pada minoritas.

Di Amerika, muslim hanya sekitar satu persen, mereka punya rasa takut sekarang. Sama halnya dengan takut yang terhirup minoritas di Indonesia,…

Bukankah Mayoritas harus menemukan cara menghormati minoritas?
Sekali sekali, cobalah menjadi minoritas, agar tahu bagaimana seharusnya mayoritas.

Tabik dari,
Washington, DC


Tidak ada komentar:

TEROR DI MANHATTAN, 31 OKTOBER 2017

TEROR DI MANHATTAN, 31 OKTOBER 2017 Oleh: Alam Burhanan Virginia, USA Mendengar kabar ada serangan yang mematikan, mende...