Minggu, 02 Agustus 2009

Sejati Cinta Drug-Dealers (Fiksi)

Dikepulkannya asap putih itu bulat-bulat di ruang sempit berventilasi minim. Pengab ruangan menjadi pekat. Dibakarnya lagi pantat alumunium foil yang sudah dibentuk menyerupai saluran parit, bentuknya kecil kurus seperti lidi. Butir bening seperti butiran kristal menguap, dengan cepat uapnya ditarik dengan alat hisab, bong, yang dibuatnya sendiri dari botol kaca bekas minuman kesehatan.

“Huuh… andai saja…” tak ada kelanjutan kalimatnya yang keluar berkejaran dengan kepul asap dari mulut dan hidungnya.

Perempuanya masuk ke ruangan, dikipaskanya tangan mengusir bau asap, tapi lima detik kemudian dia telah terbiasa dengan asapnya. Digenggamnya tangan sang drug-dealer, “Apa yang andai saja…?”, sang pria berbisik “Mengapa hubungan tak bisa selancar orang yang saling mencinta?,… andai saja”.

Diraihnya bong dari tangan sang pria, dengan cepat sang pria mengambil sedotan plastik yag dipotong meruncing dan menyendokkannya ke serbuk putih. Dituangkannya ke dalam lintingan alumunium foil. Korek kecil yang sudah dibuat sedemikian rupa sehingga apinya kecil dan biru merata segera membakar pantat lintingan alumunium, uapnya disambut sang perempuannya, lagi dan lagi.

Kini keduanya merasakan kenikmatan yang sama, rasa nyaman yang sama, damai yang sama… tapi tak bisa dibagi ke orang lain.

Aroma cinta membekap mereka dalam ruangan sempit, sebuah rumah dengan tanah kosong di samping dan belakangnya. Di ruang-ruang rumah itulah cinta itu bisa bebas berkeliaran, mengambang, hinggap dan bersemayam. Cintanya tak bisa berlari jauh dari sepotong tempat itu, bahkan untuk menunjukkan cintanya pun di tempat lain mereka jengah pada mata-mata yang memandang penuh curiga.

Si pria dengan pelan berkata, “Itulah cinta kita…cinta seperti pedagang narkoba yang sedang menikmati barang haram dagangannya, apa yang kamu rasa?”, “Aku merasa cinta itu bertahun-tahun bersemayam, dan saat cinta menemukan medianya aku mendapati semuanya menjadi tak lagi wajar”.

“Kamu tahu beda antara norma dan nilai?”, “Hah… kamu selalu bertanya, sudahlah… kamu saja yang cerita tanpa bertanya, aku sedang menikmati desiran bau nafasmu”. “Setiap pribadi punya pandangannya sendiri-sendiri, latar belakang, dimana dia dibesarkan, pendidikan dan lain-lain… singkatnya itulah yang dinamakan nilai, sedangkan norma adalah nilai yang diyakini kebenarannya di masyarakat. Nah… norma inilah yang menjadi pembatas orang untuk menilai apakah seseorang lain wajar atau tidak…”.

Perempuan itu terlihat memaknai dan kemudian berkelebat menarik kepalanya yang tersandar di dada sang pria. Ditatapnya tajam, matanya memancarkan berjuta pertanyaanya, matanya yang memancarkan berjuta kecerdasan, dari bibirnya meluncur pertanyaan, “Mengapa ada norma, kalau itu menjadikan seseorang tidak bahagia…?”. Itu bukan pertanyaan yang meluncur dari orang biasa, pertanyaan itu hanya meluncur dari mulut yang disaluri energi otak yang sangat besar.

Sang pria menarik kakinya yang tadinya berselonjor, satu tarikan nafas mengantarkan kalimatnya, “Norma itu, akan berbeda-beda tergantung di ruang mana dia berada. Tidak ada yang bisa sama. Coba bayangkan apakah memanggil nama pada orang yang lebih tua bisa diterima dalam tatanan norma kita? Itu salah satu contoh bahwa norma itu bisa berbeda. Apa yang berlaku universal?, hanyalah cinta. Semua kebenaran berasal dari cinta”.

“Apa itu cinta?” tukas sang perempuannya, “Cinta itu seperti udara, setiap saat kita menerima kehadirannya, tapi tidak semua menghormati kebaikan udara. Hanyalah orang yang benar-benar mencinta akan merasakan getar cinta seperi dia menghormati kehadiran udara”.

“Bisakah kita menghindari cinta, kalau itu hanya membuat kita dikucilkan karena melanggar norma, bang?”,… mendekati perempuannya, menatap tajam ke dalam matanya, “Bisakah engkau berhenti menghirup udara?”.

Usai berkata sang pria meninggalkan perempuannya keluar ruangan, sebentar kemudian sebuah syringe dan putaw, serbuk putih ampas heroin ada di genggamnya. Diikat lenganya dengan karet ukuran pita dengan satu tangan dan bantuan mulutya. Perempuannya membuang muka berpaling dari jarum yang sebentar lagi akan tertancap di lengan sang prianya.

Pumping, darah masuk ke dalam syringe, ditekannya sekali dengan jarum suntik tetap tertancap di lengannya. Pikirannya meninggi “Benda ini memang terlarang, tapi mengapa cintaku mesti pula ikut-ikutan terlarang…” nyerocos dengan kata-kata yang tak keruan, setiap lima menit jarum suntik ditekan semakin dalam, hingga tabungnya tak lagi berisi cairan darah yang telah bercampur dengan putaw.

“Aku benci kamu memakai etep itu, huuh… tapi cintaku tidak pergi dengan masuknya etep ke tubuhmu”, dipeluknya dengan sungguh-sungguh, dihapusnya peluh di dahi sang pria dengan lengan bajunya.“Aku mencintaimu lebih dari norma itu”….

***
Lamat-lamat dari TV yang sedari tadi menyala terdengar lagu khas anak ABG dari sebuah band baru, tanpa sadar mereka saling menatap dan kemudian tertawa ngakak bersama-sama. Lagu tadi membuyarkan lamunan tentang cinta mereka yang seperti pecandu narkoba, membungkam obrolan halusinasi candu cinta yang sedang bermasalah.
“Tapi jangan pernah bilang itu tidak mungkin, semua sudah terlambat… aku nggak suka mendengarnya”. Malam mencungkupi markas itu.

inspired by MRSPPY...

5 komentar:

Anonim mengatakan...

may the force be with you...

Alam Burhanan mengatakan...

I know who you are, thank you very much for supporting ya...

Universe unite!!!

Anonim mengatakan...

mmm... nothing's wrong when love is sooo right...

-simeong-

Alam Burhanan mengatakan...

mmm... nothing's wrong when love is sooo right...

Cinta adalah sakit yang tidak ingin disembuhkan penderitanya.(Pepatah Persia)

Anonim mengatakan...

("_")hihihi....
luv:aq

TEROR DI MANHATTAN, 31 OKTOBER 2017

TEROR DI MANHATTAN, 31 OKTOBER 2017 Oleh: Alam Burhanan Virginia, USA Mendengar kabar ada serangan yang mematikan, mende...