ARTAN MATI UNTUK APA?
Renungan Tindak Brutal Muslim
di Columbus, Ohio
Oleh: Alam Burhanan
di Virginia, US
Abdul Razak Ali Artan, baru
berusia 18 tahun. Baru kuliah satu semester di kampus Ohio State University,
OSU di kota Columbus.
Senin, 28 november 2016, sekira
pukul sepuluh pagi di mati.
Tiga butir peluru polisi
menghentikan detak jantungnya yang sebelumnya berdegup kencang-kencang. Sekencang mobil yang disetirnya.
Artan tinggal bersama ibu dan
lima saudaranya. Dia putra tertua. Harapan keluarga imigran asal Somalia. Dia
pintar, cum laude dari community college, sebelum dia menempatkan namanya
menjadi mahasiswa di OSU. Sebuah kampus negeri besar di Ohio.
Tetangga dan kerabatnya
menyebut dia anak baik. Warung di dekat apartemen keluarganya bersaksi dia
ramah, tak pernah beli alkhohol, sesuatu yang jamak dicoba remaja seusianya.
Di OSU, dia sempat mengeluh
susah mencari tempat sholat. Dia tertib menjalankan sholat 5 waktu. Keluhannya
atas tempat sholat membuatnya dijadikan profil dari artikel di majalah kampus.
Semangat cintanya pada agama
Islam membuatnya Artan, peduli dengan muslim lainnya. Terlacak kecintaanya itu
oleh pihak lain.
Diubahnya pola pikir Artan,
dia menjadi radikal dalam waktu pendek saja. Media digital sekarang, membuat orang mudah saja terhubung. Niat baik dan buruk mudah saja tersambung.
Pagi itu kemarahannya
memuncak, dia tulis di linimasa Facebooknya bahwa dia muak dengan dengan
kekerasan yang terjadi terhadap muslim di seluruh dunia. Solidaritasnya
membatu. Keras hatinya. Hanyut dia dalam kerasnya semangat. Lupa dia dengan
ibunya yang berjuang keras mengasuh dia dan lima saudara lainnya. Lupa dia
perjuangan keluarganya yang menjadi pengungsi dari Somalia.
Kuat diduga dia terpengaruh
gerakan radikal di Timur Tengah, paling tidak sinyalemen itu ditangkap oleh
aparat.
Setelah menulis kemarahannya
di Facebook, diraihnya kunci mobil milik kleuarganya. Diambil pula pisau daging
dari rumah. Keluar dia dengan marah. Marah sejadi jadinya. Mobil dipacu
kencang, masuk area kampus. Dipacu mobilnya ke trotoar, di tabraknya pejalan
kaki. Mobilnya terhenti menabrak bangunan, tapi tidak marahnya.
Segera dia genggam pisau,
dihujamkannya pada pelintas yang menanyakan apakah dia baik baik saja setelah
tabrakan. Pelintas mengira dia megalami kecelakaan. Tak ambil peduli dalam diam
dia menghujamkan pisaunya.
Polisi datang, dia terus
menyerang dalam diamnya. Polisi harus menghentikannya dengan tembakan, dia
tetap diam hingga mati.
Di rumah, keluarganya
meraung. Adik adiknya sempoyongan, tak
pernah terbayangkan kejadian ini. Dunia terasa sesak. Sang kakak mengambil
jalan tak layak. Berat beban mereka tanggung, kakak tercinta harus diikhlaskan,
tapi jalan tak layak itu tak masuk akal mereka.
Di sudut lain, organisasi
Islam di Amerika mengutuk perilaku kekerasan. Pun demikian komunitas muslis
Somalia dan masjid masjid di Ohio. Mereka sedang mengajak muslim Amerika untuk
menunjukkan jiwa yang santun, baik seperti tuntunan Islam. Karena jalan seperti
itulah yang mereka yakini mampu menyadarkan orang bahwa Islam tak perlu
dibenci., Islam bukan berjiwa marah. Sebaliknya Islam adalah kelembutan,
kedamaian.
Mereka kecewa mengapa Artan
terpengaruh. Mereka mengutuk mengapa ada orang yang mengajak pemuda itu menjadi
radikal. Mereka simpati dengan pedih yang ditanggung keluarga Artan.
Harapan keluarga Somalia
kandas, menghujam deras ke dasar sakit.
Abdul Razak Ali Artan, pemuda
pintar itu direnggut dari keluarga, terpengaruh bertindak brutal.
Artan Mati, menimbun mimpi
indah ibu dan lima adiknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar