Hari ini tepat tanggal 31 Desember 2008, terdakwa kasus pembunuhan Munir mantan Komanda Komando Pasukan Khusus periode tahun 1998-1999 divonis BEBAS!!!
Aku tersentak, padahal pada saat pembacaan tuntutan 15 tahun oleh Jaksa kepada Muchdi, aku sudah berkeyakinan bahwa tuntutan tidak cukup kuat untuk menjerat si Michael (psst… Michael itu nama panggilan Muchdi di kalangan intelejen, initial namanya adalah MPr dari nama sesuai passport hijaunya adalah Muchdi Purwopranjono tanpa huruf “d” jadi bukan Purwoprandjono, kode awal MPr adalah M. Huruf M biasa dieja dengan Mike, Mike sama dengan Michael, jadi keren juga).
Mungkin capek juga kalo mencoba mentrasir kasus, motif dan dokumen yang ada, toh Michael (tanpa Dudikoff!!!), sudah divonis bebas pada tingkat Pengadilan Negeri.
Satu hari sebelum vonis terhadap Michael, aku ketemu dengan Suciwati, istri almarhum Munir. Aku banyak bertanya tentang ancaman ancaman yang diterima oleh Munir dan keluarganya. Munir ini, menerima ancaman berkali-kali, rumahnya di Malang pernah diantari bom, pernah diancam akan dihilangkan oleh mantan KSAD R. Hartono, pernah diserempet motor, pernah dikuntit orang dan ancaman bahkan pernah menyasar ke anaknya Munir yang sekolahnya didatangi orang mengaku polisi dengan alasan akan melindungi anaknya Munir (ketika ditanya apa alasannya untuk melindungi, eehhh malah bingung menjawabnya).
Ancaman yang terkait dengan Michael adalah saat Munir, sedang seru-serunya mengadvokasi korban penculikan oleh Tim Mawar. Tim Mawar adalah tim di Kopassus yang dinyatakan oleh Dewan Kehormatan Perwira-TNI terlibat dalam serangkaian aksi penculikan aktivis pergerakan pada tahun 1998 silam. Pada tahun 1998, Munir dan keluarganya harus dievakuasi oleh teman-teman sesama aktivis karena diancam akan dihilangkan.
Aku Tanya ke Suci, “mbak, salah satu tuntutan terhadap MPr adalah motifnya menghilangkan Munir karena sakit hati?”. “Iya, mungkin saja ada hubungan…. Bla-bla-bla…””. Intinya Munir pernah cerita bahwa yang paling loro wetengi (sakit perutnya) karena kasus pencopotan posisi di Komandan Jendral Kopassus, iku ya Muchdi. Alasannya ada dua: satu, karena Michael gagal menghilangkan Munir, kedua, karena dicopot dari posisi sebagai Danjen Kopassus. Tapi Suci juga menambahkan, “Kalo memang tidak ada motif itu emangnya kenapa? Selama ada konspirasi dibalik pembunuhan Munir, hal itu tetaplah kejahatan walaupun tanpa motif sakit hati”.
Saat menjelaskan motif sakit hati Michael, Suci ngomongnya seperti orang tersengal-sengal, masih ada rasa sakit, masih ada rasa benci, masih ada rasa cinta kepada Munir, masih ada pencarian terhadap keadilan, masih ada harapan.
16 jam kemudian, harapan Suci terjawab dengan VONIS BEBAS. Setengah jam kemudian ada ancaman berikutnya bahwa Michael akan menuntut Empat Serangkai (istilah MPr atas Suciwati, Usman Hamid/Koordinator Kontras, Hendardi/ Aktivis, dan Pungki/Aktivis yang juga teman Munir sejak dari Malang) atas tuduhan mereka bahwa Michael terlibat pembunuhan Munir.
Sejurus kemudian Suciwati menjawab, bahwa itu adalah hak Muchdi untuk menuntut. "Saya sudah tidak takut, teror terbesar (pembunuhan Munir) sudah pernah saya alami".
Sakit betul, hidup atas ancaman demi ancaman. Tapi itulah pilihan…. Tabik.
Almost everything we call "higher culture" is based on the spiritualization and intensification of cruelty- this is my proposition; the "wild beast" has not been laid to rest, it lives, it flourishes, it has merely become-deified.(Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, 1885).
Rabu, 31 Desember 2008
BEBAS!!!
Rabu, 17 Desember 2008
Bulan Antarkan Cincinku
Kucari bulan seperti setiap malam-malamku.
Bulan lebih indah malam itu, kabut seolah membuatkan cincin untuk sang Bulan.
Inginku berbagi...
Tapi kutakut kamu tak sudi...
Kulewati sendirian beberapa masa...
Berdoa... kau melihat indahnya bulan-ku membawakanmu cincin...
Kenari Kuning, dimana kamu saat masa meninggalkan 12 menjadi 13 Desember.
Bulan terlalu indah untuk kunikmati sendiri...
Kusampaikan pesan untuk adikku, yang juga saudaraku, yang juga bagian jejakku.
Kuingin adikku memberi arti atas indahnya...
Pesan ku, "Ada fenomena bulan bercincin".
Willy Obama
Selamat pagi?apa kabar bang? Ma2f mengganggu hari dinnas apa bang,
Wilhelmus obama, trimakasih GBU.
Pesan itu dikirim oleh temanku Wilhelmus, seorang Security di Gedung Sentra Mulia Kuningan. Hari itu, Selasa, 2 Desember 2008, Pukul 06.24 WIB.
Kabar baek Will, biasa aku masuk agak siang sekitar jam 10 atau 11 siang, balasku dengan sms. Tidak ada balasan setelah itu.
Sekitar jam sepuluh pagi, aku tiba di kantor dan kulihat Willy sedang berjaga di pintu masuk lantai 18, Gedung Sentra Mulia. “ Hei, Mr. Obama, What’s up?” tegurku, Willy senyum senyum sambil mendekat “ There is something special for you… from my father” bisik Willy pelan. “ Oh ya, … is it something from Flores?”. “ Yes,..” sahut Willy. “Hmm, What is it?” balasku pingin tau. “ You will see…”, Willy menghindar, kayaknya dia nggak terlalu nyaman ngobrol saat itu karena sedang dinas berjaga di depan pintu. Sebelum jadi petugas Security gedung kantorku, Willy pernah menjadi pemandu wisata di Bali.
Sekitar jam sebelas siang, aku keluar kantor untuk satu urusan. Willy datang menghampiri, “Abang pulang ke kantor lagi, kan?”. ” Iya Will,… sore” kataku. ”Ok, bang”, balas Willy.
Ternyata aku baru tiba kembali sekitar pukul tujuh malam. “Hei, Obama” sapaku, “ Iya bang, aku akan naik” balas Willy. Ruang kantorku berada di lantai 19, dan bisa dicapai hanya dengan tangga dari lantai 18. Sekitar sepuluh menit berada di mejaku, Willy datang dengan memegang sebuah bungkusan. “ Apa nih, Will?”, “ Special untuk abang” kata Willy sambil pamit. “Terimakasih, Obama…” sahutku, Willy melambaikan tangan.
Sepulang kantor, kubuka pemberian istimewa Willy. Terkesiap aku, ternyata isinya adalah sarung tenun Flores, berwarna coklat dan khas banget. Teringat aku pada tahun 2004, di Kupang, aku pernah mencari-cari sarung khas seperti pemberian Willy, tapi nggak dapet. Busyet… something special yang nggak pernah aku harap-harap tiba-tiba muncul setelah empat tahun setengah.
Segera, besok paginya aku sms Willy, mengucapkan terimakasih dan benar-benar terkaget-kaget dengan hadiah itu dan menanyakan mengapa memberi hadiah seindah itu.
Dan inilah jawaban Willy, sekitar pukul 12 siang:
Maaf baru balas bang, saya sangat brtrimakasih atas kebaikan dan suaranya, bahwasanya saya mirip obama, sukses selalu buat abang khususnya, dan buat kaka2 di Currant affair. GOD BLESS US ALL.tks.
Jadi Wilhelmus itu, sekitar bulan Desember tahun 2007, aku bilang bahwa dia mirip Barrack Obama. Waktu itu Obama belum terkenal banget di Indonesia. Saat Super Tuesday Pre-Election nama Obama makin mencorong. Saat itu, kalau aku sedang iseng aku panggil Willy dengan Obama. Terkadang saat Obama selesai kampanye di suatu tempat, aku tanya ke Willy “ Obama, Where have you been?”, jawabanya kadang kadang lucu-lucu, seperti dia bilang, Ohio, Alabama atau Chicago dll. Tampaknya Willy jadi mengikuti perkembangan kampanye Obama.
Kemudian saat Barrack Obama, menang dalam Popular-Vote Amerika Serikat mengalahkan Mc.Cain. Willy semakin getol kupanggil “Obama”. Sampai tiba saatnya teleponku berdering, produser Program Republik Mimpi bertanya, “ Lam, siapa nama si Obama?”. “Willy” balasku cepat. “Ok, trims, kayaknya kita akan memainkan Willy dalam Parodi Republik Mimpi…”. “Mantap!!!” jawabku. Tanpa sengaja Willy masuk ke News Room tak lama setelah aku memutus hubungan telepon. Kemudian aku tanya Willy nomor Hp-nya untuk berjaga-jaga kalau diperlukan.
Seminggu kemudian, aku secara tidak sengaja aku ketemu Effendi Ghazali, promotor Republik Mimpi. Setelah basa-basi nggak mutu, aku bilang ” Itu lo Bang, yang namanya Obama. Nama aslinya Willy”. Dan kebetulan Willy sedang berjaga di pintu hanya sekitar 5 meter dari Effendi Ghazali dan timnya tapi kehadiran Willy tidak disadari mereka. Aku segera memanggil Willy dan mengenalkannya. Ok,.. setelah perkenalan usai dan Effendi Ghazali minta nomor HP Willy secara langsung, aku beranjak ke ruang kerjaku. Sebelumnya Effendi Ghazali membisiki aku ” Mantap, kita poles dikit jadi!!!, ... orangnya juga keliatan baik”. ”Siip,...” kataku dan kemudian kami berpisah.
Akhirnya, sekitar dua minggu kemudian, Willy tampil di Republik Mimpi, berperan sebagai Barrack Obama. Walah... walah... walah... Mantap tenan.
Hidup terkadang penuh ketidaksengajaan.
Selasa, 02 Desember 2008
Gaya Standar di Capitol Hill
“ Ntar lagi ya, Lam… Gue masih ada kerjaan”, kata Pepet menyambut ajakanku yang standar itu. “Ok, ntar kabarin aja…”, balasku. Bersama Anggi, temanku dari Jakarta, kita nyoba naik bis ke Smithsonian Museum. Smithsonian adalah tempat pameran tentang kemajuan kedirgantaraan dan persenjataan Amerika Serikat. Sengaja kami memilih Smithsonian untuk dikunjungi sore itu, karena letaknya yang tidak terlalu jauh dari kantor temanku di Virginia.
Sampai di Smithsonian, terkagum kagum dengan museum yang sekeren itu sama sekali tidak dipungut bayaran. Fasillitasnya keren, peralatan yang dipamerkan lengkap, dasar Amerika!!! kalau yang bersifat show kayak gitu, pasti keren. Nggak terasa dua jam kami berkeliling di Smithsonian, sampai akhirnya aku menghubungi Pepet dengan telepon umum. ” Hallo, Pet... ini Alam”, kataku. ” Woiii, dimana? Gue hubungi HP lu nggak nyambung” balas Pepet. ” Iya, gue lupa ngecharge, gue di Smithsonian...” sambungku lagi. ” Ok, lu tunggu di depan Smithsonian, ya.. gue jemput sekarang, nggak lama paling 5 menit” lanjut Pepet.
Nggak nyampe 10 menit, Pepet nyampe dengan mobil Volvo Hatchback silver-nya.. Bergegas aku dan Anggi naik mobil Pepet. ” Gue pikir lu dimana, nggak bisa-bisa gue hubungi”, cerocos Pepet begitu kami di dalam mobil. ”Pet, foto-foto di Capitol Hill...” ajakku. ”Oke, yuk... mumpung masih terang” sambut Pepet.
Gedung parlemen Amerika berada di Capitol Hill, hanya 10 menit berkendara kami tiba di Capitol Hill. Keluar dari mobil, langsung kurapatkan overcoatku, menolak angin dingin.
Selanjutnya gedung Capitol Hill menjadi latar belakang foto-foto kami. Gaya foto dengan gedung parlemen menjadi latar belakang adalah foto standar banget bagi pendatang. Beberapa orang yang pernah ke AS, rata rata punya foto dengan background Capitol Hill.
Orang-orang parlemen kita alias DPR RI, rata rata punya foto dengan gaya seperti ini, semula aku merasa foto kayak gini standar banget, bahkan menjadi seperti foto studio dengan retouch background gedung parlemen AS.Tapi mau apalagi, ternyata gaya itu memang keren bagi kami.
Saat aku membuka buka foto di Capitol Hill, temanku nyeletuk ”Heh, standar banget”. ”Iya sih..., tapi ntar kalo lu kesana pasti ngambil foto standar juga”.
Minggu, 30 November 2008
Cheese Stick Imam Samudra
Setelah menyelesaikan urusan dengan Tim Pengacara Muslim Banten, kami bergegas berangkat, hari sudah semakin sore. Kami berempat dengan sopir, mampir dulu ke mini market untuk belanja sedikit kue kue dan minuman. Saat akan meluncur ke Lopang Gede, TPM Banten, melalui Agus Setiawan menyatakan akan menemani kami kesana. Mobil segera berbelok arah menjemput mereka. Lalu mobil dinaiki tiga orang tambahan menjadi tujuh orang bersama kami, dan terasa sesak karena kami membawa peralatan rekam audio visual.
Ok, berangkaaaat…
Karena kota kecil, hanya sekitar 15 menit kami tiba di Lopang Gede. Hari sudah semakin sore. “Assalamualaikuum…” ucap kami, “Alaikumsalaam…” terdengar balasan dari adik ipar Imam Samudra yang saat itu hendak menutup warung kecil di depan rumah. “Mau ketemu Umi”, tukas Agus. “Masuk, masuk aja mas…”.
Sambil buka sepatu, aku lihat di pintu tertempel tulisan “No Press, Please…” dengan foto Imam Samudra yang sedang menunjuk. “ Ah…, pikirku ini pasti kerjaan Lulu”. Lulu Jamaluddin adalah adik kandung Imam Samudra. Segera aku masuk rumah sederhana berukuran sekitar 6 kali 12 meter. Perabot sederhana bersahaja yang kutemui di ruang tamu sekaligus ruang keluarga, satu set kursi tamu, sebuah lemari pajang alumunium kecil tempat menyimpan buku, sebuah foto Imam Samudra sedang bersujud dengan Umi dan sebuah TV ukuran 20 inchi. Umi ada di ruang tidurnya.
Agus Setiawan masuk ke kamar Umi, mengucap salam dan mencium tangan Umi. Kami pun ke kamar Umi bergantian. Karena cukup sempit, kami lalu keluar. Umi dengan tertatih lalu keluar kamar dan duduk di kursi sebelah lemari pajang alumunium. Belum lama bercerita, adzan magrib bergema, kami lalu berbuka puasa dengan korma dan air putih.
Usai sholat magrib di Masjid Al Mannar, tempat yang kemudian menjadi tempat Imam Samudra disemayamkan, kami melanjutkan reriungan bersama Umi. Kesan tegas dan tegar terpancar dari ucapan Umi. Dari cerita diketahui Umi Embay semasa muda termasuk perempuan aktif. Berbagai perkumpulan diikuti Umi, termasuk tim bola volli kampung. Saat Imam Samudra atau Abdul Aziz remaja, Aziz mulai memberi masukan kepada Umi tentang bermacam aktifitas.
Embay Badriah berasal dari keluarga yang aktif di organisasi Persatuan Islam, PERSIS. Sebagian besar anak-anaknya sekolah atau mengaji di yayasan PERSIS, termasuk Abdul Aziz.
Di mata Umi, Abdul Aziz, adalah anak yang menonjol. Mengenang ketaatan dan kepatuhannya, membuat mata Umi berkaca-kaca. “Aziz itu, waktu SMP, kalau mau sekolah nanyain ke Umi, tentang apa yang bisa Aziz bantu…”. Umi lalu menirukan ucapan Aziz, “ Umi, Aziz mau sekolah… apa yang mau Aziz bawa untuk Aziz jual, cheese sticknya gimana?”. Rupanya, Aziz, sebelum sekolah membantu Umi membuat makanan cheese stick untuk dijual. Uang hasil berjualan menjadi uang bayaran sekolah Abdul Aziz. “Apapun yang bisa meringankan beban Umi, Aziz mencoba bantu…” ucap Umi sambil menyeka air mata. “ Aziz itu…, tak pernah lepas dari Al Quran, kalau ada waktu senggang selalu baca Al Quran yang terus dikantonginya…”.
“Umi tau nggak, Aziz ke Afghanistan?” tanyaku, “ Yang Umi tau, Aziz setamat Madrasah Aliyah, berangkat ke Malaysia jadi guru ngaji katanya…”. Imam Samudra memang usai MAN berangkat ke Malaysia, untuk menjadi guru mengaji di Pondok Pesantren Lukmanul Hakim, Johor Baru, Malaysia.
Lukmanul Hakim adalah Pondok Pesantren yang didirikan oleh Abdullah Sungkar dan Abubakar Baasyir, keduanya Warga Negara Indonesia yang kabur dari Indonesia karena ancaman rezim Orde Baru. Lahan Pondok Pesantren adalah tanah hibah milik orang tua Nasir Abbas, lokasinya berada di sekitar kebun kelapa sawit.
Rupanya dari Pondok Pesantren inilah, rencana berangkat ke Afghanistan dimatangkan Abdul Aziz, bersama dengan Ali Ghufron yang menjadi pimpinan pondok pesantren Lukmanul Hakim saat itu. Jadi wajar saja Umi tidak mengetahui keberangkatan Aziz ke Afghanistan, karena alasan agar Umi tidak mengkhawatirkan keselamatannya.
Saat bercerita, telepon berdering dari Lulu, menanyakan “ Lagi dimana?”, “ Ngapain?”, “Umi jangan difoto ya…”.
Karena Umi mulai kelihatan lelah, Fiola kemudian menggamit Umi untuk diantar ke kamarnya. Sambil duduk bersandar di tempat tidur kami melanjutkan cerita dengan Umi. Bermacam hal kami bincangkan, termasuk Umi yang menurut kami, pastilah waktu mudanya menjadi kembang desa karena kecantikkannya. “ Umi waktu muda, memang aktif di berbagai kegiatan…” balas Umi menghindar dari pertanyaan tentang kecantikkanya waktu muda.
Hari semakin malam, Umi sepertinya perlu istirahat, kami pun pamit. Tapi sebelum pamit kami sempat berfoto foto dengan Umi di kamarnya. “Untuk kenang-kenangan ya….Umi”, kata kami, Umi mengangguk.
Saat kami mengantar tim TPM kembali ke kantor, di sana sudah ada Lulu dengan seorang temannya. Lulu langsung menatap kami dan berucap “Tadi memfoto Umi, ya?... nggak boleh tuh”, tanya Lulu sekaligus menjawab sendiri. “ Kenapa nggak boleh Lu?,… aku ke toilet ya…” tanyaku sekaligus tidak meminta jawaban Lulu.
Usai pamit dengan orang-orang di TPM, kami kemudian mengajak Lulu makan sate bebek…. Yuups, kami berangkat bersama menuju warung sate bebek yang membuka tendanya di depan hotel Taman Sari, Serang.
Kutitipkan pada Bulan
Kuhantamkan mataku pada bulan yang menggantungi malam
Kebenamkan tubuh dalam angin malam selepas hujan
Kupayungi hatiku lindungi asa
Hujan tunjukkanlah kebesaranmu
Jatuhkan bulirmu lagi, kencang dan banyak, hatiku sudah kupayungi
Bulan tunjukkan, jarak tak berarti
Hanya hati yang ingin
Ayo hujan, kau cuci malam
Biarkan bulan lebih bersih menghantam mata
Kupandang bulan, kuharap kau pandang bulan
Bulan kita sama…
Rabu, 26 November 2008
Gule Kambing Rasa AK 47 (2)
Setelah istirahat sekitar 10 menit, akhirnya sebuah tikar dari daun rumbia digelar, untuk apa gerangan, pikir dalam hati. Tak lama kemudian pimpinan GAM Aceh Timur, komandannya “Hambali” dan “Hasyim” (sumpah, saya lupa…) berbasa basi, dengan mengatakan, “Ayo, kita makan dulu sebelum ambil gambar”. Sesudah semua wartawan nggelesor di tikar, datanglah makanan. Rupanya mereka telah menyiapkan, nasi yang dibungkus daun pisang dan dilapisi kertas coklat (kayak bungkusan rumah makan padang), dan gule kambing yang dibungkus plastik.
Setiap wartawan dapat bagian satu nasi bungkus dan satu plastik gule kambing yang masih panas… Mantap. Kali ini tidak perlu nunggu aba-aba untuk mulai makan. Langsung tancap…..
Tapi setelah, satu dua sendok masuk mulut, ada yang aneh… wah, ternyata di sekeliling tikar dijaga oleh pasukan GAM dengan senjata AK 47. Aku nggak enak rasanya makan dengan diliatin, apalagi yang ngeliat dengan AK 47 (Tai… banget!!!). Aku, juga Tono, nawarin makan “ Ayo makan bang…” dengan senyum mringis mereka menyatakan “silahkan…”.
Gule kambingnya bener bener enak, dengan bumbu kental dan kaya rempah. Aku berseloroh dengan Tono, “ Ton, ini gule kambing dicampur ganja”. “ Mantap…”, kata Tono. Tapi sambil makan, bener bener terganggu, kenapa sih si GAM-GAM itu, tidak ngejagain di tempat yang tersembunyi atau minimal dengan jarak 15 meter dari kita. Persetanlah pikirku dalam hati, segera usai makan kusambar aqua botol ukuran sedang, langsung tenggak.
Setelah semua wartwan selesai makan, rebutan untuk ambil gambar menjadi pemandangan selanjutnya. Berbagai angle gambar diambil, berbagai angle berita dipikirkan, berbagai sumber diwawancarai, dan akhirnya selesai.
Komplit, akhirnya wartawan diarahkan untuk pulang. Tetap masih ada embel-embel jangan ambil gambar saat jalan keluar. (Mereka pasti ingin merahasiakan lokasi). Tapi kali ini, arahan itu tak diindahkan, ambil gambar jalan terus, walau dengan cara kucing kucingan dan curi-curian.
Peristiwa hari itu sebenarnya, cukup penting. Tergambar bahwa satu hari pasca penandatanganan damai, senjata masih banyak di tangan anggota GAM, dan sebagian AK 47. Setelah memasuki periode penyerahan senjata, ternyata senjata-senjata yang diserahkan kebanyakan senjata rakitan. Senjata organik AK 47, pelontar granat dan lain lain, masih sangat jarang yang diserahkan. Kemana senjata-senjata ini disimpan???.
Mungkin senjata-senjata itu, masih akan menjadi ”bumbu penyedap” saat makan gule kambing. (Tamat).
Kamis, 13 November 2008
Gule Kambing Rasa AK 47
Tiga hari setelah perjanjian damai Aceh di tandatangani di Helsinski, 15 Agustus 2005, akhirnya aku, kamerawan SCTV Anambo Tono dan beberapa wartawan lain, masuk ke wilayah Lhok Sukon Aceh Timur.
Tidak jelas siapa yang sebenarnya siapa dari pihak GAM yang memperbolehkan wartawan masuk ke sarang mereka. Pada hari yang bersamaan di wilayah Aceh Utara, juru bicara GAM Sofyan Dawood, juga menerima kehadiran wartawan. Berbagi tugas dengan kru liputan lain, aku akhirnya memutuskan ke Aceh Timur saja, alasannya tempat yang kita tuju adalah tempat dimana Ersa Siregar (alm) dan Fery Santoro pertama kali diculik pihak GAM. Alasan lain, tentu saja, Sofyan Dawood sudah sering tampil di TV… (apalagi dengan gayanya yang diseram-seramin seperti Rambo dengan kaca mata hitamnya, ups…).
Menunggu diantara Lhoksemauwe dengan Lhok Sukon sekitar 15 menit, akhirnya mobil mengarah ke Lhok Sukon. Setelah melewati jalan raya menuju Medan, akhirnya mobil belok ke kiri, dan disana ada pos penjagaan BRIMOB, untungnya tidak ada pemeriksaan.
Setelah melewati jalan tanah yang bergelombang tidak jelas, serta beberapa lubang yang digali oleh GAM, kami akhirnya tiba di lahan yang agak terbuka. (eh,.. GAM sengaja menggali lubang di jalan dengan dalam kurang lebih satu meter dengan lebar satu meter melintang di jalan, dengan maksud untuk memperlambat gerakan TNI atau Polisi bila mereka melakukan operasi. Apabila ada pihak luar yang ingin masuk dan disetujui oleh orang GAM, maka saat kendaraan akan melintas, tiba tiba akan datang orang membawa kayu untuk dijadikan jembatan, setelah kendaraan melintas kayu dibawa kembali dan jalan dibiarkan berlubang).
Tidak perlu menunggu lama, ada pihak yang menjemput dan diajak masuk ke suatu daerah. Berjalan kurang lebih 15 menit, tiba di sebuah gubug seperti pos kamling dari kayu. Di tempat ini, wartawan didata, dicatat namanya, dilihat KTP dan ID Press-nya. Salah satu kartu identitas, KTP atau ID Press masing masing wartawan ditinggal di pos ini.
Kamerawanku terlihat sedikit gugup, karena namanya Anambo Tono, mirip nama Jawa padahal aslinya orang Lombok, NTB. Orang Jawa cenderung dibenci orang Aceh karena menurut mereka, karena Republik Jawa-lah mereka menderita. Kulihat dia menuliskan namanya dengan sekenanya agar tidak jelas, yang pasti kulihat dia tidak menuliskan Anambo Tono, tapi Anam Toni atau apalah, yang pasti tidak jelas. Sedikit aku candain dia, “ Hei, Tono… kayaknya elu gak bisa masuk deh…”, dia senyum aja.
Sialnya, setelah komplit didata, kita dipanggilin satu persatu. Saat nama kamerawanku dipanggil si orang GAM yang mengabsen terlihat bingung bacanya. Dia kemudian panggil, “Anamto…… eh, ehm… Antoni!!!”, Karena tidak ada nama Antoni, semua diam, tiba tiba di menyebut "SCTV!", walah, walah….., aku senggol tangannya, dia mengacung dengan senyum senyum. Aku kemudian bilang “ Dia Cameraman-ku, namanya Anambo Tono”, … “Oooo,…” balas si tukang absen. Dia kemudian dekati Tono, dan lihat ID Press-nya. “Ok, cocok!”.
Setelah semua diabsen, kita jalan lagi kurang lebih 20 menit. Jalannya turun naik, di kiri kanannya tanaman sawit. Aku bawa tas peralatan sisinya charger, battery, mike dan lain lain, Tono membawa kamera yang siap untuk merekam, tapi selama jalan tidak boleh merekam. Aku bilang ke Tono, ”Sudah,... jangan ngerekam, ntar aja pulangnya”. Tono diam aja. Sejurus kemudian ada dua orang GAM yang muncul dari balik kelapa sawit, Tono langsung menyapa getir karena kaget ” Assalamualaikum Tengku...”, Mereka balas ”Wa alaikum salam...”. Mereka mengaku namanya Tengku ”Hambali”(?) dan Tengku ”Hasyim” (?). Umur keduanya saat itu sekitar 25-27 tahunan.
Lalu, kita jalan sambil ngobrol. Karena Hambali membawa Handy Talky dan pistol, kita langsung menebak, dia pasti orang yang cukup berperan."Hasyim" juga membawa pistol. Tapi mereka ngaku hanya prajurit biasa. Mereka tanya-tanya tentang kamera, dan Tono dengan senang hati menjelaskan. Tak lama suasana jadi akrab, lalu kemudian kamera berpindah tangan. Tono yang merasa pegel membawa kamera sekitar 12 kiloan apalagi di tengah panggangan matahari, memperbolehkan kameranya dibawa oleh dua orang GAM. Lumayan juga, apalagi si GAM nampaknya semangat ngebawain kameranya Tono (Hihihi...). Setelah semakin akrab, si ”Hambali” yang ngebawain kamera akhirnya mengaku intel GAM. Sedangkan ”Hasyim” mengaku komandan pasukan.
Akhirnya sampai di sebuah lahan terbuka diantara pohon pohon sawit dan pohon pohon kayu. Disana muncul sekitar 20-an orang sebagian besar membawa AK 47 (Avtomat Kalashnikova 1947). Tono langsung menyambar kamera, di pundak ”Hambali”, mau mengambil gambar bendera GAM yang tengah berkibar di sebuah tiang dan pasukan ber_AK 47. Tapi langsung orang GAM meminta agar tidak ada pengambilan gambar apapun.
To be Continued
Rabu, 12 November 2008
Wartawan Sok Perang 3 - Tamat
Beberapa wartawan ikut penyerbuan marinir ke markas Darwis Jenib di Blang Rheum, Bireun, hasilnya nihil, malah dapat friendly fire.
Aku masih tertawa saat pak Joko balik kanan. Teman teman yang ngembat jatah komandan, usai makan bergegas ambil peralatan liputan, nggak mau ketinggalan moment tentunya.
Ok, siap berangkat... jalan kaki lagi.
Sekitar 15 menit kita nyampe di sebuah rumah semi permanen. Dinding rumah, papan yang disusun saling menumpuk dan kemudian dicat dengan cat dari kapur warna putih kekuningan. Oo, ternyata itulah rumah persembunyian Darwis Jeunib. Pasukan Dua yang tidak ikut ke bukit, yang melakukan penyergapan.
Belum sempat lihat dan masuk ke rumah, tiba tiba rombongan Pangkoops Brigjend Bambang Dharmono tiba di lokasi. Langsung serempak para tentara menunjukkan “kepatuhannya” dengan berdiri berjejer. BD dengan cueknya melewati pasukan dan langsung menuju ke dalam rumah. 5 menit saja di dalam rumah cukup untuk membuncahkan kemarahan Pangkoops.
BD marah besar karena rumah kediaman tempat persembunyian terakhir Darwis Jeunib telah diobrak abrik oleh tentara yang melakukan penyergapan. Dengan suara yang lantang, BD memanggil, “Mana Komandan!!!”. Segera pasukan membebek dan berbaris. Sebagian rapi berbaris sebagian lain masih berjaga di sekeliling rumah. Aku berada sekitar 5 meter di belakang BD. Tiba tiba dengan tongkat komandonya BD menggetok kepala Letkol. Joko didepan pasukannya. Tak puas, BD langsung memaki-maki, “goblog, kenapa diobrak-abrik?!”, tentu saja BD tidak perlu jawaban atas pertanyaannya. Semua pasukan terpekur. Ocehan masih berlanjut, dan lagi-lagi tongkat komando ikut bicara dengan menggetok kepala Letkol. Joko.
Aku mundur sekitar 5 meter lagi dari posisi semula, untuk jaga perasaan Letkol. Joko. Ocehan BD masih belum tuntas dalam sepuluh menit. Aku berdiri persis disamping seorang marinir yang masih dalam posisi berjaga. Tiba-tiba, tanpa ditanya, tanpa basa-basi, dia bilang ”Sekali lagi dia (BD) pukul komandan, aku tembak!!!”, maak, kaget aku. Untungnya BD selesai, nggak kebayang kalau tiba tiba BD memukul lagi dan kemudian sang marinir memenuhi janjinya untuk meletupkan senjata, wuiiih....
Akhirnya, BD pulang setelah sebelumnya wartawan mewawancarainya. Inti wawancara, BD kecewa dengan operasi yang gagal dan sembrono dengan mengobrak-abrik rumah. BD menilai perilaku itu tidak etis, dan justru menimbulkan ketidaksimpatian warga atas TNI.
Bergegas aku masuk rumah, dan benar saja, meja, kursi, TV bergelimpangan. Sepertinya para tentara melampiaskan kekecewaanya atas operasi yang bocor.
Sial betul, Letkol.Joko hari itu, operasi penyergapan di bukit gagal, operasi penyergapan di rumah pelarian Darwis jeunib gagal, sisa makan siang diembat wartawan, sorenya digetok dua kali di depan pasukan sendiri.
Jadi tentara, emang seperti jalan tanpa kepala ya... semua tergantung komandan, semua tergantung Jendral. Kalaupun ada yang berani dengan jendral adalah senjata yang siap menyalak.
Tamat
Rabu, 10 September 2008
Wartawan sok Perang 2
Wartawan sok Perang 2
Jatah Komandan Diembat
Beberapa wartawan termasuk aku ikut pada sebuah operasi TNI di kawasan Blang Rheum, Bireun, Nangroe Aceh Darussalam. Operasi ternyata bocor, hasilnya terjadi terjadi Friendly Fire, antara BRIMOB dengan Pasukan Pendarat Marinir. Wartawan yang ikut dengan Pasukan Marinir ikut ditembaki oleh BRIMOB, Marinir tidak melakukan tembakan balasan.
Tahu bahwa kita tadi ditembaki oleh BRIMOB, mangkel hati rasanya, beruntung tidak ada satupun yang terluka, kalau istilah slengean di Aceh istilahnya adalah “ Ngeri- ngeri Sedap”.
Sore itu rasa capek, laper dan sebagainya muncul kembali sesaat tiba di pos. Air minum langsung diserbu. Tidak berapa lama, tiga orang personil pasukan TNI datang membawa setandan pisang yang sudah matang, satu orang lagi membawa sangkat burung lengkap dengan isinya, seekor burung berwarna kuning sebesar separuh burung dara. Segera pisang setandan diserbu wartawan dan personil tentara yang pastinya kelaparan juga.
Sambil makan pisang aku tanya pada personil yang membawa burung, “Ngambil dimana burungnya, bang?”. “Ada di rumah kosong, jadi kita ambil aja daripada mati” balasnya. “Dibayar nggak?” sambarku. “Sudah tadi, kita taruh uang sepuluh ribu dan rokok Dji Sam Soe setengah bungkus, kalau di daerah konflik kita tidak boleh ngambil mas, kalau ngambil kita harus ganti ntah tinggalin duit atau rokok, biar nggak ada celaka dalam operasi” jawabnya. “Gundulmu!” kataku bercanda.
Tiba tiba Letkol Joko datang terburu buru, “Mana teman temannya?” tanyanya, “ada di dalam, pak”, balasku, “ayo ikut, ada Pangkoops ke lokasi”. Maksud Letkol Joko, panglima Komando Operasi Darurat Militer Brigjen Bambang Dharmono akan meninjau lokasi.
Kuikuti langkah Pak Joko ke dalam rumah. Tiba tiba langkah pak Joko terhenti,...astaga di ruang keluarga tadi, ada tiga wartawan termasuk kamerawanku sedang makan reriungan sisa makan siang Sang Komandan dan pasukan. Mereka makan sambil jongkok, mengerubungi sebuah baskom berwarna putih kekuningan yang isinya nasi dicampur dengan ayam bumbu sisa makan siang. Makannya berebutan kayak tawanan perang. Ketiganya tercekat saat ketemu Pak Joko, salah seorang kreatif menegur “makan, Dan! (Komandan)”. “Hahahahahahahahahahahahahahahahaha.......” Aku spontan tertawa terpingkal pingkal. Pak Joko terdiam, raut mukanya campur baur, antara geli, kasian dan jengkel karena tidak segera siap bergerak. Usut punya usut, makan siang yang disamber teman teman tadi adalah sisa makan siang pasukan dan Sang Komandan. Karena siang itu kita tiba di pos, waktu makan siang sudah lewat, jadi tidak ada jatah makan siang. Entah siapa yang menemukan dan memulai, ada sisa makanan langsung diserbu tanpa ba-bi-bu oleh teman temanku.
Pak Joko balik kanan, aku masih dalam kondisi tertawa, memberitahu mereka untuk segera bersiap karena Bambang Dharmono yang biasanya disebut BD segera datang ke lokasi. Mereka cuek melanjutkan makan, aku sakit perut menahan geli. Terbayang kalau seterusnya jadi tentara pasti menderita dalam operasi operasi di medan perang.
(To be continued)
Selasa, 09 September 2008
Wartawan sok Perang
By.AB
Pada era darurat militer di Aceh, aku pernah merasakan desingan peluru beberapa inchi saja dari kepala. Kejadiannya sekitar bulan Juni 2003, di kawasan Blang Rheum, wilayah Gerakan Aceh Merdeka Batee Iliek dengan Panglima Wilayah GAM Darwis Jeunib.
Darwis Jeunib, konon adalah salah satu combatan GAM yang piawai dalam menembak. Tembakan Darwis jitu, karenanya menjadi salah seorang sniper handal di GAM. Kepiawaiannya itulah yang menjadikan Darwis Jeunib menjadi Panglima Wilayah. Secara organisasi pasukan perang GAM, panglima wilayah andaikan dipadankan dengan organisasi TNI, bisa dianggap sebagai Panglima Kodam, cukup prestisius.
Kira kira satu bulan operasi darurat militer di Aceh berlangsung, Satuan Marinir dari Batalyon Tim Pendarat pimpinan Letkol. Marinir. Joko Suprianto menangkap informasi keberadaan Darwis Jeunib. Bagi wartawan, info ini menjanjikan berita menarik sehingga dengan semangat “wartawan perang” meluncurlah ke markas TNI di Bireun yang letaknya di lingkungan kantor Bupati Bireun. Aku waktu itu bersama dengan kamerawan SCTV, Taufik Maru, ikut bergabung. Tak lama kemudian di sebuah warung kopi di dekat markas, kami bertemu dengan beberapa wartawan lain yang memang ngepos di kawasan Bireun.
Makan siang di warung, sambil menunggu keberangkatan tim ke pos terakhir di dekat lokasi dugaan tempat persembunyian Darwis Jeunib dan pasukannya. Sore hari, tak lama lepas magrib, pasukan bergerak. Dua tank baja dan satu truk dipakai untuk membawa wartawan dan pasukan ke lokasi yaitu kawasan hutan di Blang Rheum.
Kami wartawan memilih naik tank baja, mengingat tidak mau konyol kalau tiba tiba disergap pasukan GAM. Setelah duduk manis di dalam tank, lima menit kemudian pasukan bergerak. Lima kemudian pengab dan panas di dalam tank, segera membuat peluh berlarian membasahi tubuh.
Di bagian atas tank, ada tempat terbuka yang dijadikan ruang gerak personil yang siap memuntahkan peluru dari senapan mesin. Tak tahan panas, akhirnya kami bergantian menongolkan kepala dan separuh badan, sekedar mendapat angin, lumayaaan.
Setelah semakin masuk ke dalam hutan dengan kondisi jalan yang tidak keruan, karena jalan apa saja dihantam oleh tank baja itu, kami tidak lagi berani menongolkan kepala. Kira kira satu dua jam berjalan, kami tiba disebuah rumah kosong yang sudah ditinggalkan penduduk, rupanya disini sudah ada pasukan TNI dan dijadikan pos pantau terakhir.
Wuiih, begitu sampai suasana gelap, tidak ada lampu penerangan sama sekali. Setelah sampai segera wartawan dan pimpinan pasukan masuk ke dalam rumah kayu. Dua orang personil TNI menyiapkan lampu senter kecil, yang bisa diubah bentuknya menjadi lampu gantung lalu digantung di ruang tengah. Rumah kayu itu tidak besar, sekitar 70 meter persegi dengan dua kamar tidur. Ada pula ruang tamu yang digabung tanpa sekat dengan ruang keluarga. Kamar mandi berada di luar rumah, bagian belakang. Air tentu saja pakai timba.
Makan malam rupanya sudah disiapkan, sebetulnya buat komandan, yaitu Letnan Kolonel Joko dan beberapa anak buahnya yang baru tiba. Menunya mantap, untuk ukuran “perang” yaitu ayam kampung yang direbus dengan bumbu rempah rempah. Nasi yang masih mengebul ditaruh di dalam baskom besar warna putih kekuningan , sedangkan ayam diletakkan di baskom plastic berwarna biru yang lebih kecil.
Perut yang sudah protes nggak keruan, tidak bisa langsung menyantap hidangan, masih menunggu komandan, katanya personil jurusan masaak memasak. Sang Kolonel masih membriefing anak buahnya, sedangkan kami, ogah banget melihat briefing dan lebih baik mengambil posisi yang strategis untuk makan malam. Sekitar 20 menit, akhirnya briefing selesai, tapi nasi sudah terlanjur tidak lagi mengebul, hangat hangat saja.
Setelah basi basi sedikit, karena memang kami tidak mau lama lama takutnya protes perut semakin menjadi dan menimbulkan anarki. Lima menit sang komandan mengajak makan, horeeee….. Untungnya sebagai orang sipil ya… seperti ini, nggak perlu nunggu komando lagi untuk mulai merebut ayam dan nasi. Lima menit sunyi, yang terdengar suara kunyahan mulut mulut yang berisi ayam kampung dan nasi. Enak rasanya walaupun nasi agak pera’ dan ayam sepertinya tidak terlalu ikhlas untuk direbus terasa dari dagingnya yang masih alot.
Setelah 15 menit makan usai, ngerokok menjadi ritual selanjutnya. Basi basi dan omongan omongan ringan dilakukan dengan suara yang cenderung berbisik dan tanpa lampu.
Semakin malam mulai mengantuk, segera ambil posisi. Komandan dan pasukan intinya menempati dua kamar tidur dengan dipan kayu dan kasur kapuk tipis. Kami di ruang keluarga, tidur dengan dilapis tikar plastik. Sebelum tidur ke kamar kecil dulu di belakang, mengendap endap tanpa lampu. Kakusnya terbuka dan hanya ditutupi dengan anyaman bamboo pada dua sisi. Tidak ada air di ember jadi harus nimba dulu. Di dekat sumur ada tentara mandi, tentu saja bugil.
Rupanya ditinggal sebentar saja ke belakang membuat posisi tempat tidur sudah tergeser, edan nggak sampe lima menit. Semua berebutan tempat yang agak di tengah mengingat dindingnya hanya papan yang kalau ada berondongan peluru pasti tembus. Aku akhirnya dapat tempat di pinggir, sialan…. Kalau ada tembakan ke arah dalam yang berada di pinggir pasti tertembhus duluan. “Wah… nggak beres nih caranya kalau begini” tapi mau dikata apa, cuek tidur aja di pinggir belakang berbatasan dengan dapur. Tidak berani terlalu mepet ke pinggir, aku merangsek agak ke tengah. Karena sedikit ada ruang, aku tawari tentara yang sedang masuk ke ruangan untuk tidur di pinggir disamping aku. Sang tentara ini mau… hehehe, lumayan pikirku dalam hati, minimal kalau ada tembakan masih ada pelapis. Tidurlah akhirnya dengan nyenyak sekitar pukul 12 malam.
Pagi pagi sekitar pukul setengah enam terbangun hampir berbarengan aekitar 8 orang wartawan lain. Di luar ribut, rupanya pasukan sudah bersiap. Mereka membakar TB (makanan kaya kalori, tapi sumpah!!!nggak ueeenaaak). Kami ditawari, karena tidak ada menu lain, disantap aja, dua sendok cukup. Wartawan lain pun begitu, tidak ada yang lahap. Karena terlihat tidak bernafsu, seorang personil yang menjadi juru masak menawari membuat mie instant rebus, spontan pagi itu ada koor “setujuuuuuu”.
Hanya lima menit usai koor setuju, pasukan disiapkan untuk briefing. Briefing kurang lebih selama 20 menit, tapi imbasnya yang sangat fatal,... seluruh personil disiapkan dan wartawan dikumpulkan dan diberi informasi bahwa pasukan dibagi dua. Satu pasukan akan menyisir dan merazia di jalan desa dan satu pasukan lain akan menggerebeg tempat persembunyian Darwis Jeunib. Seluruh wartawan spontan tanpa komando menyatakan ikut pasukan yang akan menggerebeg kediaman Darwis Jeunib. Saat itu pasukan dan wartawan harus bersiap berangkat, artinya mie instant yang diharap-harapkan, gagal mengisi perut. Hanya membawa air mineral, kami berangkat, bego banget... ikut ”perang” modal air tok!
Satu jam perjalanan, air persediaan sudah tandas, padahal belum juga satu bukit terlampaui dari target tiga bukit, waah... kalau sudah begini harus kreatif. Kalau haus mendera, dekati satu personil marinir minta air minum persediaannya, haus lagi dekati personil lainnya, begitu seterusnya.
Memasuki bukit kedua di kepala sudah beterbangan kunang kunang. Tersadar bahwa fisik tentara kita memang ampuh. Kubunuhi satu persatu kunang kunang yang ada dengan beberapa kali bersandar di pohon dan minum berteguk teguk air punya pak tentara yang baik hati... (eit ini rahasia! yakinlah bahwa semua tentara itu baik hati, hanya saja terkadang sepatunya suka bandel dan mampir di kepala... cihuuuy!!!).
Di bukit kedua, pasukan istirahat sebentar, lumayan kunang kunang mulai hilang. Saatnya mendaki bukit terakhir dan dibalik bukit ketiga persembunyian Darwis Jeunib akan digrebeg. Segera semangat bangkit, dengan sisa tenaga yang tinggal sedikit. Teman kamerawanku jalan duluan dengan 2 kamerawan TV lain, sisanya tersebar di tengah dan di belakang.
Saat aku berada di puncak bukit, tiba tiba terdengar tembakan tek tek tek... tek tek tek... yang susul menyusul.... suara rentetan AK 47 menghiasi bukit. Posisiku terpisah dengan dengan kamerawanku yang saat itu berada di posisi tengah bukit. Personil pasukan marinir segera meminta kami tiarap, baru kali itu, aku bener bener mengikuti perintah tentara.
Rentetan suara terus berdesingan, tiba tiba seorang personil marinir berteriak ke temannya ”Diatas ada berapa?”. ” Dua!!!” jawab personil lainnya, entah siapa. ”Waduuuuh” teriak personil yang bertanya tadi, khawatir nampaknya. Nyaliku yang tadinya satu, menjadi setengah. Posisi tiarap dengan disiplin kujalani, sambil tangan kanan mengangkat kamera handycam yang aku bawa, ambil gambar sambil ngintip, sambil sembunyi, sambil berdoa.
Tidak lama dari rentetan suara AK 47, tiba tiba ada suara tembakan dari senapan lain, suaranya ssst,sst, sst!!!, spertinya suara senapan SS2. ”Bukan GAM!!!” teriak personil marinir. ”Tahan tembakan!!!!”. Akhirnya, sekitar 5-7 menitan kami dihujani ratusan peluru, tanpa pasukan marinir membalas. Nyaliku bertambah seperempat lagi, dan didalam hati aku bilang ”Bego banget!!! Ditembaki tidak membalas”. Tiba tiba suara tembakan mereda.
”Anjing!!!!” ”Anjing!!!” umpat komandan pasukan. ” Kita ditembaki Brimob!!!”. Seluruh pasukan dan wartawan satu persatu muncul dengan ekspresi yang berbeda beda. ”Tadi itu kita ditembaki Brimob, mereka sangka kita GAM. Nggak liat apa, kita pake topi baja. GAM nggak pernah pake topi baja!!!”.
Akhirnya pasukan berkumpul kembali di kaki bukit, anggota pasukan yang mencari persembunyian Darwis Jeunib menyatakan negatif alias tidak ada. Pasukan kemudian bersiap kembali untuk pulang ke pos.
Perjalanan ke pos nyaris tanpa suara. Capek, laper, haus, kesel bercampur aduk. Personil juga tampak kecewa. Hanya ada celetukan celetukan yan mempertanyakan siapa yang membuat operasi ini bocor.
Hampir 3 jam perjalanan pulang ke pos. Sampai ke pos sekitar pukul 3 sore. Saat sampai di pos kami disambut senyuman Letkol. Joko, dia bilang ”Kalian hampir jadi perkedel!!!”. ”Kenapa, pak?” sahutku. ”Tadi masuk permintaan dari Brimob untuk melemparkan mortir ke posisi kalian, katanya ada sekitar seratus GAM ada di posisi itu. Kemudian saya tanya dimana ordinatnya, ternyata ordinatnya adalah ordinat pasukan kita”, jawab Letkol Joko. ”Andai saja saya tidak dapat ordinat kalian, mortir dilepas, jadi perkedel kalian semua!”.
”Haah, persetanlah”, rasa capekku protes. Setelah itu berlangsung pembicaraan serius antara komandan dengan anggota personil. Nampaknya seru, dan dapat bocoran, bahwa yang mereka bicarakan adalah mengapa operasi bocor, apa kemungkinan yang ada, dan bagaimana tindak lanjutnya.
(To be Continued)
Senin, 08 September 2008
Roti Cane Keluarga Azahari
Saat Azahari tertembak di Malang dulu, aku besoknya langsung terbang ke KL untuk liputan "SIGI 30 Menit".Dari hari pertama, kedua, ketiga seluruh keluarga Azahari menutup diri.
Seluruh salam tidak ditanggapi, surat yang diletakkan di depan pintu tidak ada balasan dan kalaupun harus keluar rumah istri dan keluarga Azahari langsung menaiki dari garasi dan pergi.
Setelah tiga hari, dan kebetulan hari Jumat, anak Azahari bareng sama aku sholat di Masjid depan rumahnya. Wudhu bareng dan akhirnya duduk berdampingan di dalam masjid. Usai sholat jumat, kami bersalaman dan saling melempar senyum dan dia langsung kabur kembali ke rumah.
Sore harinya, istri Azahari dan anaknya pergi, ntah kemana. Aku mendekati mobil mereka, wajahnya tidak lagi ketakutan... Saat melintas aku lambaikan tangan, tidak ada balasan hanya nampak muka yang keheranan seperti bertanya mengapa wartawan ini tidak mencegat mereka, seperti yang mereka takutkan.
Hari keempat di KL, akhirnya kakak istri Azahari membukakan pintu. Terlihat wajah istri Azahari di meja makan. Dia mengenakan cadar warna hitam, melihat orang asing dia langsung meninggalkan ruang makan dan masuk kamar.Tidak ada wawancara dengan sang istri kata kakaknya, mereka hanya tersentuh melihat kami sudah berhari hari dari pagi sampai malam menunggu mereka buka suara, tapi herannya mengapa tidak pernah mencegat mereka. Targetku cuma satu, wawancara istri Azahari, sebelum mendapat itu kami tidak akan mengambil gambar secara paksa.
Atas keheranannya, pada hari keempat, sudah masuk di bulan puasa, kami diajak berbuka puasa bersama oleh kakanya, tidak didalam rumah tapi di teras belakang. Petang itu, menu berbuka puasanya roti cane dengan gule kambing. Itu adalah roti cane terenak yang pernah aku makan.
Memang tidak ada wawancara dengan istri Azahari, karena dia terlanjur kecewa dengan wartawan jawa post yang mengaku mewawancarai istri via telpon, padahal istri azahari tidak bisa bicara karena terkena kanker pita suara. Selebihnya mereka hanya percaya Trans TV karena enam bulan sebelum Azahari tertangkap, Trans TV membuat profil keluarga Azahari.Sebagai gantinya keluarga Azahari menjadi sangat membantu. Keluarganya bersedia diwawancarai, dan cerita cerita tentang Azahari.
Selain itu di Malaka, rumah kediaman keluarga Azahari bersedia menunjukkan kuburan yang telah dipersiapkan keluarga, bersedia menunjukkan foto foto Azahari waktu muda dan kami diajak ke kebun mangga keluarga mereka. Kebun keluarga itu berada di halaman belakang rumah, luasnya sekitar 2 hektar. Di kebun ini bekerja empat orang WNI sebagai tukang kebun dan penjaga.
Saat akan pulang ke Indonesia, setelah seluruh liputan selesai kami diminta mampir ke rumah keluarganya di Malaka. Rupanya mereka menyiapkan mangga untuk kami bawa ke Indonesia. Kami berterimakasih dan tidak mengambil banyak banyak seperti yang telah mereka siapkan, kami bawa mungkin tidak sampai 2 kilo.
Di hotel, mangga itu kami makan. Aku khusus membawa 3 mangga sebagai oleh oleh "Mangga Azahari", karena "Roti Cane Azahari" tidak bisa aku bawa ke Jakarta.
Azahari yang membuat KL lebih berkesan bagi aku.
Ketukan Dahan Pohon Cemara
Hatiku adalah seekor tupai dewasa, warnanya abu abu kecoklatan. Kebiasaannya di pagi dan sore hari, berlompatan di cabang dan ranting ranting pohon.
Pada suatu rabu pagi, hatiku seperti biasa berlompatan di ranting ranting pohon cemara di pinggir sungai berair jernih. Tak seperti biasanya, kali ini terdengar nyanyian burung kenari. Hatiku bukan pertama kali mendengar suara indah burung kenari, tapi pagi itu suara seekor kenari benar benar berbeda. Suara sang kenari menarik narik hati hatiku, mengetuk ngetuk jantungnya, mengisi seluruh saluran dengar hatiku, tiba tiba hatiku pun terjatuh, terkesiap dan segera melompat kembali ke ranting pohon cemara yang menjulur ke pinggir sungai. “Huuh, hampir saja” teriak hatiku. Memang hampir saja hatiku jatuh terguling kedalam sungai, beruntung kali ini hatiku sigap menerjang ranting pohon terdekat.
Suara kenari itu masih terdengar. Dicarinya asal suara, tertangkap mata hatiku, seekor kenari bertengger di pohon cherry. Warna bulunya kuning bersih, mengkilap. Raut wajahnya lucu dengan kelembutan kulit terbaik putih merona merah, paruhnya berwarna kemerahan. Didekatinya sang kenari kuning dengan dua kali lompatan, nyanyian sang kenari kontan terhenti. Sang kenari mengibaskan sayapnya, menoleh ke arah hatiku dengan raut kesal dan heran. “Tak tahu diri ini tupai…”.
Sepekan berlalu, tanpa pertemuan. Masih di rabu pagi pekan berikutnya, hatiku kembali bertemu dengan Kenari Kuning. Hatiku menyapa kenari kuning, dibalas sapanya oleh kenari kuning, hatiku mendekat. Sejak rabu pekan kedua itu, hatiku merasa dekat dengan sang kenari kuning.
Kamis, Jum’at, Sabtu, Minggu, Senin dan Selasa, hatiku selalu bertemu dengan kenari kuning.
Rabu pagi minggu ketiga, hatiku mengetuk ngetukkan jemarinya ke dahan pohon cemara, kenari kuning menimpali dengan suara nan indah. Hatiku tidak pandai bernyanyi, kenari kuninglah yang membuatnya indah. Hatiku hanya bisa menjaga ketukan dengan irama yang sama, kenari bernyanyi dengan leluasa, semakin lepas semakin indah.
Rabu pagi minggu ketiga, hatiku dan kenari kuning menjaga harmoni ensamble sederhana, ketukan dahan cemara. Berhari hari hatiku semakin menuai hari hari indah. Hatiku semakin terlena. Dicintainya sang kenari kuning, melambung angan dan jiwanya. Raganya seolah terlepas dari jiwa saat bersama kenari kuning. Hatiku lupa menjaga irama, ketukan dahan tak lagi terjaga berirama, hatiku dipenuhi rasa bahagia, ketukan dahan cemara terlupa, hatiku merasa bahagia, ketukan dahan cemara terlupa.
Hatiku bermimpi di dahan cemara, akan terlahir putra nan Tangguh, pandai bernyanyi, pandai menjaga irama ketukan dahan pohon cemara, pandai terbang dan pandai melompati ranting ranting. Mimpi hatiku melambung, ketukan dahan cemara tak terjaga, kicauan masih indah, ketukan dahan cemara tak terjaga, kicauan kenari masih indah.
Rabu, dua tahun tiga bulan, setelah rabu pagi pekan ketiga. Ketukan dahan cemara tak terjaga, harmoni tak terjaga. Hatiku terkesiap saat rabu dua tahun tiga bulan setelah rabu pagi minggu ketiga, kenari mengibaskan sayapnya meninggalkan harmoni yang tak terjaga.
Hatiku tersadar ketukan dahan dipohon cemara tak terjaga. Dikembalikannya irama ketukan dahan cemara dalam ensambel harmoni sederhana, sang kenari kuning sudah tak ada.
Hatiku berirama dalam ketukan dahan cemara, nyanyian kenari kuning sudah tak ada. Hatiku tak pandai bernyanyi,… bergumam, berdoa dan akhirnya bernyanyi juga dalam ketukan dahan cemara… kali ini hatiku bernyanyi sendiri…hatiku memintakan maaf…
I wish you bluebirds in the spring
To give your heart a song to sing
And then a kiss
But more than this
I wish you love
And in July a lemonade
To cool you in some leafy glade
I wish you health
And more than wealth
I wish you love
My breaking heart and I agree
That you and I could never be
So with my best
My very best
I set you free
I wish you shelter from the storm
And a cozy fire to keep you warm
And most of all
When snowflakes fall
I wish you love
Jumat, 23 Mei 2008
Foto Syur Max Moein
Rabu, 23 April 2008
Bisnis Narkoba di Dalam Penjara
1 of 3
2 of 3
3 of 3
Ini adalah Episode program Telisik di ANTV dengan judul Bisnis Narkoba di Dalam Penjara. Episode ini diputar pada Agustus 2007.
Di dalam Rumah Tahanan Salemba, bisnis narkoba sudah jamak dan diketahui bahkan kerjasama dengan petugas penjara. Rutan Salemba memiliki pasar gelap. Para pedagang setiap harinya berjualan seperti layaknya diluar, lebih saktinya lagi di pasar itu banyak terdapat penjual narkoba, mulai dari Shabu Shabu, Putau, Ekstasi hingga Heroin.
Tim Telisik berhasil mengungkap kejahatan di dalam penjara dengan kamera tersembunyi. Episode ini menjadi nominasi Festival Film Indonesia FFI 2007 untuk klasifikasi film dokumenter.
Pada Komisi Penyiaran Indonesia KPI award 2008, episode ini menjadi juara untuk klasifikasi Berita dan Investigasi Terbaik.
Sebelum episode ini tayang, kami ditawari uang suap dengan maksud agar episode ini tidak jadi ditayangkan, langkahnya mudah saja tinggal matikan Handphone, selesai... Sesudah tayang, HP menyala kembali dan tim kami mendapat banyak teror ancaman. Pihak Depkumham diam saja setelah dilaporkan bahwa kami mendapat ancaman yang kami tahu berasal dari petugas Rutan Salemba. Ditjen Lembaga Pemasyarakatan tidak menindaklanjuti ancaman apalagi menindak aparatnya yang benar benar bajingan “keblinger”.
Inilah tayangannya, semoga jadi bahan perenungan untuk pindah kewarganegaraan saja, karena republik ini memang sudah uzur dan hampir mati karena diseruduk celeng.
Kamis, 17 April 2008
Jakarta-Ibukota Republik Banjir
Presiden SBY pernah harus berpayung payung pindah dari kendaraan sedan mercynya ke Jeep Mercy saat hendak kembali ke Istana Negara usai kunjungan ke petani di karawang.
Melihat posisi Jakarta, 40 persen wilayah Jakarta memang berada di bawah permukaan air laut, jadi wajar saja kalau Jakarta akan selalu banjir.
Dulu jaman penjajahan Belanda kawasan Weltevreden, sekarang kawasan di sekitar menteng, monas, harmoni dan kota lama, sering banjir kalau hujan lebat.
Daripada terus menerus banjir akibat pembangunan yang tersentralistik ke Jakarta, asyik juga antara kota pusat pemerintahan dan pusat bisnis dipisahkan. Amerika ibukotanya Washington DC, DC kotanya kalah besar dari Depok, kota satelit Jakarta, menjadi pusat pemerintahan. Pusat bisnis di New York.
Dulu Ibukota negara pernah dipindahkan ke Yogyakarta pada tahun 1946 sampai 1948. Karena invasi sekutu kemudian ibukota pindah lagi ke Bukit Tinggi tahun 1948. Setahun kemudian Ibukota kembali pindah ke Jakarta.
Australia pernah memindahkan ibukota dari Sydney ke Melbourne, Brasil memindahkan ibukotanya dari Rio de Janeiro ke Brasilia.
Soekarno pernah punya ide untuk memindahkan ibukota dari jakarta ke Palangkaraya, karena alasan secara geografis berada persis di tengah wilayah Indonesia selain alasan sejarah bahwa Palangkaraya tidak pernah dimasuki Belanda.
Jadi, dari pada semua terpusat ke Jakarta, akibatnya penduduk tambah banyak, mutu lingkungan memburuk, macet dimana mana, banjir dimana mana, ada baiknya ibukota dipindah aja... apalagi bandara internasional Soekarno Hatta juga terganggu kalau banjir, dan memutus hubungan dengan dunia luar.
Selasa, 15 April 2008
Dikejar PATKAY di Hong Kong
Jumat, 11 April 2008
Jogja Sudah Kurang Ngampung
Bulan lalu, baru pulang ke Jogja sesudah hampir setahun belum pulang kandang, setelah dimat mati, kog Jogja mulai kurang njawi dan ngampung. Pengalaman yang paling deket dengan citarasa njawi adalah waktu hunting barang barang antik dan klitikan klitikan khas. Rencananya sih pengen cari antik antikan untuk interior rumah.
Bertekad bulat dapat barang yang asyik, meluncurlah kemudian ke alun alun selatan, wiih sekarang trotaoar di sekitar alun alun selatan sudah dirapihin, nggak ada lagi orang dol dolan barang klitikan dan barang antik dan aneh... yo wes, pasti sekarang sudah ditata lebih rapi, wong era modern je...
Kemudian berpindah ke tujuan pasar senthir di dekat pasar beringharjo, hasilnya malah ngelihat barang yang dijual adalah barang barang "biasa banget", sepatu, baju, gitar dan lain lain yang nuansanya modern, edan... wong pasar senthir iku biasane ngampung dan terselip barang aneh, sekarang sudah modern... opo maneh senthirnya sudah sama sekali nggak ada terganti neon neon, ...dasar edan ora katoan!Yo wes lagi nih,...
Besok meluncur lagi ke sisi samping kanan pasar Beringharjo, nah..., disini memang masih ketemu orang jualan barang barang antik, liat aja suasana di foto diatas. Kios kios masih berjejer jualan barang antik, tapi sekarang lebih banyak barang bekasnya, barang antiknya sudah jarang kalaupuan ada sudah buatan baru.
Sekarang penjual sudah semakin maju, harga harga semakin naik katanya akibat inflasi maas... mantap betul si inflasi ini. Contohnya ada setrika besi antik yang panasnya didapat dari arang bakar, harganya 500 ribu, wih sedap...pasti ini akibat si inflasi.
Sudahlah, nggak usah nyari nyari lagi karena inflasi sudah memayungi Beringharjo. Meluncurlah kemudian dengan jalan kaki menyusuri jalan malioboro. Masih kepikiran Jogja yang semakin "ngota", aku melihat sepanjang malioboro yang dijual barang barang modern, ada sih yang masih Njawi tapi mesti ngubek ngubek lama.
Akhirnya pikiranku kelelahan nyari suasana Njawi, yo wes... akhirnya aku makan dan minum di KFC, ben wae...
Makian ibunda Azahari
Di depan rumah terparkir sebuah mobil sport keluaran lama berwarna hijau. Dulu, mobil Audi Azahari, sering digunakannya untuk kebut kebutan, sebuah hobby sang peracik bom dari skudai.
Setelah kematian Azahari, sebagai wartawan tentu saja komentar dari pihak keluarga terutama istri DR Azahari adalah target yang harus dikejar, alasan itu pulalah yang mengantarkan kami ke Kuala Lumpur.
Setelah 2 hari menunggu sejak pagi hingga malam hari di sekitar rumah Azahari ( kami gunakan kesempatan itu juga untuk mengenal lingkungan istri Azahari), dengan berat hati akhirnya, setelah lama terkunci, pintu rumah mertua Azahari terbuka. Suatu lompatan besar, setelah sebelumnya, jangankan membuka pintu, menjawab salam pun tidak dan bahkan semua jendela tertutup.
Setelah secercah harapan itu, muncullah kakak tertua dari istri Azahari, Wan Kamaruddin. Kami berbincang lama untuk menyakinkan agar, istri Azahari sejenak menemui kami. Kami menjelaskan sedetil detilnya harapan kami untuk mengenal DR Azahari terlepas dari pilihan hidupnya untuk menjadi orang yang sangat ditakuti di Asia Tenggara. Kami hanya ingin mengenal bacaan Dr Azahari. Kami mencoba mengenal kehidupan DR Azahari dari ajaran yang dianutnya, dan itu diharapkan dapat tergambar dari bacaannya.
Saat itu, niat kami hanya ingin mengetahui alasan pilihan hidup DR Azahari, yang serba berkecukupan hingga menjadi buronan dengan segala keterbatasannya, pastilah ada nilai nilai kuat yang diyakininya.
Susah payah kami menjelaskan hal itu, karena pihak keluarga terutama ibu dari istri Azahari menjadi sangat trauma dengan wartawan karena selalu menanyakan apakah benar menantunya itu adalah teroris, bagaimana perkembangan indentifikasi jenazah dan hal lain yang berkaitan langsung dengan kematian sang Doktor.
Namun apa lacur, setelah trauma yang menguat itu, munculah kata kata yang agar menjurus pada teriakan kekesalan pada wartawan dari mulut mertua perempuan DR. Azahari…Wartawan Pembohoong!!
Pastilah kami tidak terima dengan pernyataan itu, dan mencoba mencari tahu mengapa mertua Azahari mengeluarkan kalimat itu. Ternyata, keluarga ini trauma dengan pemberitaan baik itu dari media Malaysia maupun Indonesia yang dinilai menyampaikan berita, tidak sesuai dengan apa yang disampaikan keluarga. Wartawan dinilai sering memutar balikkan fakta, dan terkadang halusinatif.
Yang paling membuat keluarga kesal adalah, berita wawancara antara istri Azahari dengan sebuah harian media cetak di Indonesia, yang memuat dialog antara istri Azahari dengan seorang wartawan. Dalam media itu dituliskan percakapan dilakukan dengan menggunakan telepon…. Aduh… bagaimana mungkin itu terjadi….. istri DR Azahari, yang bernama Wan Nuraini Jusoh, telah mengidap kanker tenggorokan sejak tahun 90 an, kanker itu pula yang membuat dia tidak lagi dapat berbicara. Semua komunikasi dengan istri Azahari dilakukan dengan tertulis, bagaimana mungkin wartawan setelah kematian DR Azahari dapat berkomunikasi dengan telepon dengan Nuraini. Jadi wajarlah muncul stigma negatif dari keluarga istri Azahari kepada wartawan.
Diluar kebohongan wartawan yang mengaku wawancara dengan istri Azahari yang memang ajaib itu... dan naik cetak lagi...., sepenggal pengalaman dengan ucapan mertua Azahari, membuat saya mempertanyakan posisi wartawan sebagai pekerja pers tidaklah sepenuhnya, bekerja berdasarkan fakta yang ada.
Wartawan dengan tidak berbohong saja adalah individu dengan beragam latar belakang dan pemahaman. Fakta itu, menjadi fakta olahan hasil pikir wartawan. Hasil pikir itu tidak melulu hanya terkait dengan latar belakang pendidikan dan pemahaman logika, tapi terkadang diluar itu, misalnya kondisi emosi, termasuk tekanan dari kantor untuk mengkontribusikan berita yang baik dan ekslusif.
Setiap orang yang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realita sosial itu dengan konstruksinya masing-masing. Konstruksi yang mereka buat dilengkapi dengan legitimasi tertentu, sumber kebenaran tertentu, bahwa apa yang mereka katakan dan percayai itu adalah benar adanya, punya dasar yang kuat, demikian halnya dengan wartawan.
Setiap individu mempunyai latar belakang sejarah, pengetahuan dan lingkungan yang berbeda-beda, yang bisa jadi menghasilkan penafsiran yang berbeda pula ketika melihat dan berhadapan dengan objek. Sebaliknya, realitas itu juga mempunya dimensi objektif, sesuatu yang dialami, bersifat eksternal, dan berada diluar angan-angan. Yang membedakan wartawan dengan masyarakat lain adalah, wartawan berkesempatan luas untuk menhadirkan kembali konstruksi yang mereka buat kepada masyarakat melaui medianya masing masing.
Realitas itu hadir, karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas tercipta lewat konstruksi, sudut pandang tertentu dari wartawan. Disini tidak ada realitas yang bersifat objektif, karena realitas itu tercipta lewat konstruksi dan pandangan tertentu. Realitas bisa berbeda-beda, tergantung pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan berbeda.
Jadi media lebih dilihat sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan suatu realitas. Media adalah agen yang secara aktif menafsirkan realitas untuk disajikan kepada khalayak. Apa yang tersaji dalam berita dan kita baca tiap hari adalah produk dari pembentukan realitas oleh media.
Jadi, tanpa kekhilafan demi eksklusifitas yang memicu makian "wartawan pembohong" kayaknya kita harus instropeksi terus...
Salam
DPR= Tak Enteni Keplokmu tanpa bunga dan telegram duka
Tapi sama halnya dengan babi ngepet, yang bisa hidup kembali dengan sentuhan istrinya atau pakaian istrinya, si celeng besar ternyata masih hidup.
Sang celeng besar melalui kader celeng celeng lain malah membuat orang orang "ndadi". Ndadi itu seperti pemain jathilan, bukan kerasukan. Kalau ndadi sudah satu antara tubuh dan jiwa, kalau kerasukan adalah minjam tubuh untuk dirasuki jiwa lain.
Saat sang " orang ndadi celeng" masuk arena dan perkampungan kawulo, banyak kawulo yang ikutan "ndadi" celeng. Sekarang orang yang dulunya kawulo malah jadi celeng, kemudian menyebar kemana mana, di DPR banyak celeng, di kejaksaan mekar celeng, di kehakiman semakin nyeleng, di kepolisian lebih lagi, celeng kabeh.
Terakhir kisah di negeri "mantan kawulo". Dulunya para kawulo ini ikut ikutan teriak mencela sang celeng besar yang rakus, serakah, tamak dan uelek-e ora umum. Sekarang negeri mantan kawulo yang kerajaanya bersarang di senayan, terbuktikan banyak yang ndadi celeng.
Yang terbaru selebriti senayan, namanya Lengjilengbeh- Celeng Siji Celeng Kabeh, dengan "jatuh bangun, aku mengejarmu" mendapat obat mujarab nan sakti... tur uenak. Disepakati nilai obat itu 3 milyar, sekarang baru dapat panjer 71 yuto, eeh... nambah 200 yuto-an lagi di bagasi kereta kencananya. Uang itu katanya untuk kesepakatan membuka lahan di Bintan sebagai sarang celeng baru. Izinya mesti dari DPR, nah.. Si Lengjilengbeh ini jadi ujung tombak di negeri mantan kawulo-DPR terhormat.
Saking nyelengnya, selain duit si celeng dapat bonus "wedok". Sang celeng berdasar pengakuan orang dalam (tentu saja istana celeng) kabarnya suka sekali dengan yang kinyis kinyis. Tapi nggak usah diributkan toh, wong memang celeng itu makannya apa aja. Tapi lagi lagi dari sahibul hikayat, didalam mobil celeng lengjilengbeh ditemukan katok dan kutang wedok... walah walah... dargombes tuenaan. Bungkusan tadi, isinya sudah nggak tau kemana, entek dipangan mungkin.
Memang celeng ada dimana mana, tolong celeng seruduk aku dan aku akan "ndadi".
Salam
Kamis, 10 April 2008
Tak Enteni Keplokmu
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, 1885
TEROR DI MANHATTAN, 31 OKTOBER 2017
TEROR DI MANHATTAN, 31 OKTOBER 2017 Oleh: Alam Burhanan Virginia, USA Mendengar kabar ada serangan yang mematikan, mende...
-
17 Agustus 2009, hari ini, aku bebas merdeka,… seharusnya ada acara wajib, upacara 17-an pukul 6.30 pagi di kantor, tapi aku dengan kemerdek...
-
1 of 3 2 of 3 3 of 3 Ini adalah Episode program Telisik di ANTV dengan judul Bisnis Narkoba di Dalam Penjara. Episode ini diputar pada Agust...
-
HANTU FENOMENAL DI KBRI WASHINGTON DC Oleh: Alam Burhanan Di Virginia, AS “Mas, tadi malam saya denger main pianonya bagus sekali”...