Bagian 1
Bulan Agustus 2006, terpikir untuk membuat sebuah dokumenter tentang perjalanan mantan LEKRA yang di penjara di Pulau Buru, Maluku. Aku bernafsu untuk melihat bagaimana camp penahanan para Tapol dan Napol.
Seminggu sebelum keberangkatan aku merancang program, salah satu bagiannya aku mengajak pelukis Gumelar Demokrasno, seorang mantan anggota LEKRA, untuk turut dalam peliputan. Pak Gum menyambut gembira, “Sudah 27 tahun saya nggak kesana mas Alam, nggak berani”. “Ok pak, nanti dari awal perjalanan kita akan mengambil gambar bapak menuju kesana ya…”, “Ah, mas Alam atur aja dech…” Pak Gum sumringah.
Dua hari sebelum berangkat Pak Gum menelpon, “Mas, Mbak Astuti pengen ikut…. Itu loh mas, anaknya pak Pramoedya… dia pengen banget ikut kita, tapi waktunya nggak bisa sama dengan kita, mungkin nggak kalo kita mundurkan rencananya sekitar satu minggu”. “Wah menarik pak, tapi yaah… maaf banget kita terbentur jadwal penayangan yang ngak bisa mundur lagi… atau mbak Astutinya aja yang menyesuaikan lagi”, “Waduh, wes nggak iso mas… duh sayang ya…”.
Akhirnya kami berangkat bertiga, Aku, kamerawan Puncak Komara dan Pak Gum. Pak Gum kelihatan semangat walau mengaku agak sakit, tapi sakitnya hilang begitu akan berangkat ke Pulau Buru. Transit di Makassar pak Gum sudah mengeluarkan minyak anginnya, tapi senyumnya bersemangat di usianya yang hampir tujuh puluh tahun. “Sakit pak?” tanyaku, Puncak mendekat, jarang bicara kamerawan ini, tapi perhatiannya ke Pak Gum sungguh-sungguh. “Nggak apa mas…” balas Pak Gum.
Akhirnya pesawat mendarat di Ambon, kami lalu menuju hotel Amans, kamarnya cukup besar untuk bertiga. Pak Gum langsung melepas sepatu, berganti baju dan ijin istirahat tidur sebentar. Kami lalu meninggalkan Pak Gum di hotel untuk jalan-jalan di Ambon.
Keesokannya kami berangkat sore menggunakan Ferry ke Pulau Buru, ombak masih tinggi pada saat itu. Di atas Ferry penumpang penuh, karena ombak besar kami menyiapkan pelampung di dekat kami masing-masing, apalagi baru kemarin sore sebuah kapal perahu karet terguling dihempas ombak dan tiga orang meninggal dari peristiwa itu. Setelah separuh perjalanan, kami sudah mulai terbiasa dengan hempasan ombak.
Sekitar satu setengah jam perjalanan, sampailah kami ke pelabuhan Namlea Pulau Buru. Kami dijemput Aji dengan mobil panthernya, mobil ini sudah aku pesan sebelumnya. Aji direkomendasikan oleh temannku Saleh Tianotak yang tinggal di Ambon.
Kami tidak langsung ke Hotel, karena Pak Gum dijemput dengan enam orang temannya sesama alumni camp tahanan Tapol Napol Savanah Jaya Pulau Buru. Kami lalu menuju sebuah rumah pak Karno di kawasan Namlea, sebagian bergabung dengan mobil kami sebagian naik motor dan menjadi pemandu jalan…. Yeah… cool.
Sampai di rumah pak Karno, di sana sudah ada sebelas orang lain, Pak Gum disambut peluk cium, rasa sakit Pak Gum sontak hilang dan kegembiraannya meluap-luap, aku dan Puncak menonton mereka yang sedang reuni. Minuman yang disajikan adalah air susu putih hangat, wow… sajian yang jarang ditemui sepertinya itu adalah minuman terbaik waktu mereka tinggal di camp dulu. Mereka ngobrol mengelilingi sebuah meja makan persegi empat yang panjang. Aku bercanda dengan berbisik ke Puncak, “Cak, rapat PKI nih, hehehe…”, Puncak senyum-senyum aja. Kami lalu pamit keluar agar melihat situasi Namlea dan suasana di sekitar rumah.
Aji nampak tegang, dia memilih sebuah warung di seberang jalan agak jauh dari rumah Pak Karno, dia nggak mau masuk. Sadar dengan ketegangan Aji aku menyela, “Ada apa Ji?”, “Oh, nggak ada apa-apa bang…”, “Sudahlah muka kamu ketakutan…”, “Wah nggak takutlah bang, tapi kita itu diikuti dua orang intel sejak dari pelabuhan tadi, mereka sedang ada di warung sana memantau kita” kata Aji sambil memonyongkan mulutnya menunjuk warung, dia tidak menggunakan tangan… aha, pasti Aji khawatir gerakannya terbaca di intel-intel itu. “Kok kamu tahu mereka intel?”, Aji yang juga kontributor lepas untuk TV menjawab lugas,”Yah, tahulah bang, berapa besar sih Namlea ini”. Namlea adalah ibukota kabupaten Pulau Buru.“Aku samperi ya Ji…”, “eh.. eh.. eh bang, jangan biarin aja”, cegah Aji. “Terus kita ngapain?”, “Biarin ajalah, nanti kita tinggalin aja si intel itu”.
Kira-kira satu jam aku masuk kembali ke rumah Pak Karno, suasana masih riuh rendah, aku ajak Pak Gum untuk menuju hotel, tapi Pak Gum menolak, “Mas Alam, saya tinggal di sini aja ya, masih pengen kangen-kangenan dengan teman-teman”. Akhirnya kami meninggalkan Pak Gum di rumah Pak Karno dan sebelumnya meminta nomor HP yang bisa dihubungi, dan diberilah nomor HP putrinya Pak Karno. Kami lalu pamit.
Bersambung dulu ya…
Almost everything we call "higher culture" is based on the spiritualization and intensification of cruelty- this is my proposition; the "wild beast" has not been laid to rest, it lives, it flourishes, it has merely become-deified.(Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, 1885).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
TEROR DI MANHATTAN, 31 OKTOBER 2017
TEROR DI MANHATTAN, 31 OKTOBER 2017 Oleh: Alam Burhanan Virginia, USA Mendengar kabar ada serangan yang mematikan, mende...
-
17 Agustus 2009, hari ini, aku bebas merdeka,… seharusnya ada acara wajib, upacara 17-an pukul 6.30 pagi di kantor, tapi aku dengan kemerdek...
-
1 of 3 2 of 3 3 of 3 Ini adalah Episode program Telisik di ANTV dengan judul Bisnis Narkoba di Dalam Penjara. Episode ini diputar pada Agust...
-
HANTU FENOMENAL DI KBRI WASHINGTON DC Oleh: Alam Burhanan Di Virginia, AS “Mas, tadi malam saya denger main pianonya bagus sekali”...
2 komentar:
jangan lama-lama ya nulis sambungannya
Weleh...weleh...lama gak liat blogmu lumayan banyak juga tulisannya:)Malah ada fansmu tuch yang udah gak tahan pengen liat sambungannya:)Lha yo wis digawe wae to:)Dah Kaisar.... :)
luv:aq
Posting Komentar