Kompleks Taman Teratai, tidak jauh dari Universitas Tehnologi Malaysia-UTM, di kawasan Skuddai, Johor. Perumahan yang dekat dengan Taman University UTM ini asri. Pepohonan besar masih betah menancapkan akar-akarnya di kawasan perumahan.
Awal November 2005, matahari pagi masih hangat saat kami menyambangi rumah Doktor Azahari di perumahan ini. Satu hari sebelumnya kami telah mencari informasi dan lokasi rumah “Sang Bomber dari Skuddai”. Namun karena terlalu malam untuk bertamu, kami memutuskan untuk datang pagi itu. Rumah itu bercat putih gading, posisinya di sudut blok dengan luas tanah sekitar 300-400 meter persegi. Terdapat taman di sisi depan dan samping rumah.
Berkali-kali memanggil, tidak ada balasan. Gonggongan anjing juga mulai mengganggu kami yang terus berada di pagar luar rumah. Akhirnya setelah berkali-kali mengucapkan salam, ada seorang ibu muda keluar rumah dan menanyakan maksud kedatangan kami dengan suara yang agak tinggi. Kami jelaskan bahwa kami ingin bertamu dan menanyakan rumah yang dulu sempat ditinggali Doktor Azahari. Dia tetap mengaku tidak kenal dan mengancam kami, andai kami tidak pergi dari rumah itu, maka kami akan dilaporkan ke petugas pengamanan kompleks. Dia juga mengaku melihat kamerawan mengambil gambar lokasi rumah, dan dia mengaku terganggu dengan aksi itu.
Jarak kami cukup jauh, kami berada di luar pagar dan si wanita berada di dekat pintu utama, jaraknya sekitar sepuluh meter. Tapi terkadang keberuntungan ada pada kami. Tiba-tiba ada mobil datang, setelah membuka pagar, mobil parkir di carport. Aku menyapa.
Lalu percakapan kami berlangsung persis seperti perbincangan kami dengan sang wanita, sang wanita mendekat. Rupanya mereka adalah pasangan suami istri, umur mereka sekitar 40-an tahun. Kami kemudian diajak masuk oleh sang suami dan duduk di teras rumah yang asri.
Lantai teras dibuat dari paduan keramik yang dipasang berselang seling dengan daun pohon sukun yang dicetakkan ke atas semen. Kami mengelilingi sebuah meja bundar kecil dengan empat tempat duduk. Perbincangan berlangsung lebih santai, tidak ada hidangan karena saat itu sedang bulan puasa.
“Pak Cik kenal dengan Azahari?” kataku. Pasangan suami-istri saling pandang dan mengaku tidak mengenal tapi tahu Doktor Azahari. Mereka lalu menambahkan mereka tidak ingin terganggu dengan keberadaan Azahari.
“Bukankah pak Cik tinggal di rumah yang dulu adalah rumah Azahari?”. Mereka mengaku membeli rumah itu tanpa tahu siapa pemiliknya. Jawaban yang aneh. Mereka mengaku di dokumen rumah tidak tercatat atas nama Azahari. Dan berkali-kali mereka mengaku terganggu dengan kehadiran orang-orang yang mencari Doktor Azahari. “Siapa mereka?” tanyaku. Mereka mengaku tidak tahu, mereka baru satu kali menerima tamu yang mencari Azahari, dan tamu itu adalah kami… huhhh thanks God!
Setelah perbincangan yang ngalor-ngidul dari masalah makanan berbuka puasa, suasana ramadhan di Indonesia sampai ke aktivitas politik di Indonesia. Sang Suami kemudian mengaku mengenal mantan ketua PB HMI Ferry Mursyidan Baldan, ahaa…. kami pun mengaku mengenal Ferry Mursyidan dan menjelaskan bahwa Ferry sudah menjadi anggota DPR dari Golkar. Ternyata sang suami dulu zaman mahasiswanya dulu pernah menjadi aktivis muslim. Perbincangan berubah menjadi sangat menyenangkan.
Sang suami lalu menuliskan nama mereka di atas kertas yang diambilkan oleh sang istri, lengkap dengan alamat dan nomor telepon mereka. Aku menyerahkan kartu nama dan memberi nomor telepon Ferry Mursyidan kepada sang suami.
Tidak ada wawancara, dan mereka berjanji akan menghubungi kami kalau suatu saat berkunjung ke Jakarta. Kami mendapat kepastian bahwa rumah yang saat ini mereka tempati adalah rumah yang dulu ditempati Doktor Azahari, sang suami akhirnya mengaku dengan tersenyum kecil.
Tono mengajak mencari masjid sebelum kami menuju ke UTM. Di parkiran masjid saat kami akan beranjak pergi ke UTM, kami berpapasan dengan seorang laki-laki dewasa, dia menyapa. Kami membalas sapaan. Perbincangan berlanjut dengan menjelaskan maksud liputan kami di Negara bagian Johor.
Keberuntungan masih memihak kami. Setelah kami menjelaskan bahwa tujuan kami selanjutnya adalah UTM sang laki-laki meminta kami agar membuntuti mobilnya, dia akan ke UTM juga. Kami menurutinya.
Setiba di gerbang kampus UTM, ada pemeriksaan dari petugas pengamanan kampus. Sang laki-laki menunjuk kearah mobil kami, kami masuk tanpa ada pemeriksaan. Kami kemudian dibawanya menuju Fakultas Teknik dan Geoinformasi, tempat Azahari dulu mengajar. Tangannya kembali menunjuk ke plang Fakultas, memberi kode bahwa itu tujuan kami, dia lalu memacu mobilnya meninggalkan kami.
Seperti refleks Tono lalu mengambil gambar Fakultas. Beberapa kegiatan mahasiswa tak luput dari bidikan lensa Tono. Mahasiswa-mahasiswi kami tanyai tentang Azahari, hampir semua mengaku tidak tahu kalaupun ada yang bersedia diwawancara mereka hanya menjelaskan kegiatan Azahari secara umum dalam proses belajar-mengajar. Kami merasa sudah memiliki gambar permulaan yang cukup, aku lalu mengajak Tono untuk menemui Dekan Fakultas Teknik dan Geoinformasi.
Kami menuju ruang dekan, dan tanpa ba-bi-bu masuk ke sana dan bertemu staff dekan. Ditanyakan apakah kami sudah punya janji, aku menjawab dengan pasti, “sudah.”, padahal belum, hehehe…
Akhirnya dekan keluar, kamera Tono sudah kondisi record. Sang dekan terlihat kaget dengan kehadiran kami dan menanyakan maksud kedatangan kami. Kami jelaskan. Sang dekan tak ingin memberi penjelasan apapun dan meminta kami untuk bertanya ke polisi Malaysia saja. Karena kami belum bersedia ke luar ruangannya walaupun sang dekan sudah menjelaskan kondisinya. Akhirnya sang dekan meminta kami meninggalkan ruangan karena dia akan menerima tamu lain. Kami lalu pergi.
Lalu kami menuju ke perpustakaan kampus yang bersebelahan dengan masjid kampus. Tono lalu mengambil gambar kegiatan mahasiswa dan masjid kampus dan olalaa…. sebuah mobil patroli satuan pengamanan internal kampus datang dengan tergesa. Tiga orang personil pengamanan mendekati kami dan meminta Tono menghentikan merekam gambar. Kami setuju.
Mereka memaksa kami untuk ikut ke dalam mobil patroli. Aku tidak bersedia. Tawar-menawar, akhirnya kami tidak jadi masuk dalam mobil patroli.
Di dalam mobil, aku meminta Tono segera mengganti kaset. Kaset diganti dan segera mengambil gambar lain sekenanya, “ Ambil sebanyak-banyaknya… apa aja, sekenanya Ton…”, Tono sigap merekam gambar.
Benar saja, kami dibawa ke ruangan komandan pengamanan kampus.
Benar saja, sang dekan melaporkan kami ke petugas pengamanan.
Dan benar saja kami diminta memutar gambar apa saja yang sudah kami ambil.
Kali ini Tono dengan tenang mempreview kaset dari kamera. Kami menonton sama-sama. Kami jelaskan bahwa baru saja mengambil gambar saat petugas keamanan datang. Dan sim salabim mereka percaya…
Sang komandan menjelaskan bahwa pihak umum harus mendapat ijin saat masuk lingkungan UTM dan tidak diperbolehkan mengambil gambar di lingkungan kampus. Aku mengaku tidak tahu.
Komandan lalu menjelaskan bahwa mobil kami diperbolehkan dan tidak diperiksa karena ada dosen UTM yang menjelaskan bahwa kami adalah mahasiswanya. Aku ingat laki-laki yang bertemu di masjid pada siang hari dan meminta kami membuntuti mobilnya. Rupanya dia salah seorang dosen di UTM dan saat dia menunjuk ke arah mobil kami, dia menjelaskan ke petugas pengamanan bahwa kami adalah mahasiswanya… wowwww cool….
Kartu pers dan KTP kami diminta untuk mereka fotocopy, kartu nama kami mereka minta. Sekitar 30 menit KTP dan kartu pers kami dikembalikan, kami langsung mencelat kabur dari kampus UTM saat langit sudah mulai berwarna jingga.
Hhmmmm…hari yang beruntung….
Almost everything we call "higher culture" is based on the spiritualization and intensification of cruelty- this is my proposition; the "wild beast" has not been laid to rest, it lives, it flourishes, it has merely become-deified.(Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, 1885).
Senin, 31 Agustus 2009
Jumat, 28 Agustus 2009
Lukmanul Hakim, Case Closed!!!
Bulan puasa…, ingatanku sekilas mampir pada puasa di bulan November 2005 silam di Johor Bahru, tepatnya di Pesantren Lukmanul Hakim, Ulu Tiram, Malaysia.
Pondok pesantren ini dilahirkan oleh Amir Jamaah Islamiyah yang pertama Abdullah Sungkar dan sekondannya Abu Bakar Baasyir. Dua tokoh ini keduanya berasal dari Indonesia, kabur, karena akan ditangkap oleh penguasa rezim Soeharto.
Tak lama setelah Azahari tewas di Malang, aku dan kamerawan Anambo Tono menyusuri alur gerakan teroris dan Jamaah Islamiyah di Malaysia.
Tak pelak salah satu sentralnya adalah ponpes Lukmanul Hakim. Di pesantren ini, banyak pelaku pemboman mengajar dan belajar agama di sini, sebut saja Muchlas atau Ali Gufron tereksekusi mati kasus Bom Bali satu dan Noordin M Top.
Menuju Johor Bahru, enam jam kami berkendara mobil dari Kuala Lumpur. Sampe Johor Bahru, sekitar pukul sepuluh malam. Menuju Lukmanul Hakim.
Jalan menuju ponpes, sekitar 30 menit dari pusat keramaian kota Johor Bahru. Setelah melewati perkebunan kelapa sawit, sampailah kami di Gerbang Pondok Pesantren Lukmanul Hakim. Ponpes gelap, police line, melilit gerbang masuk lingkungan ponpes. Saat kamerawan mengambil gambar, aku mencoba mencari pihak yang bisa memberikan informasi, suasana sepi, beberapa rumah yang aku datangi tidak menyahut salam.
Lalu aku melihat sebuah pintu di samping ponpes, aku ajak kamerawan dan sopir yang mengantar kami untuk masuk menerobos masuk. Oke… kami masuk ke samping ponpes dan melihat dari jejeran rumah seperti barak di samping ponpes. Salam kami tidak mendapat sambutan dan jawaban apa-apa. Kami mengatur siasat.
Akhirnya aku memutuskan untuk masuk bersama kamerawan dan sang sopir aku minta untuk menunggu di luar ponpes, memantau situasi dan melaporkan kalau terjadi apa-apa dengan kami di dalam.Wuiih, gelap… kami menerobos masuk ponpes dengan lampu yang dipancarkan dari kamera. Dengan cepat kami melaporkan situasi ponpes malam hari, kamera terus-menerus merecord.
Kami menuju hall, masuk ke dalam kelas-kelas, melihat seluruh ruang belajar, menuju kamar siswa, melihat koleksi buku-buku dan catatan siswa yang tertinggal dan apa saja yang menurut kami menarik. Suasana gelap, sehingga bila tanpa bantuan lampu kamera kami pasti akan kesulitan untuk berjalan di area ponpes yang luasnya (berdasarkan kira-kira aja) sekitar 2 hektar.
Menerobos tanpa izin, ditambah adanya larangan melintas, police line, dari Polisi Diraja Malaysia, membuat kami tegang dan khawatir ketahuan. Namun perasaan itu terkadang menjadi penambah semangat.
Namun tiba-tiba, ada suara motor meraung mendekati ponpes. Sepertinya mereka berhenti di samping ponpes. Kami diam, lampu kamera kami matikan. Suasana masih hening. Kami berharap suara motor itu adalah suara motor warga dan bukan Polisi Diraja Malaysia.
Sekitar 5 menit kemudian, ada suara orang berbincang-bincang dengan suara yang tinggi. Lampu senter kemudian berkilatan menyambar gedung-gedung asrama. Jantung kami berdegup, “Kita dicari Ton”, kataku pada Anambo Tono.
“Cepet ganti kaset Ton,… masukkan kameranya di ranselku aja”. Tono lalu sigap mengganti kaset di kamera dengan kaset baru dan memasukkannya ke dalam ranselku. Suasana gelap gulita. Kami jalan beringsut menghindari kilatan cahaya senter.
Suara orang yang mencari-cari semakin jelas. Degupan jantung semakin kencang. “Semoga bukan polisi ya, Ton… kita bisa di penjara nih”. Tono diam saja. Kami berkomunikasi dengan gerak dan terus menjauhi suara dan lampu.
Kami bergerak terus mendekati pintu keluar, dengan melintasi halaman ponpes yang rumputnya sudah meninggi. Terkadang suara derakan ranting pohon jatuh yang terinjak, mengagetkan dan menghentikan sejenak langkah kami. Kami lalu berhenti agak lama di bawah pohon samping ponpes. Karena merasa sudah agak aman dan tidak ada lagi kilatan cahaya, kami bergerak ke arah pintu keluar.
“Haii, siapa kamu!!!”, tiba-tiba suara menyalak dan senter menyala menerangi kami. Hoooahhh,… kami ketahuan, dan menghentikan langkah. Kami lalu mendekati sumber suara.
“Kami wartawan dari Indonesia…” balasku. Mereka mendekat.
Setelah cukup dekat, kami mendapati enam orang dengan senjata pentungan panjang. Setelah kami amati lagi, dua diantara mereka mengenakan sarung.
Hatiku agak mendingin, karena mereka pasti bukan polisi diraja Malaysia. “Siapa yang kasih izin, masuk!!!” suara pria bersarung meninggi.
“Maaf pak, kami memang menerobos masuk dari pintu samping”, lalu mereka marah-marah. Kami dikira maling dan orang yang kurang ajar karena masuk tanpa izin. Ternyata mereka adalah pengurus ponpes Lukmanul Hakim, mereka masih menjaga asset ponpes yang masih tersisa. Dulu mereka adalah pengajar dan staff ponpes Lukmanul Hakim.
Pertanyaan paling keras adalah perihal maksud liputan kami, apa agama yang kami anut dan darimana asal kami.
Setelah saling mengenal dan mengetahui maksud masing-masing, kami berdamai.Case Closed, Eh… malahan kami dipersilahkan untuk datang lagi keesokan paginya.
Huuhhhh, lega… setelah jantung seperti copot karena merasa dikejar Polisi Diraja Malaysia, akhirnya jantung berdetak kembali.
Pondok pesantren ini dilahirkan oleh Amir Jamaah Islamiyah yang pertama Abdullah Sungkar dan sekondannya Abu Bakar Baasyir. Dua tokoh ini keduanya berasal dari Indonesia, kabur, karena akan ditangkap oleh penguasa rezim Soeharto.
Tak lama setelah Azahari tewas di Malang, aku dan kamerawan Anambo Tono menyusuri alur gerakan teroris dan Jamaah Islamiyah di Malaysia.
Tak pelak salah satu sentralnya adalah ponpes Lukmanul Hakim. Di pesantren ini, banyak pelaku pemboman mengajar dan belajar agama di sini, sebut saja Muchlas atau Ali Gufron tereksekusi mati kasus Bom Bali satu dan Noordin M Top.
Menuju Johor Bahru, enam jam kami berkendara mobil dari Kuala Lumpur. Sampe Johor Bahru, sekitar pukul sepuluh malam. Menuju Lukmanul Hakim.
Jalan menuju ponpes, sekitar 30 menit dari pusat keramaian kota Johor Bahru. Setelah melewati perkebunan kelapa sawit, sampailah kami di Gerbang Pondok Pesantren Lukmanul Hakim. Ponpes gelap, police line, melilit gerbang masuk lingkungan ponpes. Saat kamerawan mengambil gambar, aku mencoba mencari pihak yang bisa memberikan informasi, suasana sepi, beberapa rumah yang aku datangi tidak menyahut salam.
Lalu aku melihat sebuah pintu di samping ponpes, aku ajak kamerawan dan sopir yang mengantar kami untuk masuk menerobos masuk. Oke… kami masuk ke samping ponpes dan melihat dari jejeran rumah seperti barak di samping ponpes. Salam kami tidak mendapat sambutan dan jawaban apa-apa. Kami mengatur siasat.
Akhirnya aku memutuskan untuk masuk bersama kamerawan dan sang sopir aku minta untuk menunggu di luar ponpes, memantau situasi dan melaporkan kalau terjadi apa-apa dengan kami di dalam.Wuiih, gelap… kami menerobos masuk ponpes dengan lampu yang dipancarkan dari kamera. Dengan cepat kami melaporkan situasi ponpes malam hari, kamera terus-menerus merecord.
Kami menuju hall, masuk ke dalam kelas-kelas, melihat seluruh ruang belajar, menuju kamar siswa, melihat koleksi buku-buku dan catatan siswa yang tertinggal dan apa saja yang menurut kami menarik. Suasana gelap, sehingga bila tanpa bantuan lampu kamera kami pasti akan kesulitan untuk berjalan di area ponpes yang luasnya (berdasarkan kira-kira aja) sekitar 2 hektar.
Menerobos tanpa izin, ditambah adanya larangan melintas, police line, dari Polisi Diraja Malaysia, membuat kami tegang dan khawatir ketahuan. Namun perasaan itu terkadang menjadi penambah semangat.
Namun tiba-tiba, ada suara motor meraung mendekati ponpes. Sepertinya mereka berhenti di samping ponpes. Kami diam, lampu kamera kami matikan. Suasana masih hening. Kami berharap suara motor itu adalah suara motor warga dan bukan Polisi Diraja Malaysia.
Sekitar 5 menit kemudian, ada suara orang berbincang-bincang dengan suara yang tinggi. Lampu senter kemudian berkilatan menyambar gedung-gedung asrama. Jantung kami berdegup, “Kita dicari Ton”, kataku pada Anambo Tono.
“Cepet ganti kaset Ton,… masukkan kameranya di ranselku aja”. Tono lalu sigap mengganti kaset di kamera dengan kaset baru dan memasukkannya ke dalam ranselku. Suasana gelap gulita. Kami jalan beringsut menghindari kilatan cahaya senter.
Suara orang yang mencari-cari semakin jelas. Degupan jantung semakin kencang. “Semoga bukan polisi ya, Ton… kita bisa di penjara nih”. Tono diam saja. Kami berkomunikasi dengan gerak dan terus menjauhi suara dan lampu.
Kami bergerak terus mendekati pintu keluar, dengan melintasi halaman ponpes yang rumputnya sudah meninggi. Terkadang suara derakan ranting pohon jatuh yang terinjak, mengagetkan dan menghentikan sejenak langkah kami. Kami lalu berhenti agak lama di bawah pohon samping ponpes. Karena merasa sudah agak aman dan tidak ada lagi kilatan cahaya, kami bergerak ke arah pintu keluar.
“Haii, siapa kamu!!!”, tiba-tiba suara menyalak dan senter menyala menerangi kami. Hoooahhh,… kami ketahuan, dan menghentikan langkah. Kami lalu mendekati sumber suara.
“Kami wartawan dari Indonesia…” balasku. Mereka mendekat.
Setelah cukup dekat, kami mendapati enam orang dengan senjata pentungan panjang. Setelah kami amati lagi, dua diantara mereka mengenakan sarung.
Hatiku agak mendingin, karena mereka pasti bukan polisi diraja Malaysia. “Siapa yang kasih izin, masuk!!!” suara pria bersarung meninggi.
“Maaf pak, kami memang menerobos masuk dari pintu samping”, lalu mereka marah-marah. Kami dikira maling dan orang yang kurang ajar karena masuk tanpa izin. Ternyata mereka adalah pengurus ponpes Lukmanul Hakim, mereka masih menjaga asset ponpes yang masih tersisa. Dulu mereka adalah pengajar dan staff ponpes Lukmanul Hakim.
Pertanyaan paling keras adalah perihal maksud liputan kami, apa agama yang kami anut dan darimana asal kami.
Setelah saling mengenal dan mengetahui maksud masing-masing, kami berdamai.Case Closed, Eh… malahan kami dipersilahkan untuk datang lagi keesokan paginya.
Huuhhhh, lega… setelah jantung seperti copot karena merasa dikejar Polisi Diraja Malaysia, akhirnya jantung berdetak kembali.
Saat Noordin Jadi Pahlawan
Kamis kemarin, 27 Agustus 2009, di Dewan Pers, aku hadir dalam diskusi “Etika Pers dalam Meliput Terorisme”. Judul yang mengundang tanda tanya besar, apakah memang perlu ada etika pers yang “baru” untuk menambah sebelas etika pers yang selama ini sudah ada?.
Pembicara utama acara ini adalah Kadivhumas POLRI Irjen Polisi. Nanan Sukarna, Bambang Harymurti, Iskandar Siahaan, dan Ade Armando. Di kursi peserta selain perwakilan media, hadir beberapa senior di dunia kewartawanan kayak, pak Atmakusumah, Leo Batubara termasuk ketua Dewan Pers Ichlasul Amal.
Pembicaraan dimulai dari Nanan, yang banyak memberi informasi off the record tentang operasi penanggulangan teroris di Temanggung dan Jatiasih. Cerita off the record, jelas jauh lebih menarik dari on the record… walaupun sebagian cerita sebelumnya pernah juga disampaikan oleh Kapolri BHD pada pertemuan dengan pimpinan media di Mabes POLRI, 11 agustus silam.
Setelah itu Bambang Harymurti yang bicara dan kemudian suasana menjadi lebih menyala. BHM menganggap perlu aturan peliputan teroris dengan mengacu pada serangan teroris di Mumbai bulan November 2008 silam.
Untuk mengingat peristiwa Mumbai, aku mengulas sedikit cerita tentang aksi terror Mumbai, yaitu sebuah kelompok yang menamakan dirinya "Deccan Mujahidin" (kemudian di ketahui berasal dari kelompok Lashkar-e-Taiba yang berbasis di Pakistan) melakukan serangkaian penembakan, peledakan, dan penyanderaan. Serangan-serangan tersebut terjadi di stasiun kereta api Chatrapati Shivaji Terminus yang ramai, dua hotel bintang lima yaitu Oberoi/Trident dan Taj Mahal Palace, Kafe Leopold (restoran terkenal di kalangan turis), Rumah Sakit Cama, Mumbai Chabad House (gedung pusat komunitas Yahudi), dan kantor polisi.
Serangkaian serangan teror di Mumbai, ibukota finansial India, menewaskan 172 orang dan menciderai lebih 300 lainnya.
Nah dalam diskusi berkembang cerita bahwa dibalik operasi penanganan teroris di Mumbai, diketahui bahwa anggota jaringan terror menggunakan media televisi untuk memantau pergerakan pasukan anti terror India. Karena hal inilah korban yang jatuh dari tim anti terror India jumlahnya lebih besar dibanding dengan jumlah teroris.
Teroris dengan leluasa memantau gerakan pasukan anti terror yang bergerak dalam operasi dari televisi yang menyiarkan langsung operasi penanganan terror. Karena hal ini pulalah kepala regu anti teroris Negara bagian Maharasthra, Hemant Karkare tewas dalam operasi, karena gerakan pasukannya diketahui oleh para anggota teroris yang memantau gerakan pasukan.
Kepalaku meradang sendiri terbayang Temanggung, operasi 18 jam ……
Waduh..., apa yang terjadi andaikan di Temanggung bener-bener ada anggota terror kelompok Noordin (bukan Noordin boongan…). Pastilah mereka juga akan memantau gerakan Densus 88 dari TV yang bersiaran langsung baik melalui listrik PLN atau sumber energi lain. Mereka mengatur siasat agar menimbulkan korban lebih banyak, dan penonton di rumah akan dapat menyaksikan secara langsung bagaimana akibat serangan itu. Bisa saja akan muncul ledakan bom, tembakan balasan dan lain-lain. Efeknya pasti akan sangat jelas dan terlihat di televisi, darah berceceran, kepala, terpecah, orang terkulai jatuh dan meninggal, erangan kesakitan… o la la…. Semuanya akan terjadi di depan jutaan penonton.
Sementara televisi yang telah menuhankan rating, terus bersiaran dengan gegap gempita… semakin dramatis peristiwa akan semakin meningkatkan rating. Karena siaran dilakukan secara live, tidak ada proses editing yang proper, siaran akan goes through…. Semua akan tertangkap mata, pria, wanita, tua, muda dan anak-anak.
Kelompok teroris juga akan memantau berita dari website dengan blackberrynya, mengetahui rencana pasukan anti terror, rencana strategis dan lain-lain….
Ini proses gila…..
Coba bayangkan andaikata, setelah daya-upaya Noordin dan kelompoknya sudah kehabisan tenaga dan persenjataan… tiba-tiba Noordin keluar dengan rompi bom-nya, mengangkat tangannya tinggi-tinggi, berteriak ALLAHU AKBAR, lalu akan disusul dengan rentetan tembakan polisi yang menembakinya!!!! Semuanya disaksikan secara langsung!!!
Begitu heroiknya…..
Ampuuuun… alangkah bodohnya kita!!! Jutaan orang akan bersimpati, jutaan orang bersedia menjadi pengantin, jutaan orang akan meniru gaya Noordin!!!!! Edaaaaaaaaaaaannnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn!!!!!
Lalu siapa sebenarnya yang melakukan TEROR???
Aku terkesiap,...
Pembicara utama acara ini adalah Kadivhumas POLRI Irjen Polisi. Nanan Sukarna, Bambang Harymurti, Iskandar Siahaan, dan Ade Armando. Di kursi peserta selain perwakilan media, hadir beberapa senior di dunia kewartawanan kayak, pak Atmakusumah, Leo Batubara termasuk ketua Dewan Pers Ichlasul Amal.
Pembicaraan dimulai dari Nanan, yang banyak memberi informasi off the record tentang operasi penanggulangan teroris di Temanggung dan Jatiasih. Cerita off the record, jelas jauh lebih menarik dari on the record… walaupun sebagian cerita sebelumnya pernah juga disampaikan oleh Kapolri BHD pada pertemuan dengan pimpinan media di Mabes POLRI, 11 agustus silam.
Setelah itu Bambang Harymurti yang bicara dan kemudian suasana menjadi lebih menyala. BHM menganggap perlu aturan peliputan teroris dengan mengacu pada serangan teroris di Mumbai bulan November 2008 silam.
Untuk mengingat peristiwa Mumbai, aku mengulas sedikit cerita tentang aksi terror Mumbai, yaitu sebuah kelompok yang menamakan dirinya "Deccan Mujahidin" (kemudian di ketahui berasal dari kelompok Lashkar-e-Taiba yang berbasis di Pakistan) melakukan serangkaian penembakan, peledakan, dan penyanderaan. Serangan-serangan tersebut terjadi di stasiun kereta api Chatrapati Shivaji Terminus yang ramai, dua hotel bintang lima yaitu Oberoi/Trident dan Taj Mahal Palace, Kafe Leopold (restoran terkenal di kalangan turis), Rumah Sakit Cama, Mumbai Chabad House (gedung pusat komunitas Yahudi), dan kantor polisi.
Serangkaian serangan teror di Mumbai, ibukota finansial India, menewaskan 172 orang dan menciderai lebih 300 lainnya.
Nah dalam diskusi berkembang cerita bahwa dibalik operasi penanganan teroris di Mumbai, diketahui bahwa anggota jaringan terror menggunakan media televisi untuk memantau pergerakan pasukan anti terror India. Karena hal inilah korban yang jatuh dari tim anti terror India jumlahnya lebih besar dibanding dengan jumlah teroris.
Teroris dengan leluasa memantau gerakan pasukan anti terror yang bergerak dalam operasi dari televisi yang menyiarkan langsung operasi penanganan terror. Karena hal ini pulalah kepala regu anti teroris Negara bagian Maharasthra, Hemant Karkare tewas dalam operasi, karena gerakan pasukannya diketahui oleh para anggota teroris yang memantau gerakan pasukan.
Kepalaku meradang sendiri terbayang Temanggung, operasi 18 jam ……
Waduh..., apa yang terjadi andaikan di Temanggung bener-bener ada anggota terror kelompok Noordin (bukan Noordin boongan…). Pastilah mereka juga akan memantau gerakan Densus 88 dari TV yang bersiaran langsung baik melalui listrik PLN atau sumber energi lain. Mereka mengatur siasat agar menimbulkan korban lebih banyak, dan penonton di rumah akan dapat menyaksikan secara langsung bagaimana akibat serangan itu. Bisa saja akan muncul ledakan bom, tembakan balasan dan lain-lain. Efeknya pasti akan sangat jelas dan terlihat di televisi, darah berceceran, kepala, terpecah, orang terkulai jatuh dan meninggal, erangan kesakitan… o la la…. Semuanya akan terjadi di depan jutaan penonton.
Sementara televisi yang telah menuhankan rating, terus bersiaran dengan gegap gempita… semakin dramatis peristiwa akan semakin meningkatkan rating. Karena siaran dilakukan secara live, tidak ada proses editing yang proper, siaran akan goes through…. Semua akan tertangkap mata, pria, wanita, tua, muda dan anak-anak.
Kelompok teroris juga akan memantau berita dari website dengan blackberrynya, mengetahui rencana pasukan anti terror, rencana strategis dan lain-lain….
Ini proses gila…..
Coba bayangkan andaikata, setelah daya-upaya Noordin dan kelompoknya sudah kehabisan tenaga dan persenjataan… tiba-tiba Noordin keluar dengan rompi bom-nya, mengangkat tangannya tinggi-tinggi, berteriak ALLAHU AKBAR, lalu akan disusul dengan rentetan tembakan polisi yang menembakinya!!!! Semuanya disaksikan secara langsung!!!
Begitu heroiknya…..
Ampuuuun… alangkah bodohnya kita!!! Jutaan orang akan bersimpati, jutaan orang bersedia menjadi pengantin, jutaan orang akan meniru gaya Noordin!!!!! Edaaaaaaaaaaaannnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn!!!!!
Lalu siapa sebenarnya yang melakukan TEROR???
Aku terkesiap,...
Senin, 17 Agustus 2009
Revolusi Hati
17 Agustus 2009, hari ini, aku bebas merdeka,… seharusnya ada acara wajib, upacara 17-an pukul 6.30 pagi di kantor, tapi aku dengan kemerdekaanku melanjutkan tidur.
Bangun pagi (agak siang sich…) dengan tenang, liat-liat pesan di handphone dan baca-baca email, hasilnya beberapa teman sudah mengingatkan adanya pengibaran bendera pagi ini. Tidak ada email yang memerdekakan… tidak ada berita yang memerdekakan… dan semuanya masih dalam pola yang sama sejak berpuluh-puluh tahun lalu.
Aku lanjutkan browsing, dan ternyata angka kemiskinan kita yang kata BPS tahun 2009, terhitung sampe maret, turun menjadi 14,15 persen atau menjadi 32,53 juta jiwa, luar biasa… aku surfing internet mencari indikator penentu kemiskinan, rupanya indikator masih diperdebatkan, masih persis sama sejak berpuluh-puluh tahun lalu.
BPS menyebut indikator kemiskinan merupakan gabungan tiga data, yaitu Survey Nilai Tukar Tani (NTT), Harga Konsumen dan Survey Upah. NTT dilakukan setiap bulan dimaksudkan untuk mencari tau perbandingan antara harga barang yang diproduksi petani dengan harga barang yang dibeli oleh petani. Pada survey ini dikumpulkan data upah buruh tani, harga konsumen pedesaan dan harga produk pertanian. Jadi NTT gampangnya bisa mewakili data kemiskinan di pedesaan. Untuk kemiskinan di perkotaan diambil data harga konsumen rumah tangga dan upah buruh di perkotaan. Nah, untuk pendataan upah buruh diperbandingan upah buruh tani, buruh industri dan upah pembantu rumah tangga. Data-data yang diolah ternyata masih sama sejak berpuluh puluh tahun lalu.
Dengan indikator yang masih terus diperdebatkan, persis dengan berpuluh-puluh tahun lalu, penyelenggara pendataan masih juga beragam, BPS buat survey, Keluarga Pra sejahtera badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional BKKBN membuat survey, dan Data Keluarga Miskin Gakin Departemen Kesehatan juga membuat survey. Terus.. datanya masih juga berbeda antar penyelenggara survey, persis sama dengan berpuluh-puluh tahun lalu.
Belum lagi indikator lain-lain berdasarkan kebutuhan nutrisi, kesehatan, perumahan, aset, dan lain-lain. Ada juga pada level apa survey dilakukan, individu, rumah tangga, daerah, negara. Frekuensinya: jangka pendek, menengah, atau panjang. Kelompok usia: apakah anak-anak atau dewasa, dengan pendekatan teori yang nauudzillah banyaknya… persis sama dengan berpuluh-puluh tahun lalu.
Data-data dibuat untuk disesuaikan dengan kebutuhan (proyek) dan lagi-lagi politis, terus… dari mana kita merdeka kalau data-data terus saja dijungkirbalikkan. Persis sama sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Aku malas untuk melanjutkan browsing data, aku teringat buku How to Lie with Statistics oleh Darrel Huff. Buku ini dapat kita lihat bagaimana data yang benar tapi disajikan dengan cara yang salah atau menguntungkan satu pihak. Selain itu juga disajikan bagaimana mendapatkan sesuatu secara ilmiah tapi hasil yang diperoleh disesuaikan dengan kebutuhan kita untuk berbohong. Wah, wah… pakle’ iki kok podo wae dengan berpuluh-puluh tahun lalu.
Dargombes, tenan!!!
Merasa tertipu dengan data-data, aku mencari-cari alasan untuk malas-malasan di rumah, upacara 17 agustus jadi nggak penting,... (apalagi sudah kesiangan!!!). Sekarang aku bebas merdeka, untuk bangun siang, berpikir apa aja, menginginkan apa aja, sok tau apa aja, nyolot apa aja.
Sejurus ada sesuatu menyentuh syaraf ingatan di otak kanan, “ingatlah norma”!!!.
Walah… “Norma” sok tau… katanya pembangunan sesuai norma, pendidikan sesuai norma, pola hidup sesuai norma, bergaul secara norma, lain-lain yang harus sesuai dengan norma dan berbohong sesuai norma… sisi lain masih di otak kananku melawan!!!.
Bangun pagi (agak siang sich…) dengan tenang, liat-liat pesan di handphone dan baca-baca email, hasilnya beberapa teman sudah mengingatkan adanya pengibaran bendera pagi ini. Tidak ada email yang memerdekakan… tidak ada berita yang memerdekakan… dan semuanya masih dalam pola yang sama sejak berpuluh-puluh tahun lalu.
Aku lanjutkan browsing, dan ternyata angka kemiskinan kita yang kata BPS tahun 2009, terhitung sampe maret, turun menjadi 14,15 persen atau menjadi 32,53 juta jiwa, luar biasa… aku surfing internet mencari indikator penentu kemiskinan, rupanya indikator masih diperdebatkan, masih persis sama sejak berpuluh-puluh tahun lalu.
BPS menyebut indikator kemiskinan merupakan gabungan tiga data, yaitu Survey Nilai Tukar Tani (NTT), Harga Konsumen dan Survey Upah. NTT dilakukan setiap bulan dimaksudkan untuk mencari tau perbandingan antara harga barang yang diproduksi petani dengan harga barang yang dibeli oleh petani. Pada survey ini dikumpulkan data upah buruh tani, harga konsumen pedesaan dan harga produk pertanian. Jadi NTT gampangnya bisa mewakili data kemiskinan di pedesaan. Untuk kemiskinan di perkotaan diambil data harga konsumen rumah tangga dan upah buruh di perkotaan. Nah, untuk pendataan upah buruh diperbandingan upah buruh tani, buruh industri dan upah pembantu rumah tangga. Data-data yang diolah ternyata masih sama sejak berpuluh puluh tahun lalu.
Dengan indikator yang masih terus diperdebatkan, persis dengan berpuluh-puluh tahun lalu, penyelenggara pendataan masih juga beragam, BPS buat survey, Keluarga Pra sejahtera badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional BKKBN membuat survey, dan Data Keluarga Miskin Gakin Departemen Kesehatan juga membuat survey. Terus.. datanya masih juga berbeda antar penyelenggara survey, persis sama dengan berpuluh-puluh tahun lalu.
Belum lagi indikator lain-lain berdasarkan kebutuhan nutrisi, kesehatan, perumahan, aset, dan lain-lain. Ada juga pada level apa survey dilakukan, individu, rumah tangga, daerah, negara. Frekuensinya: jangka pendek, menengah, atau panjang. Kelompok usia: apakah anak-anak atau dewasa, dengan pendekatan teori yang nauudzillah banyaknya… persis sama dengan berpuluh-puluh tahun lalu.
Data-data dibuat untuk disesuaikan dengan kebutuhan (proyek) dan lagi-lagi politis, terus… dari mana kita merdeka kalau data-data terus saja dijungkirbalikkan. Persis sama sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Aku malas untuk melanjutkan browsing data, aku teringat buku How to Lie with Statistics oleh Darrel Huff. Buku ini dapat kita lihat bagaimana data yang benar tapi disajikan dengan cara yang salah atau menguntungkan satu pihak. Selain itu juga disajikan bagaimana mendapatkan sesuatu secara ilmiah tapi hasil yang diperoleh disesuaikan dengan kebutuhan kita untuk berbohong. Wah, wah… pakle’ iki kok podo wae dengan berpuluh-puluh tahun lalu.
Dargombes, tenan!!!
Merasa tertipu dengan data-data, aku mencari-cari alasan untuk malas-malasan di rumah, upacara 17 agustus jadi nggak penting,... (apalagi sudah kesiangan!!!). Sekarang aku bebas merdeka, untuk bangun siang, berpikir apa aja, menginginkan apa aja, sok tau apa aja, nyolot apa aja.
Sejurus ada sesuatu menyentuh syaraf ingatan di otak kanan, “ingatlah norma”!!!.
Walah… “Norma” sok tau… katanya pembangunan sesuai norma, pendidikan sesuai norma, pola hidup sesuai norma, bergaul secara norma, lain-lain yang harus sesuai dengan norma dan berbohong sesuai norma… sisi lain masih di otak kananku melawan!!!.
Kamis, 13 Agustus 2009
Noordin, oh… Ibrahim!!!
Sejak pengepungan Sabtu, 8 Agustus 2009, nama Noordin kembali merogoh perhatian publik. 17 jam dikepung hasilnya “saya Noordin….!!!!..... eh, tapi bohong!!!”, dan terkaparlah Noordin palsu itu setelah beton bangunan dan genting menghujani kepalanya. Beton berguguran akibat bom yang dilesakkan ke dalam WC itu, diledakkan oleh Densus 88 anti tekor, eh.. anti terror!!!.
Siapapun yang di dalam rumah Mozahri di desa Beji, Kedu, Temanggung itu, pastilah semangat berkurbannya sudah mencapai ubun-ubun. Tak kenal takut, tak kenal menyerah karena asa agar sang Noordin asli bisa menghilang, paling tidak dia bisa memperpanjang umur Noordin asli selama dia masih bisa bertahan hidup.
Ceritanya, saat pengepungan, ribuan peluru dilontarkan, gas air mata dijejalkan sejak malam, listrik dan air dimatikan, bom diledakkan, tapi Ibrahim tetap bertahan hingga sekitar pukul sepuluh pagi. Bahkan saat polisi merangsek masuk untuk memastikan bahwa “Noordin” tewas, polisi masih merasakan cekatan bau mesiu dan gas air mata yang mengabut.
Rabu, 12 Agustus 2009, POLRI mengumumkan bahwa sang korban, si Noordin “palsu” itu adalah Ibrahim… Sopo tho Ibrahim iki?
Ibrahim ini,…(sst menurut polisi) adalah salah seorang perencana pemboman hotel JW Marriot dan Ritz Carlton pada 17 Juli silam.
Ibrahim bukan orang yang direkrut kala dia sudah jadi florist di Hotel Ritz Carlton, tetapi memang orang yang sengaja diselundupkan sebagai pegawai, selama lebih dari dua tahun… sabar banget.
Ibrahim adalah orang kunci dalam inti sel Jakarta dan Bogor. Menurut keterangan Amir Abdillah, tersangka teroris yang tertangkap di Koja 8 agustus 2009, Ibrahim adalah perencana operasi pengeboman hotel JW Marriot dan Ritz Carlton.
Sejak awal, Ibrahim yang sudah menikah dan punya dua anak di Kuningan, Jawa Barat, terlibat dalam perencanaan pemboman.
Pada Juni 2009, kelompok Jakarta dan Bogor, menyewa Safe House di Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Harga sewa Rp.800.000. Penyewanya adalah Saifuddin Juhri, teman mertuanya Noordin M Top, tapi KTP yang diberikan adalah KTP Ibrahim.
8 Juli 2009 suicide bomber, Dani Dwi Permana, bersama dengan Ibrahim berangkat dari safe house Mampang menuju hotel Ritz Carlton untuk meninjau lokasi.Sekitar pukul 05.50 pagi, Ibrahim dan Dani masuk melalui pintu pegawai. Ibrahim lalu mengajak Dani untuk meninjau ke Restoran Airlangga. Ibrahim ditegur oleh pegawai tetapi Ibrahim dibiarkan masuk karena sudah saling mengenal.
Setelah survey di Restoran Airlangga, pukul 06:08:52 pagi, Dani dan Ibrahim kembali ke ruang pegawai Ritz Carlton. Ibrahim lalu membawa kardus (yang nantinya akan diisi dengan bom rakitan) keluar bersama Dani. Ibrahim bekerja dan Dani pulang kembali ke Mampang. Belum diketahui kapan Ibrahim mengantarkan suicide bomber untuk meninjau lokasi Restoran Syailendra Hotel JW Marriot.
15 Juli 2009, Ibrahim menyewa mobil bak terbuka seharga Rp.250.000, disewa dari warga sekitar Safe House Mampang.
16 Juli 2009, Mobil sudah diisi dengan bunga bunga. Bom rakitan dimasukkan kardus dan diselipkan diantara kardus dan tumpukan bunga. Pukul 06.30 WIB mobil berisi bunga dan bom rakitan yang sudah siap ledak masuk ke hotel Ritz Carlton melalui lodging-dock, tempat untuk masuknya barang-barang keperluan hotel, khusus pada orang yang sudah dikenal atau pegawai. Ibrahim berperan mengatur pengantaran, dan mengangkat sendiri kardus berisi bom rakitan. Sang sopir sempat hendak membantu membawa kardus yang berisi bom rakitan siap ledak, tapi Ibrahim melarangnya.
16 Juli 2009, pukul 14.00, sampah dan bunga- bunga dibuang oleh Danni dari kamar hotel JW Marriots, tentu saja kardus berisi bom disembunyikan dulu saat petugas Room Boy datang.
17 Juli 2009, terjadi pengeboman target utamanya adalah pertemuan bisnis, Breakfast Meeting, Castle Group, pemimpin perusahaan yang berafiliasi dengan AS. Rencana sebelumnya pengeboman hanya dilakukan di Hotel JW Marriots tempat pertemuan bisnis, tapi Ibrahim minta agar operasi dikembangkan juga ke hotel Ritz Carlton karena dia memiliki akses ke dua hotel itu. Setelah hari pengeboman, Ibrahim menghilang dan akhirnya nyangkut di Temanggung.
Sepak terjang Ibrahim cukup mencengangkan, sabar dan telaten. Apa yang menyebabkan Ibrahim terlibat terror bom? Pastilah karena hal yang sangat prinsip di mata dia, masalah ideologi mungkin… hhhmm tapi apakah ada ideologi yang membenarkan kekerasan? Ada nggak ya?
Siapapun yang di dalam rumah Mozahri di desa Beji, Kedu, Temanggung itu, pastilah semangat berkurbannya sudah mencapai ubun-ubun. Tak kenal takut, tak kenal menyerah karena asa agar sang Noordin asli bisa menghilang, paling tidak dia bisa memperpanjang umur Noordin asli selama dia masih bisa bertahan hidup.
Ceritanya, saat pengepungan, ribuan peluru dilontarkan, gas air mata dijejalkan sejak malam, listrik dan air dimatikan, bom diledakkan, tapi Ibrahim tetap bertahan hingga sekitar pukul sepuluh pagi. Bahkan saat polisi merangsek masuk untuk memastikan bahwa “Noordin” tewas, polisi masih merasakan cekatan bau mesiu dan gas air mata yang mengabut.
Rabu, 12 Agustus 2009, POLRI mengumumkan bahwa sang korban, si Noordin “palsu” itu adalah Ibrahim… Sopo tho Ibrahim iki?
Ibrahim ini,…(sst menurut polisi) adalah salah seorang perencana pemboman hotel JW Marriot dan Ritz Carlton pada 17 Juli silam.
Ibrahim bukan orang yang direkrut kala dia sudah jadi florist di Hotel Ritz Carlton, tetapi memang orang yang sengaja diselundupkan sebagai pegawai, selama lebih dari dua tahun… sabar banget.
Ibrahim adalah orang kunci dalam inti sel Jakarta dan Bogor. Menurut keterangan Amir Abdillah, tersangka teroris yang tertangkap di Koja 8 agustus 2009, Ibrahim adalah perencana operasi pengeboman hotel JW Marriot dan Ritz Carlton.
Sejak awal, Ibrahim yang sudah menikah dan punya dua anak di Kuningan, Jawa Barat, terlibat dalam perencanaan pemboman.
Pada Juni 2009, kelompok Jakarta dan Bogor, menyewa Safe House di Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Harga sewa Rp.800.000. Penyewanya adalah Saifuddin Juhri, teman mertuanya Noordin M Top, tapi KTP yang diberikan adalah KTP Ibrahim.
8 Juli 2009 suicide bomber, Dani Dwi Permana, bersama dengan Ibrahim berangkat dari safe house Mampang menuju hotel Ritz Carlton untuk meninjau lokasi.Sekitar pukul 05.50 pagi, Ibrahim dan Dani masuk melalui pintu pegawai. Ibrahim lalu mengajak Dani untuk meninjau ke Restoran Airlangga. Ibrahim ditegur oleh pegawai tetapi Ibrahim dibiarkan masuk karena sudah saling mengenal.
Setelah survey di Restoran Airlangga, pukul 06:08:52 pagi, Dani dan Ibrahim kembali ke ruang pegawai Ritz Carlton. Ibrahim lalu membawa kardus (yang nantinya akan diisi dengan bom rakitan) keluar bersama Dani. Ibrahim bekerja dan Dani pulang kembali ke Mampang. Belum diketahui kapan Ibrahim mengantarkan suicide bomber untuk meninjau lokasi Restoran Syailendra Hotel JW Marriot.
15 Juli 2009, Ibrahim menyewa mobil bak terbuka seharga Rp.250.000, disewa dari warga sekitar Safe House Mampang.
16 Juli 2009, Mobil sudah diisi dengan bunga bunga. Bom rakitan dimasukkan kardus dan diselipkan diantara kardus dan tumpukan bunga. Pukul 06.30 WIB mobil berisi bunga dan bom rakitan yang sudah siap ledak masuk ke hotel Ritz Carlton melalui lodging-dock, tempat untuk masuknya barang-barang keperluan hotel, khusus pada orang yang sudah dikenal atau pegawai. Ibrahim berperan mengatur pengantaran, dan mengangkat sendiri kardus berisi bom rakitan. Sang sopir sempat hendak membantu membawa kardus yang berisi bom rakitan siap ledak, tapi Ibrahim melarangnya.
16 Juli 2009, pukul 14.00, sampah dan bunga- bunga dibuang oleh Danni dari kamar hotel JW Marriots, tentu saja kardus berisi bom disembunyikan dulu saat petugas Room Boy datang.
17 Juli 2009, terjadi pengeboman target utamanya adalah pertemuan bisnis, Breakfast Meeting, Castle Group, pemimpin perusahaan yang berafiliasi dengan AS. Rencana sebelumnya pengeboman hanya dilakukan di Hotel JW Marriots tempat pertemuan bisnis, tapi Ibrahim minta agar operasi dikembangkan juga ke hotel Ritz Carlton karena dia memiliki akses ke dua hotel itu. Setelah hari pengeboman, Ibrahim menghilang dan akhirnya nyangkut di Temanggung.
Sepak terjang Ibrahim cukup mencengangkan, sabar dan telaten. Apa yang menyebabkan Ibrahim terlibat terror bom? Pastilah karena hal yang sangat prinsip di mata dia, masalah ideologi mungkin… hhhmm tapi apakah ada ideologi yang membenarkan kekerasan? Ada nggak ya?
Sejati Cinta Drug-Dealers (Fiksi)
bagian (2)
dilanjutkan oleh Dyah Pratitasari, saudara-sahabat-wartawan-penulis-blogger- dll, yang hebat, trims atas tulisan yang hebat.
.....
Sebuah ruangan berlampu temaram. Penghuninya seseorang, yang senang memandang ke arah seberang dari balik tirai, sambil bergumam.
”Mungkin benar cinta itu talenta. Ia berkembang melalui pilihan-pilihan bebas dan sadar. Bukan hanya jatuh, terjebak, lalu hanyut. Karena hanyut atau tidak tetap soal pilihan. Bukan pula kelekatan. Karena cinta tidak menimbulkan ketergantungan. Tidak pula kekuasaan. Cinta melegakan napas, menumbuhkan tunas-tunas, terus tumbuh dan mengembang, mengambang di samudera dan menembus langit.
Ah.. Cintakah yang kulihat barusan? Kaki-kaki mungilnya berlarian bebas tanpa alas di sepetak tanah tak seberapa, di belakang dan samping rumah. Mereka menyusut, mengembang, mengambang dan bercengkrama di ranting-ranting pohon. Menelusup di ukiran batang, bergelantungan di mahkota bunga, dan bersemayam beberapa lama saat hujan tiba. Dalam pagar itu. Mereka tak pernah keluar dari situ. Beranak pinak. Dan mungkin dalam waktu dekat tempat itu akan sesak.”
Usai menggumam, ia menghela napas panjang. Tirai yang sedari tadi jadi perisai diremasnya. Seandainya cinta bisa dipaksa... bibirnya getir mengucap. Ia memejamkan mata. Berharap bayangan yang tinggal di pelupuk terusir oleh menutupnya kelopak. Tapi ia salah. Dalam gelap, bayangan itu hadir semakin dekat. ”Kalau orang yang benar-benar cinta mampu menggetarkan cinta hingga bergema, kuharap gaungnya terdengar sampai di seberang sana...”
***
”Bang...”, perempuannya terbangun tiba-tiba dengan dada yang berdegup kencang. Sebuah getaran aneh merasuk ke tubuhnya. Bisikan tanpa suara. Antara mimpi, halusinasi, intuisi. Sang pria membuka matanya malas. Kepalanya sungguh berat, ”Kenapa?”, sambil merengkuh perempuannya kembali ke dada.
Napasnya tertahan. Ia seperti diingatkan. Prianya selalu ada, seperti udara. Lama ia terdiam, hingga yang terdengar lirih.. ”Apa bisa, kita berhenti menghirup udara?”. Mengucapkan kalimat itu butuh tenaga ekstra. Mendadak ngilu menjalar pelan dari ulu hati ke seluruh tubuhnya. Efek etepnya minta ditambah, atau karena sebab bernama entah.
Sang pria melepas pelukannya. Mengganti posisi berbaring jadi bersandar pada dinding. Hapal ia pada kebiasaan yang satu ini. Tak ada yang ditinggalkannya begitu saja kalau belum paripurna.
Ditariknya napas. ”Kematian rasa”, malas-malasan ia berkata.
”Apa harus mati rasa dulu untuk bisa hidup sebagai manusia? Pfffhhhh....,” bangkit ia ke sisi Sang Pria, meletakkan lagi kepala di atas dadanya. Merapatkan telinga. Mencoba menemukan damai dari sekeping hati yang ia percaya, adalah pasangannya. Degup yang ia yakini, memompa hidupnya.
Masih terasa, bagaimana perih dirinya tadi melihat jarum tertancap di lengan si pria. Ketika darah masuk ke dalam syringe. Ketika ia nyerocos dengan kata-kata tak karuan. Ketika adegan demi adegan berkelebat, tayangan orang kesakitan. Bagaimana tega aku harus terus melihatmu begitu, Bang... dibatinnya saja kalimat itu. Merangkul badanmu sendiri dengan mulut terkatup rapat dan rahang mengencang? Aku ingin bilang, aku paham kenapa kamu sakit. Aku ingin bilang, aku sakit melihat kamu sakit. Namun bungkusan udara ini memberangus mulutku. Bisu.
.....
Suara pertama dalam setengah jam terakhir. Ia tahu prianya tidak benar-benar tidur.
”Kadang aku berpikir kita dilahirkan untuk jadi dua macam kepribadian. Satu menjadi yang diinginkan masyarakat, satunya lagi diri yang sejati. Sayang, yang terakhir ini justru sering dipaksa bersembunyi. Demi yang kau bilang tadi, Bang.. norma.. nilai... Sampai kapan kita menjadi pembohong besar bagi diri sendiri?”
”Haaah... kamu membuat ngantukku minggat,” mendekati wajah perempuannya, dibisikkan satu kalimat di telinganya. ” Lebih baik kita merdekakan saja diri kita dengan mendengar suara milik diri sejati,” Usai berkata sang pria melepaskan tubuh dari pelukan si perempuan, berdiri menuju meja kusam di sudut ruangan. Diambilnya sebungkus rokok yang hampir kadaluarsa, disulut tanpa sabar, menghisapnya dalam-dalam. Seketika bulatan demi bulatan asap menyembul dari hidung dan mulutnya. Belum habis, tapi batang isi tembakau itu dibuang ke lantai. Tangannya bergerak bimbang seperti ingin meraih tangan si perempuan, tapi ia urungkan niat itu.
”Kamu tahu, kita sedang belajar untuk itu,” diremasnya pundak perempuannya tiba-tiba. Ditatapnya tajam. ”Kita belajar! Meski jadi semacam buronan. Itu cuma bungkus. Dan bungkus bisa dipasangkan berupa apa saja, tergantung kemasan seperti apa yang diterima orang di luar sana. Aku nggak suka menjawab ini. Kita bukan barang dagangan. Makanan dalam kemasan. Sekali habis lalu dibuang. Kurasa hatimu tahu. Seperti hatiku pun tahu. Kalau malam ini kita memutuskan ada terus bersama, itu bukan berarti kita tidak tahu bagaimana menangani kesendirian. Aku tidak bersamamu hanya karena enggan sendiri!!!”
Hening beberapa lama. Perempuannya terisak memeluk lutut. Nyeri yang tadi menjalar kini bertambah, dengan hadirnya pilu. Sakitnya berjuta kali lipat dari sekadar waktu nagih.
Sang Pria menoleh sesaat. ”Aku memutuskan bersamamu karena keutuhanku tercermin, bukan karena takut sepi”, gumpalan emosi itu dimuntahkannya dengan meninju tembok. ”Haaahhh!!!”
Perempuannya berdiri dan berlari. Direngkuh prianya dari belakang. Dibalikkannya tubuh itu perlahan. Ia eratkan lagi rengkuhannya dari yang tadi. Meresapi desiran dan aroma napas meski tak wangi. Udara yang menghidupi mereka berdua. ”Rasakan Bang.. ”bisiknya lagi dalam hati. ”Panas tubuh kita berdua mencairkan yang sudah beku bertahun-tahun. Hatiku juga tahu, seperti hatimu tahu. Nadi kita mendenyutkan pesan-pesan yang sudah menanti untuk bersuara. Sakit kita tak terobati. Dan bukan untuk diobati.”
Berangsur, tubuh mereka tenang. Napas yang memburu jadi pelahan. Urat dan otot yang tadinya tegang pun lemas.
Dikecupnya kening Sang Pria dengan takzim. ”Aku sudah tahu jawabannya, Bang.. Nilai, norma, adalah harga yang harus dibayar untuk menebus surga”.
Direngkuhnya sungguh-sungguh, dihapusnya air mata si perempuan dengan punggung jarinya. Diucapkannya satu prasasti lisan dengan tekanan tak biasa, “Aku mencintaimu, lebih dari surga itu”….
***
Seseorang yang tinggal di rumah seberang terkesiap. Dari balik tirai ia melihat, rumah yang disekap pengap itu memendarkan cahaya. Menembus langit hitam, yang sebentar lagi terang dijemput azan. (080809)
dilanjutkan oleh Dyah Pratitasari, saudara-sahabat-wartawan-penulis-blogger- dll, yang hebat, trims atas tulisan yang hebat.
.....
Sebuah ruangan berlampu temaram. Penghuninya seseorang, yang senang memandang ke arah seberang dari balik tirai, sambil bergumam.
”Mungkin benar cinta itu talenta. Ia berkembang melalui pilihan-pilihan bebas dan sadar. Bukan hanya jatuh, terjebak, lalu hanyut. Karena hanyut atau tidak tetap soal pilihan. Bukan pula kelekatan. Karena cinta tidak menimbulkan ketergantungan. Tidak pula kekuasaan. Cinta melegakan napas, menumbuhkan tunas-tunas, terus tumbuh dan mengembang, mengambang di samudera dan menembus langit.
Ah.. Cintakah yang kulihat barusan? Kaki-kaki mungilnya berlarian bebas tanpa alas di sepetak tanah tak seberapa, di belakang dan samping rumah. Mereka menyusut, mengembang, mengambang dan bercengkrama di ranting-ranting pohon. Menelusup di ukiran batang, bergelantungan di mahkota bunga, dan bersemayam beberapa lama saat hujan tiba. Dalam pagar itu. Mereka tak pernah keluar dari situ. Beranak pinak. Dan mungkin dalam waktu dekat tempat itu akan sesak.”
Usai menggumam, ia menghela napas panjang. Tirai yang sedari tadi jadi perisai diremasnya. Seandainya cinta bisa dipaksa... bibirnya getir mengucap. Ia memejamkan mata. Berharap bayangan yang tinggal di pelupuk terusir oleh menutupnya kelopak. Tapi ia salah. Dalam gelap, bayangan itu hadir semakin dekat. ”Kalau orang yang benar-benar cinta mampu menggetarkan cinta hingga bergema, kuharap gaungnya terdengar sampai di seberang sana...”
***
”Bang...”, perempuannya terbangun tiba-tiba dengan dada yang berdegup kencang. Sebuah getaran aneh merasuk ke tubuhnya. Bisikan tanpa suara. Antara mimpi, halusinasi, intuisi. Sang pria membuka matanya malas. Kepalanya sungguh berat, ”Kenapa?”, sambil merengkuh perempuannya kembali ke dada.
Napasnya tertahan. Ia seperti diingatkan. Prianya selalu ada, seperti udara. Lama ia terdiam, hingga yang terdengar lirih.. ”Apa bisa, kita berhenti menghirup udara?”. Mengucapkan kalimat itu butuh tenaga ekstra. Mendadak ngilu menjalar pelan dari ulu hati ke seluruh tubuhnya. Efek etepnya minta ditambah, atau karena sebab bernama entah.
Sang pria melepas pelukannya. Mengganti posisi berbaring jadi bersandar pada dinding. Hapal ia pada kebiasaan yang satu ini. Tak ada yang ditinggalkannya begitu saja kalau belum paripurna.
Ditariknya napas. ”Kematian rasa”, malas-malasan ia berkata.
”Apa harus mati rasa dulu untuk bisa hidup sebagai manusia? Pfffhhhh....,” bangkit ia ke sisi Sang Pria, meletakkan lagi kepala di atas dadanya. Merapatkan telinga. Mencoba menemukan damai dari sekeping hati yang ia percaya, adalah pasangannya. Degup yang ia yakini, memompa hidupnya.
Masih terasa, bagaimana perih dirinya tadi melihat jarum tertancap di lengan si pria. Ketika darah masuk ke dalam syringe. Ketika ia nyerocos dengan kata-kata tak karuan. Ketika adegan demi adegan berkelebat, tayangan orang kesakitan. Bagaimana tega aku harus terus melihatmu begitu, Bang... dibatinnya saja kalimat itu. Merangkul badanmu sendiri dengan mulut terkatup rapat dan rahang mengencang? Aku ingin bilang, aku paham kenapa kamu sakit. Aku ingin bilang, aku sakit melihat kamu sakit. Namun bungkusan udara ini memberangus mulutku. Bisu.
.....
Suara pertama dalam setengah jam terakhir. Ia tahu prianya tidak benar-benar tidur.
”Kadang aku berpikir kita dilahirkan untuk jadi dua macam kepribadian. Satu menjadi yang diinginkan masyarakat, satunya lagi diri yang sejati. Sayang, yang terakhir ini justru sering dipaksa bersembunyi. Demi yang kau bilang tadi, Bang.. norma.. nilai... Sampai kapan kita menjadi pembohong besar bagi diri sendiri?”
”Haaah... kamu membuat ngantukku minggat,” mendekati wajah perempuannya, dibisikkan satu kalimat di telinganya. ” Lebih baik kita merdekakan saja diri kita dengan mendengar suara milik diri sejati,” Usai berkata sang pria melepaskan tubuh dari pelukan si perempuan, berdiri menuju meja kusam di sudut ruangan. Diambilnya sebungkus rokok yang hampir kadaluarsa, disulut tanpa sabar, menghisapnya dalam-dalam. Seketika bulatan demi bulatan asap menyembul dari hidung dan mulutnya. Belum habis, tapi batang isi tembakau itu dibuang ke lantai. Tangannya bergerak bimbang seperti ingin meraih tangan si perempuan, tapi ia urungkan niat itu.
”Kamu tahu, kita sedang belajar untuk itu,” diremasnya pundak perempuannya tiba-tiba. Ditatapnya tajam. ”Kita belajar! Meski jadi semacam buronan. Itu cuma bungkus. Dan bungkus bisa dipasangkan berupa apa saja, tergantung kemasan seperti apa yang diterima orang di luar sana. Aku nggak suka menjawab ini. Kita bukan barang dagangan. Makanan dalam kemasan. Sekali habis lalu dibuang. Kurasa hatimu tahu. Seperti hatiku pun tahu. Kalau malam ini kita memutuskan ada terus bersama, itu bukan berarti kita tidak tahu bagaimana menangani kesendirian. Aku tidak bersamamu hanya karena enggan sendiri!!!”
Hening beberapa lama. Perempuannya terisak memeluk lutut. Nyeri yang tadi menjalar kini bertambah, dengan hadirnya pilu. Sakitnya berjuta kali lipat dari sekadar waktu nagih.
Sang Pria menoleh sesaat. ”Aku memutuskan bersamamu karena keutuhanku tercermin, bukan karena takut sepi”, gumpalan emosi itu dimuntahkannya dengan meninju tembok. ”Haaahhh!!!”
Perempuannya berdiri dan berlari. Direngkuh prianya dari belakang. Dibalikkannya tubuh itu perlahan. Ia eratkan lagi rengkuhannya dari yang tadi. Meresapi desiran dan aroma napas meski tak wangi. Udara yang menghidupi mereka berdua. ”Rasakan Bang.. ”bisiknya lagi dalam hati. ”Panas tubuh kita berdua mencairkan yang sudah beku bertahun-tahun. Hatiku juga tahu, seperti hatimu tahu. Nadi kita mendenyutkan pesan-pesan yang sudah menanti untuk bersuara. Sakit kita tak terobati. Dan bukan untuk diobati.”
Berangsur, tubuh mereka tenang. Napas yang memburu jadi pelahan. Urat dan otot yang tadinya tegang pun lemas.
Dikecupnya kening Sang Pria dengan takzim. ”Aku sudah tahu jawabannya, Bang.. Nilai, norma, adalah harga yang harus dibayar untuk menebus surga”.
Direngkuhnya sungguh-sungguh, dihapusnya air mata si perempuan dengan punggung jarinya. Diucapkannya satu prasasti lisan dengan tekanan tak biasa, “Aku mencintaimu, lebih dari surga itu”….
***
Seseorang yang tinggal di rumah seberang terkesiap. Dari balik tirai ia melihat, rumah yang disekap pengap itu memendarkan cahaya. Menembus langit hitam, yang sebentar lagi terang dijemput azan. (080809)
Rabu, 05 Agustus 2009
G30S PKI, Siapa yang Takut
Bagian 2
Lagu Ambon meluncur dari kaset yang diputar di tape mobil. Perjalanan lancar karena hampir tidak ada kendaraan yang masih melintas di Namlea malam itu. Sekitar setengah sepuluh malam waktu setempat, kami check in di hotel, kami dapat kamar di lantai dua dari tiga lantai hotel.
Hotel itu adalah hotel terbaik di Namlea, posisinya di atas bukit. Dari halaman depan hotel kita dapat melihat kota dan teluk Namlea. Rumput halaman hotel mengering kecoklatan, beberapa tanaman juga tampak kurang subur karena terlihat sering kekurangan air.
Aku dan Puncak naik ke kamar dan meletakkan barang-barang bawaan. Baru saja hendak melangkah ke kamar mandi, telepon di kamar berdering, “Hallo…”, terdengar sahutan di seberang telepon “Selamat malam… ini bapak Alam dari Jakarta?”. “Ya, benar”, “Begini pak, kami ingin ketemu bapak, kami di Lobby”. Merasa aku tidak punya teman di Pulau Buru dengan cepat aku menukas, “Saya bicara dengan siapa? Saya tidak kenal orang dari sini, saya baru saja datang”. “Kita ketemu saja pak di Lobby”, pintanya separuh memaksa. “Saya tidak akan menemui orang yang saya tidak kenal, bapak dari mana?”. “Nanti saya jelaskan pak, waktu kita ketemu di bawah”, “Bapak siapa?” tanyaku agak memaksa. Setelah agak lama tarik ulur, orang di seberang telepon mengaku dia berasal dari Kodim 1506 Namlea. “Ok, saya akan turun, tapi tunggu dulu saya mau mandi”.
Aku keluar kamar dan mengendap-endap di tangga, kulihat ada dua orang sedang ngobrol di coffee shop hotel di dekat lobby. Potongannya yang satu orang berbadan tinggi besar tegap dengan rambut cepak, satu lagi berperawakan kecil tapi terlihat sangat tangkas, gerakannya cepat. Aku segera naik lagi ke kamar, aku bicara kepada Puncak, bahwa ada dua orang yang ingin ketemu kita. “Biarin aja, mereka nunggu lama..biar mereka bosen dulu, hehehe”.
Setelah kurang lebih setengah jam, aku dan Puncak menemui mereka di coffee shop dekat lobby. Mereka menyambut dengan senyum, “Malam pak, baru datang?”. Ah… basa-basi yang basi pikirku dalam hati, toh mereka sudah mengintili kami sejak sore tadi. “Ya, saya Alam dan ini teman saya Puncak… abang siapa?”, “Oh, saya Panser dan ini Kemis”, balas si tinggi besar. “Siapa tadi.. Panser?”, “Iya Panser bang…”. Hhhhm.. pasti nama samaran yang dibuat sekeren-kerennya.
Pembicaraan awalnya berlangsung sangat berjarak, mereka menyatakan niatnya untuk meminta kami bertemu dengan Komandan Kodim mereka besok pagi. Awalnya aku keberatan karena tidak ada urusannya dengan liputan ini dengan perijinan Dandim. “Ah, … jangan disalahartikan, pak komandan kita hanya pengen tahu maksud kedatangan abang ke sini, siapa tahu perlu bantuan atau apa…”. Aku mengalihkan pembicaraan dengan menggali informasi pada si Panser ini, “Abang namanya pasti bukan Panser, nggak ada orang yang namanya kayak gitu”. Pancingku sekenannya. Setelah berputar-putar cerita termasuk asal-usul tanah kelahirannya di Ambon, akhirnya Panser menyebut namanya adalah Ahmad Sangadji, berpangkat Letnan TNI. Temannya adalah Sersan Dua Kemis. Mendengar namanya aku jadi teringat peristiwa kerusuhan Ambon dulu, “Kenal dengan Usman Sangadji, pengusaha yang tinggal di Batu Merah, Ambon?”, “Oh, itu paman saya”. Akhirnya kami bercerita tentang konflik Ambon dan bagaimana pamannya pernah membantu meminjami aku mobil karena pada satu saat tidak ada kendaraan yang berani keluar rumah, termasuk sopir yang berani membawa kendaraannya pada malam hari. Suasana mencair, aku mulai percaya bahwa si Panser dan Kemis benar adalah orang dari Kodim Namlea.
“Begini bang, kami ke sini mau liputan… dulu waktu kerusuhan Ambon oom abang, Sangaji, membantu saya di sana… nah sekarang saya ketemu abang,… jadi jangan sampai oom abang bantu saya, tapi di sini keponakannya bikin susah saya”. Si Panser ketawa ngakak sambil menepuk bahuku, “Enggak mungkinlah bang, kita akan berteman”… Let’s see pikirku.
Lalu kami berjanji untuk ke Kodim besok jam 7 pagi setelah apel. “Besok kami jemput ke hotel bang”, kata Panser. “Oh, nggak terimakasih kita berangkat sendiri aja… kami pasti datang kok”.
Bersambung...
Lagu Ambon meluncur dari kaset yang diputar di tape mobil. Perjalanan lancar karena hampir tidak ada kendaraan yang masih melintas di Namlea malam itu. Sekitar setengah sepuluh malam waktu setempat, kami check in di hotel, kami dapat kamar di lantai dua dari tiga lantai hotel.
Hotel itu adalah hotel terbaik di Namlea, posisinya di atas bukit. Dari halaman depan hotel kita dapat melihat kota dan teluk Namlea. Rumput halaman hotel mengering kecoklatan, beberapa tanaman juga tampak kurang subur karena terlihat sering kekurangan air.
Aku dan Puncak naik ke kamar dan meletakkan barang-barang bawaan. Baru saja hendak melangkah ke kamar mandi, telepon di kamar berdering, “Hallo…”, terdengar sahutan di seberang telepon “Selamat malam… ini bapak Alam dari Jakarta?”. “Ya, benar”, “Begini pak, kami ingin ketemu bapak, kami di Lobby”. Merasa aku tidak punya teman di Pulau Buru dengan cepat aku menukas, “Saya bicara dengan siapa? Saya tidak kenal orang dari sini, saya baru saja datang”. “Kita ketemu saja pak di Lobby”, pintanya separuh memaksa. “Saya tidak akan menemui orang yang saya tidak kenal, bapak dari mana?”. “Nanti saya jelaskan pak, waktu kita ketemu di bawah”, “Bapak siapa?” tanyaku agak memaksa. Setelah agak lama tarik ulur, orang di seberang telepon mengaku dia berasal dari Kodim 1506 Namlea. “Ok, saya akan turun, tapi tunggu dulu saya mau mandi”.
Aku keluar kamar dan mengendap-endap di tangga, kulihat ada dua orang sedang ngobrol di coffee shop hotel di dekat lobby. Potongannya yang satu orang berbadan tinggi besar tegap dengan rambut cepak, satu lagi berperawakan kecil tapi terlihat sangat tangkas, gerakannya cepat. Aku segera naik lagi ke kamar, aku bicara kepada Puncak, bahwa ada dua orang yang ingin ketemu kita. “Biarin aja, mereka nunggu lama..biar mereka bosen dulu, hehehe”.
Setelah kurang lebih setengah jam, aku dan Puncak menemui mereka di coffee shop dekat lobby. Mereka menyambut dengan senyum, “Malam pak, baru datang?”. Ah… basa-basi yang basi pikirku dalam hati, toh mereka sudah mengintili kami sejak sore tadi. “Ya, saya Alam dan ini teman saya Puncak… abang siapa?”, “Oh, saya Panser dan ini Kemis”, balas si tinggi besar. “Siapa tadi.. Panser?”, “Iya Panser bang…”. Hhhhm.. pasti nama samaran yang dibuat sekeren-kerennya.
Pembicaraan awalnya berlangsung sangat berjarak, mereka menyatakan niatnya untuk meminta kami bertemu dengan Komandan Kodim mereka besok pagi. Awalnya aku keberatan karena tidak ada urusannya dengan liputan ini dengan perijinan Dandim. “Ah, … jangan disalahartikan, pak komandan kita hanya pengen tahu maksud kedatangan abang ke sini, siapa tahu perlu bantuan atau apa…”. Aku mengalihkan pembicaraan dengan menggali informasi pada si Panser ini, “Abang namanya pasti bukan Panser, nggak ada orang yang namanya kayak gitu”. Pancingku sekenannya. Setelah berputar-putar cerita termasuk asal-usul tanah kelahirannya di Ambon, akhirnya Panser menyebut namanya adalah Ahmad Sangadji, berpangkat Letnan TNI. Temannya adalah Sersan Dua Kemis. Mendengar namanya aku jadi teringat peristiwa kerusuhan Ambon dulu, “Kenal dengan Usman Sangadji, pengusaha yang tinggal di Batu Merah, Ambon?”, “Oh, itu paman saya”. Akhirnya kami bercerita tentang konflik Ambon dan bagaimana pamannya pernah membantu meminjami aku mobil karena pada satu saat tidak ada kendaraan yang berani keluar rumah, termasuk sopir yang berani membawa kendaraannya pada malam hari. Suasana mencair, aku mulai percaya bahwa si Panser dan Kemis benar adalah orang dari Kodim Namlea.
“Begini bang, kami ke sini mau liputan… dulu waktu kerusuhan Ambon oom abang, Sangaji, membantu saya di sana… nah sekarang saya ketemu abang,… jadi jangan sampai oom abang bantu saya, tapi di sini keponakannya bikin susah saya”. Si Panser ketawa ngakak sambil menepuk bahuku, “Enggak mungkinlah bang, kita akan berteman”… Let’s see pikirku.
Lalu kami berjanji untuk ke Kodim besok jam 7 pagi setelah apel. “Besok kami jemput ke hotel bang”, kata Panser. “Oh, nggak terimakasih kita berangkat sendiri aja… kami pasti datang kok”.
Bersambung...
Minggu, 02 Agustus 2009
G30S PKI, Siapa yang takut?
Bagian 1
Bulan Agustus 2006, terpikir untuk membuat sebuah dokumenter tentang perjalanan mantan LEKRA yang di penjara di Pulau Buru, Maluku. Aku bernafsu untuk melihat bagaimana camp penahanan para Tapol dan Napol.
Seminggu sebelum keberangkatan aku merancang program, salah satu bagiannya aku mengajak pelukis Gumelar Demokrasno, seorang mantan anggota LEKRA, untuk turut dalam peliputan. Pak Gum menyambut gembira, “Sudah 27 tahun saya nggak kesana mas Alam, nggak berani”. “Ok pak, nanti dari awal perjalanan kita akan mengambil gambar bapak menuju kesana ya…”, “Ah, mas Alam atur aja dech…” Pak Gum sumringah.
Dua hari sebelum berangkat Pak Gum menelpon, “Mas, Mbak Astuti pengen ikut…. Itu loh mas, anaknya pak Pramoedya… dia pengen banget ikut kita, tapi waktunya nggak bisa sama dengan kita, mungkin nggak kalo kita mundurkan rencananya sekitar satu minggu”. “Wah menarik pak, tapi yaah… maaf banget kita terbentur jadwal penayangan yang ngak bisa mundur lagi… atau mbak Astutinya aja yang menyesuaikan lagi”, “Waduh, wes nggak iso mas… duh sayang ya…”.
Akhirnya kami berangkat bertiga, Aku, kamerawan Puncak Komara dan Pak Gum. Pak Gum kelihatan semangat walau mengaku agak sakit, tapi sakitnya hilang begitu akan berangkat ke Pulau Buru. Transit di Makassar pak Gum sudah mengeluarkan minyak anginnya, tapi senyumnya bersemangat di usianya yang hampir tujuh puluh tahun. “Sakit pak?” tanyaku, Puncak mendekat, jarang bicara kamerawan ini, tapi perhatiannya ke Pak Gum sungguh-sungguh. “Nggak apa mas…” balas Pak Gum.
Akhirnya pesawat mendarat di Ambon, kami lalu menuju hotel Amans, kamarnya cukup besar untuk bertiga. Pak Gum langsung melepas sepatu, berganti baju dan ijin istirahat tidur sebentar. Kami lalu meninggalkan Pak Gum di hotel untuk jalan-jalan di Ambon.
Keesokannya kami berangkat sore menggunakan Ferry ke Pulau Buru, ombak masih tinggi pada saat itu. Di atas Ferry penumpang penuh, karena ombak besar kami menyiapkan pelampung di dekat kami masing-masing, apalagi baru kemarin sore sebuah kapal perahu karet terguling dihempas ombak dan tiga orang meninggal dari peristiwa itu. Setelah separuh perjalanan, kami sudah mulai terbiasa dengan hempasan ombak.
Sekitar satu setengah jam perjalanan, sampailah kami ke pelabuhan Namlea Pulau Buru. Kami dijemput Aji dengan mobil panthernya, mobil ini sudah aku pesan sebelumnya. Aji direkomendasikan oleh temannku Saleh Tianotak yang tinggal di Ambon.
Kami tidak langsung ke Hotel, karena Pak Gum dijemput dengan enam orang temannya sesama alumni camp tahanan Tapol Napol Savanah Jaya Pulau Buru. Kami lalu menuju sebuah rumah pak Karno di kawasan Namlea, sebagian bergabung dengan mobil kami sebagian naik motor dan menjadi pemandu jalan…. Yeah… cool.
Sampai di rumah pak Karno, di sana sudah ada sebelas orang lain, Pak Gum disambut peluk cium, rasa sakit Pak Gum sontak hilang dan kegembiraannya meluap-luap, aku dan Puncak menonton mereka yang sedang reuni. Minuman yang disajikan adalah air susu putih hangat, wow… sajian yang jarang ditemui sepertinya itu adalah minuman terbaik waktu mereka tinggal di camp dulu. Mereka ngobrol mengelilingi sebuah meja makan persegi empat yang panjang. Aku bercanda dengan berbisik ke Puncak, “Cak, rapat PKI nih, hehehe…”, Puncak senyum-senyum aja. Kami lalu pamit keluar agar melihat situasi Namlea dan suasana di sekitar rumah.
Aji nampak tegang, dia memilih sebuah warung di seberang jalan agak jauh dari rumah Pak Karno, dia nggak mau masuk. Sadar dengan ketegangan Aji aku menyela, “Ada apa Ji?”, “Oh, nggak ada apa-apa bang…”, “Sudahlah muka kamu ketakutan…”, “Wah nggak takutlah bang, tapi kita itu diikuti dua orang intel sejak dari pelabuhan tadi, mereka sedang ada di warung sana memantau kita” kata Aji sambil memonyongkan mulutnya menunjuk warung, dia tidak menggunakan tangan… aha, pasti Aji khawatir gerakannya terbaca di intel-intel itu. “Kok kamu tahu mereka intel?”, Aji yang juga kontributor lepas untuk TV menjawab lugas,”Yah, tahulah bang, berapa besar sih Namlea ini”. Namlea adalah ibukota kabupaten Pulau Buru.“Aku samperi ya Ji…”, “eh.. eh.. eh bang, jangan biarin aja”, cegah Aji. “Terus kita ngapain?”, “Biarin ajalah, nanti kita tinggalin aja si intel itu”.
Kira-kira satu jam aku masuk kembali ke rumah Pak Karno, suasana masih riuh rendah, aku ajak Pak Gum untuk menuju hotel, tapi Pak Gum menolak, “Mas Alam, saya tinggal di sini aja ya, masih pengen kangen-kangenan dengan teman-teman”. Akhirnya kami meninggalkan Pak Gum di rumah Pak Karno dan sebelumnya meminta nomor HP yang bisa dihubungi, dan diberilah nomor HP putrinya Pak Karno. Kami lalu pamit.
Bersambung dulu ya…
Bulan Agustus 2006, terpikir untuk membuat sebuah dokumenter tentang perjalanan mantan LEKRA yang di penjara di Pulau Buru, Maluku. Aku bernafsu untuk melihat bagaimana camp penahanan para Tapol dan Napol.
Seminggu sebelum keberangkatan aku merancang program, salah satu bagiannya aku mengajak pelukis Gumelar Demokrasno, seorang mantan anggota LEKRA, untuk turut dalam peliputan. Pak Gum menyambut gembira, “Sudah 27 tahun saya nggak kesana mas Alam, nggak berani”. “Ok pak, nanti dari awal perjalanan kita akan mengambil gambar bapak menuju kesana ya…”, “Ah, mas Alam atur aja dech…” Pak Gum sumringah.
Dua hari sebelum berangkat Pak Gum menelpon, “Mas, Mbak Astuti pengen ikut…. Itu loh mas, anaknya pak Pramoedya… dia pengen banget ikut kita, tapi waktunya nggak bisa sama dengan kita, mungkin nggak kalo kita mundurkan rencananya sekitar satu minggu”. “Wah menarik pak, tapi yaah… maaf banget kita terbentur jadwal penayangan yang ngak bisa mundur lagi… atau mbak Astutinya aja yang menyesuaikan lagi”, “Waduh, wes nggak iso mas… duh sayang ya…”.
Akhirnya kami berangkat bertiga, Aku, kamerawan Puncak Komara dan Pak Gum. Pak Gum kelihatan semangat walau mengaku agak sakit, tapi sakitnya hilang begitu akan berangkat ke Pulau Buru. Transit di Makassar pak Gum sudah mengeluarkan minyak anginnya, tapi senyumnya bersemangat di usianya yang hampir tujuh puluh tahun. “Sakit pak?” tanyaku, Puncak mendekat, jarang bicara kamerawan ini, tapi perhatiannya ke Pak Gum sungguh-sungguh. “Nggak apa mas…” balas Pak Gum.
Akhirnya pesawat mendarat di Ambon, kami lalu menuju hotel Amans, kamarnya cukup besar untuk bertiga. Pak Gum langsung melepas sepatu, berganti baju dan ijin istirahat tidur sebentar. Kami lalu meninggalkan Pak Gum di hotel untuk jalan-jalan di Ambon.
Keesokannya kami berangkat sore menggunakan Ferry ke Pulau Buru, ombak masih tinggi pada saat itu. Di atas Ferry penumpang penuh, karena ombak besar kami menyiapkan pelampung di dekat kami masing-masing, apalagi baru kemarin sore sebuah kapal perahu karet terguling dihempas ombak dan tiga orang meninggal dari peristiwa itu. Setelah separuh perjalanan, kami sudah mulai terbiasa dengan hempasan ombak.
Sekitar satu setengah jam perjalanan, sampailah kami ke pelabuhan Namlea Pulau Buru. Kami dijemput Aji dengan mobil panthernya, mobil ini sudah aku pesan sebelumnya. Aji direkomendasikan oleh temannku Saleh Tianotak yang tinggal di Ambon.
Kami tidak langsung ke Hotel, karena Pak Gum dijemput dengan enam orang temannya sesama alumni camp tahanan Tapol Napol Savanah Jaya Pulau Buru. Kami lalu menuju sebuah rumah pak Karno di kawasan Namlea, sebagian bergabung dengan mobil kami sebagian naik motor dan menjadi pemandu jalan…. Yeah… cool.
Sampai di rumah pak Karno, di sana sudah ada sebelas orang lain, Pak Gum disambut peluk cium, rasa sakit Pak Gum sontak hilang dan kegembiraannya meluap-luap, aku dan Puncak menonton mereka yang sedang reuni. Minuman yang disajikan adalah air susu putih hangat, wow… sajian yang jarang ditemui sepertinya itu adalah minuman terbaik waktu mereka tinggal di camp dulu. Mereka ngobrol mengelilingi sebuah meja makan persegi empat yang panjang. Aku bercanda dengan berbisik ke Puncak, “Cak, rapat PKI nih, hehehe…”, Puncak senyum-senyum aja. Kami lalu pamit keluar agar melihat situasi Namlea dan suasana di sekitar rumah.
Aji nampak tegang, dia memilih sebuah warung di seberang jalan agak jauh dari rumah Pak Karno, dia nggak mau masuk. Sadar dengan ketegangan Aji aku menyela, “Ada apa Ji?”, “Oh, nggak ada apa-apa bang…”, “Sudahlah muka kamu ketakutan…”, “Wah nggak takutlah bang, tapi kita itu diikuti dua orang intel sejak dari pelabuhan tadi, mereka sedang ada di warung sana memantau kita” kata Aji sambil memonyongkan mulutnya menunjuk warung, dia tidak menggunakan tangan… aha, pasti Aji khawatir gerakannya terbaca di intel-intel itu. “Kok kamu tahu mereka intel?”, Aji yang juga kontributor lepas untuk TV menjawab lugas,”Yah, tahulah bang, berapa besar sih Namlea ini”. Namlea adalah ibukota kabupaten Pulau Buru.“Aku samperi ya Ji…”, “eh.. eh.. eh bang, jangan biarin aja”, cegah Aji. “Terus kita ngapain?”, “Biarin ajalah, nanti kita tinggalin aja si intel itu”.
Kira-kira satu jam aku masuk kembali ke rumah Pak Karno, suasana masih riuh rendah, aku ajak Pak Gum untuk menuju hotel, tapi Pak Gum menolak, “Mas Alam, saya tinggal di sini aja ya, masih pengen kangen-kangenan dengan teman-teman”. Akhirnya kami meninggalkan Pak Gum di rumah Pak Karno dan sebelumnya meminta nomor HP yang bisa dihubungi, dan diberilah nomor HP putrinya Pak Karno. Kami lalu pamit.
Bersambung dulu ya…
Sejati Cinta Drug-Dealers (Fiksi)
Dikepulkannya asap putih itu bulat-bulat di ruang sempit berventilasi minim. Pengab ruangan menjadi pekat. Dibakarnya lagi pantat alumunium foil yang sudah dibentuk menyerupai saluran parit, bentuknya kecil kurus seperti lidi. Butir bening seperti butiran kristal menguap, dengan cepat uapnya ditarik dengan alat hisab, bong, yang dibuatnya sendiri dari botol kaca bekas minuman kesehatan.
“Huuh… andai saja…” tak ada kelanjutan kalimatnya yang keluar berkejaran dengan kepul asap dari mulut dan hidungnya.
Perempuanya masuk ke ruangan, dikipaskanya tangan mengusir bau asap, tapi lima detik kemudian dia telah terbiasa dengan asapnya. Digenggamnya tangan sang drug-dealer, “Apa yang andai saja…?”, sang pria berbisik “Mengapa hubungan tak bisa selancar orang yang saling mencinta?,… andai saja”.
Diraihnya bong dari tangan sang pria, dengan cepat sang pria mengambil sedotan plastik yag dipotong meruncing dan menyendokkannya ke serbuk putih. Dituangkannya ke dalam lintingan alumunium foil. Korek kecil yang sudah dibuat sedemikian rupa sehingga apinya kecil dan biru merata segera membakar pantat lintingan alumunium, uapnya disambut sang perempuannya, lagi dan lagi.
Kini keduanya merasakan kenikmatan yang sama, rasa nyaman yang sama, damai yang sama… tapi tak bisa dibagi ke orang lain.
Aroma cinta membekap mereka dalam ruangan sempit, sebuah rumah dengan tanah kosong di samping dan belakangnya. Di ruang-ruang rumah itulah cinta itu bisa bebas berkeliaran, mengambang, hinggap dan bersemayam. Cintanya tak bisa berlari jauh dari sepotong tempat itu, bahkan untuk menunjukkan cintanya pun di tempat lain mereka jengah pada mata-mata yang memandang penuh curiga.
Si pria dengan pelan berkata, “Itulah cinta kita…cinta seperti pedagang narkoba yang sedang menikmati barang haram dagangannya, apa yang kamu rasa?”, “Aku merasa cinta itu bertahun-tahun bersemayam, dan saat cinta menemukan medianya aku mendapati semuanya menjadi tak lagi wajar”.
“Kamu tahu beda antara norma dan nilai?”, “Hah… kamu selalu bertanya, sudahlah… kamu saja yang cerita tanpa bertanya, aku sedang menikmati desiran bau nafasmu”. “Setiap pribadi punya pandangannya sendiri-sendiri, latar belakang, dimana dia dibesarkan, pendidikan dan lain-lain… singkatnya itulah yang dinamakan nilai, sedangkan norma adalah nilai yang diyakini kebenarannya di masyarakat. Nah… norma inilah yang menjadi pembatas orang untuk menilai apakah seseorang lain wajar atau tidak…”.
Perempuan itu terlihat memaknai dan kemudian berkelebat menarik kepalanya yang tersandar di dada sang pria. Ditatapnya tajam, matanya memancarkan berjuta pertanyaanya, matanya yang memancarkan berjuta kecerdasan, dari bibirnya meluncur pertanyaan, “Mengapa ada norma, kalau itu menjadikan seseorang tidak bahagia…?”. Itu bukan pertanyaan yang meluncur dari orang biasa, pertanyaan itu hanya meluncur dari mulut yang disaluri energi otak yang sangat besar.
Sang pria menarik kakinya yang tadinya berselonjor, satu tarikan nafas mengantarkan kalimatnya, “Norma itu, akan berbeda-beda tergantung di ruang mana dia berada. Tidak ada yang bisa sama. Coba bayangkan apakah memanggil nama pada orang yang lebih tua bisa diterima dalam tatanan norma kita? Itu salah satu contoh bahwa norma itu bisa berbeda. Apa yang berlaku universal?, hanyalah cinta. Semua kebenaran berasal dari cinta”.
“Apa itu cinta?” tukas sang perempuannya, “Cinta itu seperti udara, setiap saat kita menerima kehadirannya, tapi tidak semua menghormati kebaikan udara. Hanyalah orang yang benar-benar mencinta akan merasakan getar cinta seperi dia menghormati kehadiran udara”.
“Bisakah kita menghindari cinta, kalau itu hanya membuat kita dikucilkan karena melanggar norma, bang?”,… mendekati perempuannya, menatap tajam ke dalam matanya, “Bisakah engkau berhenti menghirup udara?”.
Usai berkata sang pria meninggalkan perempuannya keluar ruangan, sebentar kemudian sebuah syringe dan putaw, serbuk putih ampas heroin ada di genggamnya. Diikat lenganya dengan karet ukuran pita dengan satu tangan dan bantuan mulutya. Perempuannya membuang muka berpaling dari jarum yang sebentar lagi akan tertancap di lengan sang prianya.
Pumping, darah masuk ke dalam syringe, ditekannya sekali dengan jarum suntik tetap tertancap di lengannya. Pikirannya meninggi “Benda ini memang terlarang, tapi mengapa cintaku mesti pula ikut-ikutan terlarang…” nyerocos dengan kata-kata yang tak keruan, setiap lima menit jarum suntik ditekan semakin dalam, hingga tabungnya tak lagi berisi cairan darah yang telah bercampur dengan putaw.
“Aku benci kamu memakai etep itu, huuh… tapi cintaku tidak pergi dengan masuknya etep ke tubuhmu”, dipeluknya dengan sungguh-sungguh, dihapusnya peluh di dahi sang pria dengan lengan bajunya.“Aku mencintaimu lebih dari norma itu”….
***
Lamat-lamat dari TV yang sedari tadi menyala terdengar lagu khas anak ABG dari sebuah band baru, tanpa sadar mereka saling menatap dan kemudian tertawa ngakak bersama-sama. Lagu tadi membuyarkan lamunan tentang cinta mereka yang seperti pecandu narkoba, membungkam obrolan halusinasi candu cinta yang sedang bermasalah.
“Tapi jangan pernah bilang itu tidak mungkin, semua sudah terlambat… aku nggak suka mendengarnya”. Malam mencungkupi markas itu.
inspired by MRSPPY...
“Huuh… andai saja…” tak ada kelanjutan kalimatnya yang keluar berkejaran dengan kepul asap dari mulut dan hidungnya.
Perempuanya masuk ke ruangan, dikipaskanya tangan mengusir bau asap, tapi lima detik kemudian dia telah terbiasa dengan asapnya. Digenggamnya tangan sang drug-dealer, “Apa yang andai saja…?”, sang pria berbisik “Mengapa hubungan tak bisa selancar orang yang saling mencinta?,… andai saja”.
Diraihnya bong dari tangan sang pria, dengan cepat sang pria mengambil sedotan plastik yag dipotong meruncing dan menyendokkannya ke serbuk putih. Dituangkannya ke dalam lintingan alumunium foil. Korek kecil yang sudah dibuat sedemikian rupa sehingga apinya kecil dan biru merata segera membakar pantat lintingan alumunium, uapnya disambut sang perempuannya, lagi dan lagi.
Kini keduanya merasakan kenikmatan yang sama, rasa nyaman yang sama, damai yang sama… tapi tak bisa dibagi ke orang lain.
Aroma cinta membekap mereka dalam ruangan sempit, sebuah rumah dengan tanah kosong di samping dan belakangnya. Di ruang-ruang rumah itulah cinta itu bisa bebas berkeliaran, mengambang, hinggap dan bersemayam. Cintanya tak bisa berlari jauh dari sepotong tempat itu, bahkan untuk menunjukkan cintanya pun di tempat lain mereka jengah pada mata-mata yang memandang penuh curiga.
Si pria dengan pelan berkata, “Itulah cinta kita…cinta seperti pedagang narkoba yang sedang menikmati barang haram dagangannya, apa yang kamu rasa?”, “Aku merasa cinta itu bertahun-tahun bersemayam, dan saat cinta menemukan medianya aku mendapati semuanya menjadi tak lagi wajar”.
“Kamu tahu beda antara norma dan nilai?”, “Hah… kamu selalu bertanya, sudahlah… kamu saja yang cerita tanpa bertanya, aku sedang menikmati desiran bau nafasmu”. “Setiap pribadi punya pandangannya sendiri-sendiri, latar belakang, dimana dia dibesarkan, pendidikan dan lain-lain… singkatnya itulah yang dinamakan nilai, sedangkan norma adalah nilai yang diyakini kebenarannya di masyarakat. Nah… norma inilah yang menjadi pembatas orang untuk menilai apakah seseorang lain wajar atau tidak…”.
Perempuan itu terlihat memaknai dan kemudian berkelebat menarik kepalanya yang tersandar di dada sang pria. Ditatapnya tajam, matanya memancarkan berjuta pertanyaanya, matanya yang memancarkan berjuta kecerdasan, dari bibirnya meluncur pertanyaan, “Mengapa ada norma, kalau itu menjadikan seseorang tidak bahagia…?”. Itu bukan pertanyaan yang meluncur dari orang biasa, pertanyaan itu hanya meluncur dari mulut yang disaluri energi otak yang sangat besar.
Sang pria menarik kakinya yang tadinya berselonjor, satu tarikan nafas mengantarkan kalimatnya, “Norma itu, akan berbeda-beda tergantung di ruang mana dia berada. Tidak ada yang bisa sama. Coba bayangkan apakah memanggil nama pada orang yang lebih tua bisa diterima dalam tatanan norma kita? Itu salah satu contoh bahwa norma itu bisa berbeda. Apa yang berlaku universal?, hanyalah cinta. Semua kebenaran berasal dari cinta”.
“Apa itu cinta?” tukas sang perempuannya, “Cinta itu seperti udara, setiap saat kita menerima kehadirannya, tapi tidak semua menghormati kebaikan udara. Hanyalah orang yang benar-benar mencinta akan merasakan getar cinta seperi dia menghormati kehadiran udara”.
“Bisakah kita menghindari cinta, kalau itu hanya membuat kita dikucilkan karena melanggar norma, bang?”,… mendekati perempuannya, menatap tajam ke dalam matanya, “Bisakah engkau berhenti menghirup udara?”.
Usai berkata sang pria meninggalkan perempuannya keluar ruangan, sebentar kemudian sebuah syringe dan putaw, serbuk putih ampas heroin ada di genggamnya. Diikat lenganya dengan karet ukuran pita dengan satu tangan dan bantuan mulutya. Perempuannya membuang muka berpaling dari jarum yang sebentar lagi akan tertancap di lengan sang prianya.
Pumping, darah masuk ke dalam syringe, ditekannya sekali dengan jarum suntik tetap tertancap di lengannya. Pikirannya meninggi “Benda ini memang terlarang, tapi mengapa cintaku mesti pula ikut-ikutan terlarang…” nyerocos dengan kata-kata yang tak keruan, setiap lima menit jarum suntik ditekan semakin dalam, hingga tabungnya tak lagi berisi cairan darah yang telah bercampur dengan putaw.
“Aku benci kamu memakai etep itu, huuh… tapi cintaku tidak pergi dengan masuknya etep ke tubuhmu”, dipeluknya dengan sungguh-sungguh, dihapusnya peluh di dahi sang pria dengan lengan bajunya.“Aku mencintaimu lebih dari norma itu”….
***
Lamat-lamat dari TV yang sedari tadi menyala terdengar lagu khas anak ABG dari sebuah band baru, tanpa sadar mereka saling menatap dan kemudian tertawa ngakak bersama-sama. Lagu tadi membuyarkan lamunan tentang cinta mereka yang seperti pecandu narkoba, membungkam obrolan halusinasi candu cinta yang sedang bermasalah.
“Tapi jangan pernah bilang itu tidak mungkin, semua sudah terlambat… aku nggak suka mendengarnya”. Malam mencungkupi markas itu.
inspired by MRSPPY...
Langganan:
Postingan (Atom)
TEROR DI MANHATTAN, 31 OKTOBER 2017
TEROR DI MANHATTAN, 31 OKTOBER 2017 Oleh: Alam Burhanan Virginia, USA Mendengar kabar ada serangan yang mematikan, mende...
-
17 Agustus 2009, hari ini, aku bebas merdeka,… seharusnya ada acara wajib, upacara 17-an pukul 6.30 pagi di kantor, tapi aku dengan kemerdek...
-
1 of 3 2 of 3 3 of 3 Ini adalah Episode program Telisik di ANTV dengan judul Bisnis Narkoba di Dalam Penjara. Episode ini diputar pada Agust...
-
HANTU FENOMENAL DI KBRI WASHINGTON DC Oleh: Alam Burhanan Di Virginia, AS “Mas, tadi malam saya denger main pianonya bagus sekali”...