Bagian 2
Lagu Ambon meluncur dari kaset yang diputar di tape mobil. Perjalanan lancar karena hampir tidak ada kendaraan yang masih melintas di Namlea malam itu. Sekitar setengah sepuluh malam waktu setempat, kami check in di hotel, kami dapat kamar di lantai dua dari tiga lantai hotel.
Hotel itu adalah hotel terbaik di Namlea, posisinya di atas bukit. Dari halaman depan hotel kita dapat melihat kota dan teluk Namlea. Rumput halaman hotel mengering kecoklatan, beberapa tanaman juga tampak kurang subur karena terlihat sering kekurangan air.
Aku dan Puncak naik ke kamar dan meletakkan barang-barang bawaan. Baru saja hendak melangkah ke kamar mandi, telepon di kamar berdering, “Hallo…”, terdengar sahutan di seberang telepon “Selamat malam… ini bapak Alam dari Jakarta?”. “Ya, benar”, “Begini pak, kami ingin ketemu bapak, kami di Lobby”. Merasa aku tidak punya teman di Pulau Buru dengan cepat aku menukas, “Saya bicara dengan siapa? Saya tidak kenal orang dari sini, saya baru saja datang”. “Kita ketemu saja pak di Lobby”, pintanya separuh memaksa. “Saya tidak akan menemui orang yang saya tidak kenal, bapak dari mana?”. “Nanti saya jelaskan pak, waktu kita ketemu di bawah”, “Bapak siapa?” tanyaku agak memaksa. Setelah agak lama tarik ulur, orang di seberang telepon mengaku dia berasal dari Kodim 1506 Namlea. “Ok, saya akan turun, tapi tunggu dulu saya mau mandi”.
Aku keluar kamar dan mengendap-endap di tangga, kulihat ada dua orang sedang ngobrol di coffee shop hotel di dekat lobby. Potongannya yang satu orang berbadan tinggi besar tegap dengan rambut cepak, satu lagi berperawakan kecil tapi terlihat sangat tangkas, gerakannya cepat. Aku segera naik lagi ke kamar, aku bicara kepada Puncak, bahwa ada dua orang yang ingin ketemu kita. “Biarin aja, mereka nunggu lama..biar mereka bosen dulu, hehehe”.
Setelah kurang lebih setengah jam, aku dan Puncak menemui mereka di coffee shop dekat lobby. Mereka menyambut dengan senyum, “Malam pak, baru datang?”. Ah… basa-basi yang basi pikirku dalam hati, toh mereka sudah mengintili kami sejak sore tadi. “Ya, saya Alam dan ini teman saya Puncak… abang siapa?”, “Oh, saya Panser dan ini Kemis”, balas si tinggi besar. “Siapa tadi.. Panser?”, “Iya Panser bang…”. Hhhhm.. pasti nama samaran yang dibuat sekeren-kerennya.
Pembicaraan awalnya berlangsung sangat berjarak, mereka menyatakan niatnya untuk meminta kami bertemu dengan Komandan Kodim mereka besok pagi. Awalnya aku keberatan karena tidak ada urusannya dengan liputan ini dengan perijinan Dandim. “Ah, … jangan disalahartikan, pak komandan kita hanya pengen tahu maksud kedatangan abang ke sini, siapa tahu perlu bantuan atau apa…”. Aku mengalihkan pembicaraan dengan menggali informasi pada si Panser ini, “Abang namanya pasti bukan Panser, nggak ada orang yang namanya kayak gitu”. Pancingku sekenannya. Setelah berputar-putar cerita termasuk asal-usul tanah kelahirannya di Ambon, akhirnya Panser menyebut namanya adalah Ahmad Sangadji, berpangkat Letnan TNI. Temannya adalah Sersan Dua Kemis. Mendengar namanya aku jadi teringat peristiwa kerusuhan Ambon dulu, “Kenal dengan Usman Sangadji, pengusaha yang tinggal di Batu Merah, Ambon?”, “Oh, itu paman saya”. Akhirnya kami bercerita tentang konflik Ambon dan bagaimana pamannya pernah membantu meminjami aku mobil karena pada satu saat tidak ada kendaraan yang berani keluar rumah, termasuk sopir yang berani membawa kendaraannya pada malam hari. Suasana mencair, aku mulai percaya bahwa si Panser dan Kemis benar adalah orang dari Kodim Namlea.
“Begini bang, kami ke sini mau liputan… dulu waktu kerusuhan Ambon oom abang, Sangaji, membantu saya di sana… nah sekarang saya ketemu abang,… jadi jangan sampai oom abang bantu saya, tapi di sini keponakannya bikin susah saya”. Si Panser ketawa ngakak sambil menepuk bahuku, “Enggak mungkinlah bang, kita akan berteman”… Let’s see pikirku.
Lalu kami berjanji untuk ke Kodim besok jam 7 pagi setelah apel. “Besok kami jemput ke hotel bang”, kata Panser. “Oh, nggak terimakasih kita berangkat sendiri aja… kami pasti datang kok”.
Bersambung...
Almost everything we call "higher culture" is based on the spiritualization and intensification of cruelty- this is my proposition; the "wild beast" has not been laid to rest, it lives, it flourishes, it has merely become-deified.(Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, 1885).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
TEROR DI MANHATTAN, 31 OKTOBER 2017
TEROR DI MANHATTAN, 31 OKTOBER 2017 Oleh: Alam Burhanan Virginia, USA Mendengar kabar ada serangan yang mematikan, mende...
-
17 Agustus 2009, hari ini, aku bebas merdeka,… seharusnya ada acara wajib, upacara 17-an pukul 6.30 pagi di kantor, tapi aku dengan kemerdek...
-
1 of 3 2 of 3 3 of 3 Ini adalah Episode program Telisik di ANTV dengan judul Bisnis Narkoba di Dalam Penjara. Episode ini diputar pada Agust...
-
HANTU FENOMENAL DI KBRI WASHINGTON DC Oleh: Alam Burhanan Di Virginia, AS “Mas, tadi malam saya denger main pianonya bagus sekali”...
2 komentar:
Terkadang aq berpikir dari tulisan2mu dan sedikit pembicaraan kita face to face/ by phone kamu agak "gimana" sama yang namanya aparat. Tenang dong Kaisar mereka juga manusia:)Atau cuma subyektif pikiranq aja ya?????? Hihihi...kesannya kayak nuduh kamu:)
luv:aq
tertuduh juga nggak apa kok... hehehe
Posting Komentar