Bulan puasa…, ingatanku sekilas mampir pada puasa di bulan November 2005 silam di Johor Bahru, tepatnya di Pesantren Lukmanul Hakim, Ulu Tiram, Malaysia.
Pondok pesantren ini dilahirkan oleh Amir Jamaah Islamiyah yang pertama Abdullah Sungkar dan sekondannya Abu Bakar Baasyir. Dua tokoh ini keduanya berasal dari Indonesia, kabur, karena akan ditangkap oleh penguasa rezim Soeharto.
Tak lama setelah Azahari tewas di Malang, aku dan kamerawan Anambo Tono menyusuri alur gerakan teroris dan Jamaah Islamiyah di Malaysia.
Tak pelak salah satu sentralnya adalah ponpes Lukmanul Hakim. Di pesantren ini, banyak pelaku pemboman mengajar dan belajar agama di sini, sebut saja Muchlas atau Ali Gufron tereksekusi mati kasus Bom Bali satu dan Noordin M Top.
Menuju Johor Bahru, enam jam kami berkendara mobil dari Kuala Lumpur. Sampe Johor Bahru, sekitar pukul sepuluh malam. Menuju Lukmanul Hakim.
Jalan menuju ponpes, sekitar 30 menit dari pusat keramaian kota Johor Bahru. Setelah melewati perkebunan kelapa sawit, sampailah kami di Gerbang Pondok Pesantren Lukmanul Hakim. Ponpes gelap, police line, melilit gerbang masuk lingkungan ponpes. Saat kamerawan mengambil gambar, aku mencoba mencari pihak yang bisa memberikan informasi, suasana sepi, beberapa rumah yang aku datangi tidak menyahut salam.
Lalu aku melihat sebuah pintu di samping ponpes, aku ajak kamerawan dan sopir yang mengantar kami untuk masuk menerobos masuk. Oke… kami masuk ke samping ponpes dan melihat dari jejeran rumah seperti barak di samping ponpes. Salam kami tidak mendapat sambutan dan jawaban apa-apa. Kami mengatur siasat.
Akhirnya aku memutuskan untuk masuk bersama kamerawan dan sang sopir aku minta untuk menunggu di luar ponpes, memantau situasi dan melaporkan kalau terjadi apa-apa dengan kami di dalam.Wuiih, gelap… kami menerobos masuk ponpes dengan lampu yang dipancarkan dari kamera. Dengan cepat kami melaporkan situasi ponpes malam hari, kamera terus-menerus merecord.
Kami menuju hall, masuk ke dalam kelas-kelas, melihat seluruh ruang belajar, menuju kamar siswa, melihat koleksi buku-buku dan catatan siswa yang tertinggal dan apa saja yang menurut kami menarik. Suasana gelap, sehingga bila tanpa bantuan lampu kamera kami pasti akan kesulitan untuk berjalan di area ponpes yang luasnya (berdasarkan kira-kira aja) sekitar 2 hektar.
Menerobos tanpa izin, ditambah adanya larangan melintas, police line, dari Polisi Diraja Malaysia, membuat kami tegang dan khawatir ketahuan. Namun perasaan itu terkadang menjadi penambah semangat.
Namun tiba-tiba, ada suara motor meraung mendekati ponpes. Sepertinya mereka berhenti di samping ponpes. Kami diam, lampu kamera kami matikan. Suasana masih hening. Kami berharap suara motor itu adalah suara motor warga dan bukan Polisi Diraja Malaysia.
Sekitar 5 menit kemudian, ada suara orang berbincang-bincang dengan suara yang tinggi. Lampu senter kemudian berkilatan menyambar gedung-gedung asrama. Jantung kami berdegup, “Kita dicari Ton”, kataku pada Anambo Tono.
“Cepet ganti kaset Ton,… masukkan kameranya di ranselku aja”. Tono lalu sigap mengganti kaset di kamera dengan kaset baru dan memasukkannya ke dalam ranselku. Suasana gelap gulita. Kami jalan beringsut menghindari kilatan cahaya senter.
Suara orang yang mencari-cari semakin jelas. Degupan jantung semakin kencang. “Semoga bukan polisi ya, Ton… kita bisa di penjara nih”. Tono diam saja. Kami berkomunikasi dengan gerak dan terus menjauhi suara dan lampu.
Kami bergerak terus mendekati pintu keluar, dengan melintasi halaman ponpes yang rumputnya sudah meninggi. Terkadang suara derakan ranting pohon jatuh yang terinjak, mengagetkan dan menghentikan sejenak langkah kami. Kami lalu berhenti agak lama di bawah pohon samping ponpes. Karena merasa sudah agak aman dan tidak ada lagi kilatan cahaya, kami bergerak ke arah pintu keluar.
“Haii, siapa kamu!!!”, tiba-tiba suara menyalak dan senter menyala menerangi kami. Hoooahhh,… kami ketahuan, dan menghentikan langkah. Kami lalu mendekati sumber suara.
“Kami wartawan dari Indonesia…” balasku. Mereka mendekat.
Setelah cukup dekat, kami mendapati enam orang dengan senjata pentungan panjang. Setelah kami amati lagi, dua diantara mereka mengenakan sarung.
Hatiku agak mendingin, karena mereka pasti bukan polisi diraja Malaysia. “Siapa yang kasih izin, masuk!!!” suara pria bersarung meninggi.
“Maaf pak, kami memang menerobos masuk dari pintu samping”, lalu mereka marah-marah. Kami dikira maling dan orang yang kurang ajar karena masuk tanpa izin. Ternyata mereka adalah pengurus ponpes Lukmanul Hakim, mereka masih menjaga asset ponpes yang masih tersisa. Dulu mereka adalah pengajar dan staff ponpes Lukmanul Hakim.
Pertanyaan paling keras adalah perihal maksud liputan kami, apa agama yang kami anut dan darimana asal kami.
Setelah saling mengenal dan mengetahui maksud masing-masing, kami berdamai.Case Closed, Eh… malahan kami dipersilahkan untuk datang lagi keesokan paginya.
Huuhhhh, lega… setelah jantung seperti copot karena merasa dikejar Polisi Diraja Malaysia, akhirnya jantung berdetak kembali.
Almost everything we call "higher culture" is based on the spiritualization and intensification of cruelty- this is my proposition; the "wild beast" has not been laid to rest, it lives, it flourishes, it has merely become-deified.(Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, 1885).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
TEROR DI MANHATTAN, 31 OKTOBER 2017
TEROR DI MANHATTAN, 31 OKTOBER 2017 Oleh: Alam Burhanan Virginia, USA Mendengar kabar ada serangan yang mematikan, mende...
-
17 Agustus 2009, hari ini, aku bebas merdeka,… seharusnya ada acara wajib, upacara 17-an pukul 6.30 pagi di kantor, tapi aku dengan kemerdek...
-
1 of 3 2 of 3 3 of 3 Ini adalah Episode program Telisik di ANTV dengan judul Bisnis Narkoba di Dalam Penjara. Episode ini diputar pada Agust...
-
HANTU FENOMENAL DI KBRI WASHINGTON DC Oleh: Alam Burhanan Di Virginia, AS “Mas, tadi malam saya denger main pianonya bagus sekali”...
2 komentar:
uhhhh.... cerita favorit-ku
setelah roti canai azahari tentunya...
tunggu ada kelanjutannya lho, kasus lain.
Posting Komentar